DUA

1064 Words
Tekan tombol love yang ada dibawah pojok kanan ya.    Tolong di follow dulu ya guys  Hari itu juga Alya telah menyiapkan barangnya yang akan dibawa ke tempat pria yang baru saja telah berlaku kejam kepada dirinya dan juga keluarganya. Bersama dengan pengawal yang berbadan besar dan juga penuh dengan tato. Alya sendiri merasa ngeri dengan hal itu. Pasalnya dia takut pria yang memiliki tato. Baru saja dia telah selesai berbenah. "Alya, tetap di sisi, Ayah!!" ucap pria tua itu memelas. Tetapi Alya tidak ingin lagi ayahnya bekerja lebih keras lagi untuk menanggung semua ini. Biarlah dirinya yang bekerja pada pria itu dan menyelesaikan semua hutang keluarganya. Lagipula hal yang tidak pernah dilakukan oleh Alya adalah meringankan beban kedua orang tuanya. Sekarang, bagaimanapun caranya dia harus berusaha tidak membebani orang tuanya. Perjanjiannya besok, akan tetapi pria itu justru mengajaknya pergi hari itu juga kemudian dia hanya bisa menuruti apa yang dikatakan oleh pria itu.  "Nak, kamu harus di sini sama kami," pinta ibunya. Tetapi niatnya sudah bulat membantu kedua orang tuanya. "Tenanglah, dia bakalan tetap kuliah dengan baik. Dia hanya akan jadi pelayan selama enam bulan. Nanti dia akan menghubungi kalian setiap waktu. Tapi satu hal, kalian tidak bisa untuk menemuinya ke sana. Biar dia saja yang pulang," jawab pria itu dengan dingin. Alya mendongakkan kepalanya dan menatap pria itu. Kalau dia boleh pulang itu artinya dia akan sering bertemu dengan orang tuanya. "Seperti perjanjian tadi. Kamu hanya perlu menuruti semua keinginanku, maka semua keluargamu tidak akan kusentuh," sambung pria itu. Devan beranjak dari tempat duduknya dan langsung mengajak Alya pergi. "Ayolah, perjalanan kita sangat jauh. Jadi jangan lama-lama!" "Alya," panggil ayahnya. Salah satu sopir Devan mendekati orang tua Alya. "Percayalah Alya bakalan baik-baik saja. Pak Devan itu sebenarnya baik, dia tidak pernah kasar. Tetapi karena suasana hatinya sedang tidak baik, apalagi Bapak tidak mau membayar hutang, maka dari itu dia terlihat kesal dan membawa beberapa orang kemari," "Alya, Alya bagaimana nanti?" "Seperti yang saya bilang. Dia bakalan baik-baik saja," ucap pria itu kemudian pergi ke mobil yang akan membawa Alya dan juga Devan ke kota. Di dalam perjalanan, Alya hanya terdiam sambil memeluk tasnya dengan begitu erat. "Apa kamu tidak pernah merawat dirimu sendiri, hah?" ucap Devan ketika melihat bulu tangan Alya dengan ngeri. "Lihat bulu tanganmu, menjijikkan sekali," lanjut Devan. "Oh ini. Ini memang dari kecil kok. Jadi aku suka," jawab Alya dan membuat Devan membuang tatapannya dari gadis kecil itu. "Pergi ke salon besok. Rontokin semua bulu-bulu tangan kamu. Apalagi yang ada diwajah kamu, di kaki kamu itu juga. Jangan sampai saya lihat kamu dengan penampilan seperti monyet," Alya memutar bola matanya. Benar-benar pria yang ada di sampingnya ini seperti tidak pernah diajarkan tata krama justru mengatakan Alya seperti monyet. Tidak pernah ada sebelumnya orang yang berani mengatakan itu kepada Alya. Apalagi mengomentari bulu tangannya yang terbilang lebat itu. "Kamu nggak pernah luluran?" "Pak, jangankan luluran. Saya di kebun tiap pulang kuliah. Belum lagi ngurus-ngurus sapi di sana, bagaimana bisa saya ngurus seperti itu. Lagian kalau mau belanja saya harus mikir dulu, karena memikirkan makan apa besok,"  Devan tidak menjawab ucapan gadis itu. Baginya perempuan yang memiliki bulu seperti Alya itu adalah perempuan mengerikan. Dia ingat dulu temannya ketika masih SD pernah mencakarnya dan yang paling mencolok adalah bulu tangan teman perempuannya itu. "Kamu mirip monyet, Alya," Alya melirik kemudian menghajar pipi pria itu, hingga pria tersebut terkejut dan salah satu pengawal yang ada di depan menunduk menahan tawa karena baru pertama kali ini ada orang yang berani menghajar majikan mereka. "Kamu kurang ajar," "Bapak yang kurang ajar ngatain saya monyet," "Memang seperti itu," Alya melirik kemudian membogem wajah pria itu lagi untuk kedua kalinya hingga hidung pria itu berdarah. "Gadis sialan," jawab Devan kemudian menjambak Alya. "Bapak apa-apaan?" teriak Alya sambil berusaha melepaskan tangan Devan dari kepalanya.  "Berani-beraninya kamu menghajar saya," gaya bicara mereka menjadi formal lagi. Tadinya Alya yang menggunakan kata 'aku' sekarang menggantinya dengan embel-embel 'saya' pun begitu juga dengan Devan. Alya mendorong wajah Devan menjauh. "Sekali lagi Bapak menjambak rambut saya yang indah ini. Jangan harap bisa lolos dari bogeman saya," "Sialan gadis ini. Dia lebih galak, rupanya sih polos. Tapi kita lihat nanti bagaimana reaksi kamu di ranjang," kekeh Devan dan berbicara seperti itu di dalam hatinya. "Bapak senyum-senyum kayak orang m***m," Dia tidak menanggapi hal itu. Beberapa jam diperjalanan, mereka telah tiba di Jakarta. Selama diperjalanan tadi, Alya tertidur dijalan dan membuat Devan kesal karena tentu saja dia sangat berat ketika bersandar. Apalagi ketika iler Alya mengenai jasnya. "Bangun, jorok!" dia menarik hidung gadis itu hingga Alya mengoles bibirnya dengan punggung tangannya bergiliran. "Sialan, cantik-cantik tapi joroknya minta ampun. Nggak kebayang ini mah," ucap Devan. Setibanya di rumah, dia langsung mengajak gadis itu masuk ke rumah. Alya yang baru pertama kali melihat rumah sebesar itu menelan salivanya dan terlihat seperti orang yang benar-benar takjub dengan hal itu. "Kampungan," celetuk Devan. Devan masuk terlebih dahulu ke dalam rumah dan dikejar oleh Alya. "Bibi," panggil Devan berkali-kali. Akan tetapi tidak ada jawaban. "Bibi Zu," panggilnya lagi. Hingga perempuan tua yang rambutnya sudah sebagian besar memutih itu keluar dengan membawa sayuran yang akan dipotongnya. "Ada apa, Devan?" "Bibi Zu, tolong antarkan gadis kampungan ini ke kamarnya, disebelah kamar aku. Bibi, masak masakan yang enak untuk makan malam. Aku mau istirahat," Devan melangkahkan kakinya hendak ke kamar. Akan tetapi dia berhenti karena mengingat satu hal. "Jangan lupa carikan dia salon. Bersihkan dia, panggil Laura untuk ngajarin dia bagaimana harus bersikap di rumah ini," perintah Devan kemudian langsung meninggalkan mereka berdua di bawah. "Bibi, dia itu kenapa sih? Galak banget," protes Alya ketika melihat Devan seperti itu. "Nanti kamu juga bakalan tahu. Ngomong-ngomong kamu kenapa bisa di sini?" "Katanya sih jadi pelayan," "Pelayan?" "Iya katanya pelayan makanya saya mau ke sini, Bi. Bibi betah banget ya di sini? Betah sama majikan seperti dia," "Oiiit gadis kampung, saya dengar apa yang kamu bilang," ucap Devan dari lantai atas dan langsung melempar jas yang dikenakannya tadi. "Cuci itu!" Akan tetapi bibi Zu pastinya sudah tahu pelayan yang dimaksud oleh Devan. Tidak ada pelayan yang tidur di kamar mewah sebelah kamarnya dan tidak pernah ada perempuan yang dibawanya pulang untuk tinggal di sana. Bibi Zu tahu, jika Devan sering bermain perempuan dan seks bebas di luar sana. tetapi dia tidak bisa menyalahkan itu semua. Devan adalah pria normal pada umumnya, tapi untuk serius dengan wanita. Sepertinya hanya Bibi Zu yang tahu mengenai hal itu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD