Istri Pengganti

1295 Words
"Setiap Alpha hanya memiliki satu Luna, mate yang ditakdirkan untuk mereka. Mereka hanya akan mencintai dan setia pada satu-satunya Luna mereka hingga akhir hayat mereka." . . __________________ "Madam Goldlane," seorang pria mengetuk pintu ganda sebuah kamar. "Sudah saatnya Anda naik ke menara sekarang," ucap pria berambut cokelat itu mengingatkan. Seorang wanita muda bergaun putih yang duduk di depan meja rias mengangguk. Ia baru selesai menata rambut lavender pucatnya menjadi sebuah sanggul rapi di belakang kepalanya. Dengan sebuah senyum hambar yang lembut, ia berdiri dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu mengikuti langkah si pria berambut cokelat. Di lorong panjang yang mereka lewati, ada sederetan jendela kastil yang memberikan pemandangan langit berbulan purnama yang sempurna. Wanita itu melangkah dengan tenang mengikuti escortnya ke lorong lain yang menghubungkan kastil dengan sebuah menara tinggi. Bulu mata panjang di kelopak mata tajam nan teduh wanita itu bergetar saat ia memasuki lorong yang gelap. Di ujungnya, sebuah pintu terbuka dan anak tangga di baliknya terlihat. "Terima kasih sudah mengantarku sampai di sini, Sekretaris Daniel," ucap wanita muda itu saat sang pria berambut cokelat berhenti di depan pintu. Pria berambut cokelat itu tersenyum dan membungkukkan tubuhnya dengan tangan kanan di d**a.  "It's my pleasure, Luna," ucap Daniel dengan ekspresi wajah serius. Young Marchioness Harriet Goldlane terkejut sejenak mendengar gelar yang digunakan pria itu untuk memanggilnya. Luna. Namun, keterkejutannya tidak bertahan lama. Sebuah tatapan sedih muncul di sepasang iris lavendernya yang jernih. Harriet mulai mendaki tangga spiral yang diterangi dengan obor. Ia baru berhasil mendaki separuh dari tinggi menara saat ia menatap keluar jendela di sebelah tangga. Angin malam yang dingin menerpa tubuhnya, tetapi ia justru merinding karena melihat betapa tingginya tempat ia berdiri sekarang. Harriet selalu membenci tempat tinggi. Normalnya, ia tidak akan mendekati menara atau tempat-tempat semacam ini. Namun, pria itu tinggal di menara tertinggi kastil Almandine Duchy. Malam ini akan menjadi pertama kalinya Harriet melihat pria itu, suaminya. Liam Almandine. Sesampainya di puncak tangga, Harriet menghadap ke pintu ruangan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruangan di puncak menara itu dengan perlahan. SWOOOSH! Angin menerpa wajah dan gaun putih Harriet, membuatnya berkibar halus. Cahaya rembulan membanjiri ruangan berlangit-langit tinggi yang terbuat dari kaca itu, sehingga orang bisa melihat langit bertabur bintang dari dalamnya. Setiap jendelanya terbuka sehingga suhunya begitu dingin di malam hari itu. Namun,  perhatian Harriet terpaku pada seorang pria muda yang duduk bersandar di teralis jendela. Kulit putih pucatnya yang terlihat agak basah memantulkan sinar biru di bawah cahaya malam. Tubuh tinggi tegapnya menyandar santai di balik tirai jendela transparans, sementara tangannya menggenggam sepucuk surat yang sudah terbuka. Harriet bisa melihat rambut lurus panjang pirang yang melambai diterpa angin. Sepasang mata pria itu terpejam. Sesaat, Harriet terpesona memandang wajahnya. Pria ini memiliki rahang yang tegas berbentuk angular, alisnya menukik berwarna pirang gelap yang terlihat seperti sepasang bilah pedang. Sebuah senyum tipis yang tidak terlalu terlihat seperti sebuah senyum terpatri malas di wajahnya. Di saat itu juga, hidung mancung pria itu terlihat mencium bau yang baru. Sepasang alisnya berkerut. "Lavender..." bisik pria itu dengan suara sedikit serak. Ia lalu membuka matanya. Pria itu menyibak tirai transparans yang menghalangi matanya menatap ke arah Harriet. Begitu keduanya bertukar pandang, Harriet sadar seluruh fitur wajah tampan pemuda itu langsung terlengkapi dengan pesona sepasang mata emas pria itu. Harriet juga menyadari hal lain. Matanya melebar saat ia sadar ini bukan pertama kalinya ia melihat pria muda berambut panjang lurus pirang itu. Bagaimana ia tidak mengenalnya? Dia adalah pria di air terjun... "Marchioness Goldlane?" ujung bibir pria berambut pirang itu naik sedikit, membentuk sebuah senyum tipis. Suara angin menyelimuti keheningan antara keduanya. "...Young Lord Almandine," Harriet tersadar dan membungkukkan tubuhnya dengan gerakan yang luwes dan sempurna, menunjukkan postur seorang bangsawan yang terlatih. Saat Harriet mengangkat wajahnya, ia bisa melihat pria itu membungkuk juga membalasnya, dengan tangan kanan di d**a. Mata emasnya terbuka, menatap lurus ke wajah Harriet yang perlahan memanas. Keduanya menegakkan tubuh mereka. Liam melebarkan senyum dan berjalan mendekat. Deg deg deg deg Harriet diam-diam mengepalkan tangannya dengan gugup. Untunglah kegugupan itu tidak sampai terlihat di wajahnya. Saat pria itu mengulurkan selembar surat yang sudah dibuka di tangannya pada Harriet, wanita muda itu hanya menatapnya bingung dan menerimanya. Bersamaan dengan Harriet yang melirik isi surat yang diulurkan kepadanya, pria itu berkata, "Kakekku mengirimkan surat itu padaku dari Benteng Barat, dan aku baru membacanya." [...pastikan kau segera memproses seorang cicit Alpha dengan menantuku, Harriet Goldlane, di malam purnama pertama ia datang ke menaramu...] Isi surat itu langsung membuat wajah Harriet merona parah. Wajah tenang dan ekspresi anggun yang selalu dikenakan wanita muda itu dan dilatihnya selama bertahun-tahun hilang, digantikan wajah kebingungan dan malu. "Ahem," pria berambut pirang panjang itu berdeham canggung dan mengambil kembali surat di tangan Harriet. Harriet tidak bisa melihat ke mata emas pria itu, jadi ia memandang ke arah bibirnya yang tersenyum canggung. Pria itu menghela napas kecil. "Kau tiba di sini, jadi kau pasti sudah tahu aku hanya terbangun di malam bulan purnama. Apakah kakekku memaksamu melakukan ini semua?" tanya pria itu dengan suara lembut. Entah mengapa, Harriet perlahan sanggup mendongak ke atas, menatap kembali sepasang mata emas pria itu karena mendengar suara lembutnya. "Sebulan yang lalu saat bulan purnama, bukankah kita sudah bertemu satu sama lain?" tanya Harriet, mencoba mengingatkan pria muda itu pada hari di mana mereka pertama bertemu. "Pada saat itu, Anda menghentikan adik saya..." Pria muda itu mengangkat satu tangannya dengan cepat menghentikan kata-kata Harriet. Matanya melebar saat menyadari segalanya dan ia perlahan mengerti situasinya. Ia membaca suratnya sekali lagi, dan kemudian mengangguk mengerti. "Jadi untuk menyelamatkan adikmu, kau membuat kesepakatan dengan kakekku untuk melahirkan pewaris Almandine dariku?" tanya pria itu. Harriet terkejut pria itu bisa mengerti segalanya dengan cepat hanya dengan berbekal petunjuk-petunjuk kecil. Begitu melihat wajah kagum Harriet, pria itu tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa kau yakin kau tidak keberatan?" tanya pria itu pelan sambil melemparkan surat di tangannya ke lantai. Liam Almandine menatap Harriet dengan sepasang iris emasnya. Ada sesuatu dalam tatapannya itu yang membuat tubuh Harriet seolah membeku. Rasanya seperti memandang lurus ke mata seekor binatang buas. Pria itu mendekat. Kedua tangan Liam perlahan meraih ke sisi pinggang Harriet, merabanya dengan lembut naik dan turun seperti seekor capung menyentuh permukaan air yang tenang menciptakan riak air yang meluas. Riaknya bagaikan aliran listrik yang menjalari tubuh tegang Harriet. "Kau datang ke sini… sudah tahu apa yang akan terjadi, kan?" tanya pria itu, yang tatapan matanya mulai melembut dan bibirnya perlahan melengkung dalam sebuah senyum nakal. "Apakah Madam sudah siap?" Harriet kesulitan menelan ludahnya. Namun kedua mata lavendernya menatap lurus ke mata emas Liam. "Milord..." bisiknya. "Sa... saya mohon hamili saya." Hening. "Uhuk..." Wajah terkejut Liam mengejutkan Harriet juga. Pria itu tiba-tiba terbatuk-batuk sambil melangkah ke belakang dengan tubuh yang goyah. Tangannya menutup mulutnya dengan cepat. "Milord!" Harriet mencoba menopang tubuh Liam. Ia melihat darah menetes dari sela jari-jari Liam. Wajah Harriet menjadi pucat. Ia dengan cepat membantu pria itu duduk di ranjang. "Apakah Anda baik-baik saja? Haruskah saya memanggil seseorang?" tanya Harriet panik. "Pff..." Liam menahan tawanya, tetapi kemudian gagal. Akhirnya ia malah tertawa terbahak-bahak. "Hahahahahah!" Harriet menyipitkan matanya yang tajam dengan bingung. "Astaga, kau mengejutkanku, Madam," ucap Liam sambil mengambil sapu tangan di meja samping. Ia mengelap darah yang ia muntahkan lalu berkata, "Madamku ternyata tipe orang yang sangat terus terang." Harriet mengerutkan alisnya dengan wajah merona, memiringkan wajahnya ke samping, merasa agak tersinggung dan kesal. "Madam," Liam menarik tangan Harriet mendekat agar wanita itu duduk di sisi ranjang. Memandang wanita itu dalam-dalam, Liam bertanya, "Sekali lagi, apakah kau sudah siap menjadi Lunaku?" Luna. Ini adalah kedua kalinya Harriet mendengar gelar itu disebutkan untuk memanggilnya hari ini. Namun, Harriet bukanlah Luna milik Liam. Harriet bukanlah mate yang ditakdirkan untuk Liam. Karena itulah dengan wajah sedih, Harriet bertanya balik. "Bagaimana dengan Milord? Apakah Milord bersedia menerima saya sebagai Luna Anda?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD