Liam Almandine **

1354 Words
"Madam," Liam menarik tangan Harriet mendekat agar wanita itu duduk di sisi ranjang. Memandang wanita itu dalam-dalam, Liam bertanya, "Sekali lagi, apa kau sudah siap menjadi Lunaku?" Setelah menanyakan pertanyaannya, ia dapat melihat keraguan di mata wanita itu. Tentu saja ia akan ragu. Wanita itu baru saja melihatnya muntah darah, dan wanita itu juga sudah melihat kekuatannya yang bagaikan monster sebulan yang lalu. Ia adalah monster berbahaya yang sekarat. Tidak ada wanita yang akan– "Bagaimana dengan Milord? Apakah Milord bersedia menerima saya sebagai Luna Anda?" Wanita muda itu bertanya balik dengan suara yang lirih. Di wajahnya terlihat kesedihan yang Liam tidak tahu penyebabnya. "Aku adalah pria yang akan mati tidak lama lagi," jelas Liam. Bahkan saat ini, yang Liam inginkan jugalah untuk melanjutkan garis keturunannya. Demi kakeknya, demi Almandine Pack. Saat ini, seorang wanita yang bersedia menerimanya apa adanya saja sudah cukup bagi Liam. Mendengar kata-kata Liam, Harriet mengangguk mengerti. Jadi bagi Liam siapa pun tidak masalah selama wanita itu bisa melahirkan dan menjadi ibu bagi putranya. Tidak perlu ada perasaan yang terlibat.  "Maka saya sudah siap, sejak saya menyetujui perjanjian yang ditawarkan oleh His Grace, Old Duke Almandine," jawab Harriet. Liam mengangkat alisnya. Terlihat keteguhan di mata Harriet saat mengucapkannya. Liam mengingat jelas apa yang terjadi di air terjun sebulan yang lalu. Harriet dengan tenang dan tangguh mengejar adiknya yang telah berubah menjadi monster, mengkhawatirkannya dan merasa sedih, terus mencoba untuk menyadarkannya. Ini semua adalah demi adiknya.  Keduanya pun sepakat dengan situasi saling menguntungkan ini, meski terasa ada yang mengganjal di hati mereka. Liam mengulurkan tangannya, menyentuh dagu Harriet dengan ibu jarinya. Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan untuk berbagi ciuman dengan wanita itu. Slip. Liam menarik lepas tusuk sanggul Harriet, membuat rambut lavender pucatnya jatuh terurai dengan lembutnya. "Mm…" Harriet mencengkeram bahu Liam, dan Liam menarik tubuh wanita itu dengan mudahnya ke atas tubuhnya membuat ciuman mereka terlepas sejenak. Wajah bingung dan kosong Harriet yang merona merah membuat Liam menelan ludah. Namun, meski tidak tahu harus melakukan apa, Harriet menatap lurus ke mata Liam dengan teguh. "Milord…" bisikan Harriet memanggil sesuatu dalam diri Liam.  Sesuatu yang sudah tertidur terlalu lama. "Hik…" Harriet dapat merasakan gigi tajam Liam menembus lapisan kulit di lehernya. Liam memang secara insting sedang mencoba mengimprintnya, tetapi karena Harriet bukanlah Mate Liam, tentu saja takkan ada yang terjadi. Apa pun yang Liam atau Harriet lakukan, Harriet takkan bisa menjadi Luna yang sesungguhnya. Sementara itu, Liam melihat Harriet yang memalingkan wajahnya ke arah lain. Liam tersenyum, perlahan menarik tubuhnya mundur, lalu membuka kemeja putihnya. Harriet dapat melihat luka menyilang besar di d**a pria itu dan mengerutkan alisnya. "Ah, apa kau takut melihatnya?" tanya Liam dengan sebuah senyum tipis dan mata yang nakal. Harriet menggeleng. Tangannya perlahan menyentuh luka di d**a Liam yang berpusat di tengah. Tidak terlihat seperti luka cakaran atau luka s*****a tajam… "Hmm," Liam mengambil tangan Harriet yang menyentuh dadanya dan mencium wanita itu di dagu dan garis lehernya, naik ke samping, ke arah telinganya.  "Aku mencium bau lavender yang kuat darimu…" bisiknya. Kelopak mata Harriet gemetar. "Saya… uh… mereka bilang… Milord suka… aroma ini…" Tawa kecil dan lembut Liam yang begitu dalam seolah menggema di belakang telinga Harriet. Suaranya seperti madu yang begitu kental dan gelap.  Liam melakukan begitu banyak hal sekaligus sehingga Harriet tidak tahu kemana harus berfokus. Tangan pria itu menggerayangi seluruh tubuhnya dengan sangat lembut, seolah sedang meraba kain beludru.  Di satu detik, gaun atasan Harriet telah lepas, dan di detik lainnya bahu dan tulang selangkanya sudah terekspos. Harriet tidak tahu di mana posisi tepat kedua tangan pria itu, karena sensasi yang lebih luar biasa terus mengalihkan perhatiannya. Mulut Liam terus mengecupi seluruh pipi, rahang, tengkuk dan tempat-tempat lainnya yang menguarkan bau yang kuat. Namun begitu kedua payudaranya terbuka, perhatian pria itu beralih pada mereka.  "Madam, bagaimana korsetmu menyembunyikan sesuatu seperti ini?" Wajah Harriet merona merah. Ia memang sudah bertekad membiarkan suaminya melakukan apa pun yang ia inginkan, tetapi kata-kata pria itu terus menggodanya seperti tidak ada hari esok.  Klik klik klik Pria itu melepas korset Harriet turun lagi ke bawah dengan sabar, perlahan, seolah menikmati prosesnya. Hari ini Harriet memang mengenakan korset yang lebih mudah dilepas, tapi sikap santai Liam membuatnya semakin malu. Pria itu jelas sudah sangat berpengalaman dalam hal ini– Klik! Kancing kait terakhir sudah terlepas, tetapi Liam masih tidak melakukan apa pun padanya selain menatapnya. Sepasang mata emas itu seolah bisa membuat Harriet menjadi jauh lebih gugup daripada semua yang telah pria itu lakukan sejak tadi. Jika tadi jantungnya berdebar keras, sekarang jantungnya terasa tidak karuan. Pandangan pria itu turun ke pahanya dan tanpa satupun ekspresi kecuali sepasang mata yang seolah membakar kulitnya. "Jadi kau mengenakan garter belt di bawah celana dalammu?" Liam bertanya dengan suara husky. Harriet menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia benar-benar malu. "A-a-agar Anda tidak perlu melepaskan garter beltnya untuk melepaskan celana dalam saya…" Liam mencoba mendongak dan menarik napas dalam. Telinga pria itu sendiri juga begitu merah saat ini. Ia tidak tahu Harriet itu polos atau tidak. Sikapnya sangat menggemaskan seperti seorang perawan tetapi wanita itu cukup tahu tentang hal-hal semacam ini. "Katakan padaku siapa yang mengajarimu semua ini, Madam?" tanya Liam, membuka tangan Harriet yang menutupi wajahnya.  Mata wanita itu berair seperti akan menangis saking malunya, tetapi wanita itu menjawab dengan berani sambil menatap kedua mata sang Alpha. "Saya membaca banyak buku…" … Liam mengerjap. "Demi hari ini?"  Harriet mengangguk. "Madam…" Liam menggeram dan mencium wanita itu seperti sedang menerkamnya. Harriet membuka mulutnya dengan canggung. Namun hal itu membuat Liam semakin tenggelam. Lidahnya mengajak lidah Harriet untuk mengecap satu sama lain sementara ia merasakan jelas betapa kakunya ciuman wanita itu. Wanita itu tidak tahu harus apa, namun ia berusaha mengimbangi– Tangan Harriet perlahan naik, memeluk leher Liam. Satu tangan lainnya mengelus kepala dan sela-sela rambut pirang panjang pria itu. Tanpa perlu melepaskan garter beltnya, Liam menarik turun celana dalam Harriet. Di saat yang sama, ia mencium dan mengulum ujung p******a Harriet, membuat Harriet yang terkejut, refleks menaikkan pahanya ke atas. "Uhh…!" konsentrasi Liam terputus karena paha Harriet tanpa sengaja menyenggol s**********n pria itu, membuat Liam menggeram pelan.  "M…maaf…" Harriet merona merah. Ia sudah berusaha bersiap untuk hari ini, tapi sepertinya ia terus membuat kesalahan canggung dan memalukan. Apa lagi, ia tidak tahu sama sekali apa yang pria itu pikirkan. Napas berat Liam menggelitik d**a sintalnya. Sensasi geli dan tajam merenggut kesadaran Harriet dari ujung payudaranya yang sedari tadi dipermainkan. "...Ummh, Milord…" Liam tidak bisa menahan senyumnya. Harriet sepertinya tidak sadar bahwa sedari tadi paha wanita itu di antara kedua kakinya terus bergesekan dengan paha dalamnya. Reaksi wanita itu terhadap sentuhannya begitu menarik untuk dipelajari dan cara wanita itu meresponsnya dengan canggung sangat menggemaskan dan memesona. Karena terlalu fokus pada sensasi yang Liam berikan pada dadanya, Harriet terkejut saat sesuatu tiba-tiba memasuki dirinya. Di bawah sana, di tempat yang tidak pernah disentuhnya, sesuatu yang tebal dan panjang menyusup tanpa aba-aba. "Eh...?" Ekspresi bingung Harriet menarik perhatian Liam. "Apa kau pernah menyentuh dirimu sendiri, Madam?" Harriet masih terlihat bingung dan terkejut saat sesuatu di dalam dirinya itu bergerak. Harriet mencoba melihat ke bawah, sadar bahwa ternyata sesuatu yang bergerak di dalam dirinya itu adalah jemari Liam. Begitu aneh, sesuatu yang asing bergerak dalam dirinya.  Karena tangan Liam dua kali lebih besar dari tangan Harriet, dan sebelumnya Harriet tidak pernah merasakan apa pun masuk ke dalam dirinya di sebelah situ, kebingungan dan rasa malu Harriet semakin memuncak. "Ah... Madamku tidak pernah bermain di sini?" tanya Liam yang tiba-tiba memasukkan satu jari lagi. Dua jemari panjang dan kasar pria itu memberi Harriet sensasi yang lebih jelas dari sebelumnya. "Ah...?" Harriet sangat bingung dengan sensasi yang ia rasakan. Matanya menjadi kabur dan mulutnya terbuka, mencoba menarik napas tercekat. Liam hampir kehilangan akal saat ia tergesa membuka kancing celananya. Ia kesal tidak membukanya sedari tadi. Tempat di mana jarinya bersemayam telah siap dan basah. Ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Di saat yang sama, Harriet melihat sesuatu yang besar dan berdiri keluar dari celana pria itu. Liam tersenyum tidak berdaya.  "Madam, apa kau tahu inilah yang akan memasukimu di sini?" menunjukkan kejantanannya yang sudah berdiri tegak, Liam juga mengelus titik di dalam v****a Harriet dengan dua jemarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD