Pertemuan Dengan Kaisar

1240 Words
Kembali ke ruangan hotelnya, Harriet yang sudah puas berbelanja pun menjatuhkan tubuhnya langsung ke ranjang yang belum digunakannya sama sekali. Harriet dengan malas melepas gaunnya dan melemparkannya ke sisi kursi samping ranjang. Ia tersenyum konyol pada dirinya sendiri memikirkan reaksi Liam menerima oleh-oleh darinya. Apakah pria itu akan bangun tanpa bulan purnama lagi? Saat ia ada di sini, apakah ia kesepian? Harriet tertawa sendiri. Namun perlahan, pikirannya kembali pada perang yang mungkin akan tiba, dan setiap tanggung jawabnya. Harriet memejamkan mata. Setiap ujung jarinya meraba rasa lembut sprei putih ranjang hotel. Sebelum masuk ke dunia mimpinya, ia memikirkan tentang balasan dari Benua Barat untuk benua ini. Dan hari itu, Harriet dihantui oleh mimpi buruk yang begitu panjang dan mengerikan. Bendera merah, hujan abu dan percikan api. Tanah yang terbakar, lembab karena darah, dan langit abu-abu yang suram. Itu adalah gambaran medan perang besar dalam mimpi Harriet. Benar. Anehnya, Harriet tahu bahwa ini adalah dunia mimpi. Ia berdiri menatap langit, sendirian. Mayat-mayat kuda dan prajurit berarmor merah bergelimpangan di sekitarnya. Saat Harriet menoleh ke belakang, ia melihat pantai di kejauhan. Di ujung sana, matahari keemasan hampir terbenam. Dan Harriet melihat sesosok pria berdiri sendirian, dengan siluetnya yang hitam membelakangi matahari di belakangnya. Tapi Harriet tidak bisa melihat siapa pria itu. –STAB! “Ugh!” Harriet melihat ke bawah, dimana sebilah pedang panjang menerobos dadanya dari belakang. Darah mengucur dari bibir Harriet, jatuh ke tanah. Saat itulah Harriet melihat ke sosok siluet yang membelakangi matahari keemasan. Harriet meneteskan air mata darah. . Kaisar membuka matanya lebar-lebar di atas ranjangnya, menatap ke langit-langit. Ia menggeram pelan. “Sepertinya aku kebanyakan tidur siang,” gumamnya. Ini tengah malam, tapi ia tidak bisa tidur. Mungkin sebaiknya ia bekerja saja ke ruang kerjanya sendirian. Namun, saat ia akan bangun, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. “Your Majesty!” Kaisar mengangkat tubuhnya dengan bugar, dan membuka pintu. “Ada apa? Ada masalah?” “A… anda belum tidur?” tanya salah satu sekretaris Kaisar itu. Kaisar melihat sebuah gulungan di tangan sekretarisnya dan mengambilnya tanpa mengatakan apapun. Pria paruh baya itu membuka gulungan surat itu dan bergumam pelan. “Ini adalah balasan yang dikirim langsung dari tengah lautan, Your Majesty. Utusan dari Benua Barat telah datang membawanya ke garis pertahanan maritim kita,” jelas sekretaris itu. Kaisar yang sudah tahu mengangguk sekali, lalu memerintahkan sekretarisnya itu memanggil semua orang. “Jangan lupakan Harri,” ucap pria itu dan mengambil jubahnya. Saat semua orang telah berkumpul di ruang tahta, Kaisar agak terkejut melihat sosok Harriet yang muncul sedikit terlambat. Wajahnya terlihat pucat dan kantung matanya terlihat jelas. Ia tidak pernah melihat wanita itu seberantakan ini sebelumnya. Kaisar tidak bisa menanyainya apa yang salah pada saat itu juga, jadi ia memutuskan untuk segera memulai. Ia memerintahkan sekretarisnya untuk membacakan pesan dari Benua Barat. Kerajaan Hyacinth telah mengakui bahwa salah satu dari pangeran mereka adalah pelakunya, dan mengajukan untuk menyerahkan pangeran itu sebagai tahanan bagi Benua Euclase. Pelakunya adalah Pangeran Julian Hyacinth. Dan karena kegagalannya, pangeran lain yang menjadi pesaingnya dalam perebutan tahta kerajaan itu pun menang menjadi Putra Mahkota. Pangeran lain ini pulalah yang mengambil keputusan untuk mengirim si pelaku menjadi tahanan. Ia bahkan berjanji untuk datang sendiri mengantar pelakunya, adiknya sendiri, ke Euclase. “Putra Mahkota Heinrich Hyacinth berjanji untuk datang ke Euclase dalam waktu seminggu.” Setelah Sekretaris Kaisar menutup surat itu, pecahlah bisik-bisik dan diskusi antara menteri dan bangsawan. Semua orang terdiam saat Harriet berdiri dari tempat duduknya. “Seperti yang sudah saya janjikan, masalah ini akan menjadi kewajiban dan kewenangan bagi Goldlane, Almandine dan Amaryllis.” Harriet membungkuk memberi hormat dan pergi dari sana diikuti para pengawal Lycannya tanpa kata-kata lagi. Bersama perginya Harriet, semua orang menghela napas lega. Kaisar mengumumkan bahwa mereka harus tetap bersiaga dan tidak lengah. Setiap s*****a dan meriam takkan ditarik mundur, dan semua orang harus tetap bersiap untuk kemungkinan terburuk. Kaisar membubarkan pertemuan. Pada akhirnya, ia senang segalanya berakhir baik. Tapi sosok Harriet hari ini mengusik hatinya. Apakah Harriet baru menerima masalah lain? Mestinya tidak, kan? Ternyata, yang memperhatikan betapa pucatnya Harriet hari itu bukan hanya Kaisar, namun juga seorang pria lain. Ezekiel Euclase mengerutkan alisnya dalam melihat Harriet. Dalam pikirannya terlintas mimisan yang wanita itu alami siang itu di butik. Apakah ia bahkan belum beristirahat hingga sekarang? Saat Ezekiel melangkah masuk ke dalam istana, ia dapat mendengar ayahnya bicara pada sekretarisnya di lorong. Ezekiel berhenti melangkah saat ia mendengar nama Harriet keluar dari bibir ayahnya. “...dia pasti menunda istirahatnya lagi. Aku tidak pernah melihat wajahnya sepucat itu, coba kirimkan seseorang untuk menanyakan kondisinya,” ucapan Kaisar membuat Ezekiel semakin merasa penasaran. Jadi Ezekiel melangkah mendekati ayahnya. “Kau bahkan lebih mengkhawatirkan wanita itu daripada putramu sendiri,” ucapnya dingin di belakang Kaisar. Axias, Sang Kaisar, berbalik menoleh pada putranya satu-satunya. Keduanya bertatapan sejenak dalam diam, dan Sekretaris Kaisar dengan cepat mengundurkan drii untuk melaksanakan perintah Kaisar. “Aku sudah pernah bilang ini padamu sebelumnya, tapi Harriet sudah kuanggap putriku sendiri. Seorang ayah otomatis akan lebih menyayangi putrinya daripada putranya,” ucap pria paruh baya itu santai. Ezekiel menatap ayahnya dengan dingin. “Jika tidak ada yang mau kau katakan lagi, pergilah beristirahat,” perintah Axias. Ezekiel menatap ke arah sepatu ayahnya yang pria paruh baya itu pakai dengan serampangan karena terburu-buru pergi ke ruang tahta untuk menghadiri pertemuan. Ayahnya selalu seperti ini. Ia berantakan, sangat blak-blakan, dan… Tap. Axias menyentuh bahu Ezekiel dan memijatnya lembut. “Kau sudah bekerja keras. Jangan lupakan istirahat, atau kau akan terlihat cepat tua sepertiku,” ucap pria paruh baya itu, tersenyum hangat dan berjalan pergi. Memandang punggung ayahnya yang berjalan menjauh, Ezekiel mencoba untuk membuka mulutnya. Ia memang ragu, namun ia ingin mencoba untuk bertanya. “Ayahanda, mengapa kau ingin Harriet mendampingiku sebagai Kaisarina?” tanya pria itu, saat ayahnya mulai berjalan menjauh darinya. Axias berhenti melangkah dan mengangkat alisnya tinggi. Pria paruh baya itu tersenyum lembut setelah sepersekian detik, menyadari perubahan nada bicara Ezekiel saat menyebut Harriet. Ada apa ini tiba-tiba? “Kenapa kau ingin tahu sekarang?” tanya Axias tanpa menoleh kebelakang. Ezekiel menatapnya kesal. “Apa karena sekarang dia sudah bersuami?” tanya pria paruh baya itu lagi. “Apa yang membuatmu begitu yakin Harriet akan menjadi Kaisarina yang baik, hanya itu yang ingin kutahu, Ayahanda,” ucap Ezekiel. Namun Ezekiel hanya mendengar ayahnya tertawa kecil sambil berbalik menghadapnya. “Menurutmu kenapa?” Ezekiel terdiam sejenak. “Karena bakat berpolitiknya dan kemampuannya bernegosiasi?” Kaisar menggeleng. “Bukankah kau lebih baik dari dia soal itu?” Ezekiel terkejut. Di lorong itu, seorang ayah dan putranya berhadapan. Lalu mengapa Kaisar jauh lebih menghargai Harriet Goldlane daripada dirinya, putranya sendiri, selama ini? “Dengar, kau tahu dalam lubuk hatimu yang terdalam bahwa kau lebih baik darinya dalam politik dan negosiasi, tapi kau tetap saja bisa mengakui bahwa ia berbakat dalam semua itu dan lebih berhasil darimu, kan?” tanya Axias. “Dan karena itu kau menjadi sangat kesal padanya, dan menganggap aku dan semua orang tidak adil?” tanya Axias kemudian sambil tertawa kecil. Ezekiel tidak bisa menjawab, karena itu benar. Sementara itu, Axias melanjutkan tawanya dan berjalan pergi meninggalkan putranya yang masih kebingungan. “Kau sudah terlambat, nak. Kalau kau bersedia mengenalnya lebih dalam dan menikahinya, kau mungkin akan tahu,” ucap Axias, membuat Ezekiel semakin kesal. Kenapa ayahnya tidak memberitahunya saja dan harus berputar-putar seperti ini?! Dengan kesal, Ezekiel berbalik pergi, masih mendengar tawa penuh ejekan dari ayahnya yang berjalan pergi ke arah yang berlawanan dengannya. . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD