Mungkin Aku Merindukanmu

1029 Words
“Madam, dua kali aku terbangun itu selalu ada hubungannya denganmu, kau juga sadar, kan?” Harriet memakan makanannya dengan tenang di sofa, mencoba mengabaikan kata-kata Liam yang jelas-jelas ia katakan untuk menggodanya. “Ayolah, kita berdua tahu aku bangun pertama kali di pagi hari itu setelah Madam tidur bersamaku. Kemudian, aku bangun kedua kalinya saat Madam akan memandikanku. Bukankah sudah jelas bahwa kuncinya berada di tanganmu, Madam?” tanya Liam kemudian. Apa yang Liam katakan itu seratus persen benar, namun Harriet merasa cara Liam mengucapkannya membuat segalanya terdengar aneh. “Mungkin Madam harus menghabiskan waktu lebih banyak denganku agar aku bisa bangun lebih sering lagi?” tanya Liam. Sejak dulu, Harriet terus merasa jika kedatangannya akan mempengaruhi hidup pria ini. Dan ketika ada perubahan dalam rutinitasnya yang biasanya hanya bangun sebulan sekali, tentu saja Harriet merasa bahwa itu jelas ada hubungannya dengannya. “Milord, apakah Anda memaksakan diri untuk bangun karena Anda merasa bersalah jika saya merasa kesepian tanpa dukungan Anda sebagai suami saya?” tanya Harriet kemudian. Liam mengangkat alisnya, terdiam. Memang benar bahwa Liam terbangun karena Harriet. Tapi bukan karena Harriet membawa efek khusus istimewa yang membuat Liam terbangun. Harriet merasa itu karena Liam sendiri ingin terbangun. “Milord, saya berharap Milord tidak menukar waktu istirahat Anda atau kekuatan yang Anda gunakan untuk bertahan hidup hanya untuk bangun dan menemui saya. Saya tidak ingin hanya karena Anda mengasihani saya, Anda mengorbankan diri Anda sendiri,” ucap Harriet. Liam tersenyum. “Kasihan? Madam, kalau kau sepintar ini, kau pasti tahu mengapa aku terus berusaha bangun untuk menemuimu sebulan ini, kan?” Liam pun mengakui bahwa dirinya memang terbangun karena usahanya sendiri untuk terbangun. Harriet terkejut dan mengangkat wajahnya, menatap lurus pada Liam. “Kita berdua sudah sepakat untuk bicara malam ini, jadi mari kita membicarakan hubungan kita, Madam,” ucap Liam lembut. Setiap ekspresi jenaka dan tatapan nakal menggoda pria itu digantikan dengan wajah tenang dan seriusnya, membuat hati Harriet justru semakin bergejolak. “Madam, apa yang kau pikirkan tentangku?” tanya Liam tenang, menyingkirkan makan malamnya yang sudah habis. Harriet menyingkirkan nampannya sendiri yang sudah kosong dari makanan. Ia menoleh pada Liam yang menatapnya lurus-lurus. Ia membalik pertanyaan Liam. “Bagimana dengan saya menurut Milord?” tanya Harriet. Liam tidak segera menjawab, dan Harriet tidak keberatan menunggu dalam keheningan. Meskipun Liam tidak menjawab sekalipun, Harriet tidak akan mencoba untuk mencari tahu. Karena Harriet mulai tahu bahwa Liam setidaknya tidak membencinya. Liam menerimanya sebagai seorang istri, mengkhawatirkannya dan bahkan mencoba untuk membangunkan dirinya sendiri dari tidur panjangnya. Harriet lega, dan khawatir di saat yang bersamaan. “Kau adalah wanita yang tepat yang datang di saat yang tepat,” jelas Liam dengan suara tenang. Harriet tersenyum senang mendengarnya. “Aku sudah menjawab pertanyaanmu, kini jawab pertanyaanku dengan jujur, Harriet,” ucap Liam tiba-tiba, dengan menyebut namanya. Harriet masih belum menghapus senyumnya dan memutuskan untuk menjawab jujur dengan sedikit rona di wajahnya. “Ini mungkin memalukan, Milord, tapi Anda adalah pria pertama di hidup saya… dan Anda adalah yang pertama dalam banyak hal,” jelas Harriet. Liam agak terkejut. Di surat yang ia baca soal Harriet dari kakeknya sempat mencantumkan tanggal lahir Harriet dan beberapa pendapat kakeknya soal wanita itu juga, jadi Liam tahu bahwa Harriet adalah wanita dewasa yang cakap dalam banyak hal. Harriet adalah wanita berusia 25 tahun. Liam merasa tidak mungkin Harriet tidak pernah merasakan cinta sebelumnya, atau tidak pernah naksir pada pria mana pun. “Sayangnya, saya tidak punya banyak kesempatan untuk memikirkan soal hubungan dengan lawan jenis di masa muda saya, dan meskipun saat ini pun saya masih muda, saya rasa saya termasuk terlambat jika dibandingkan dengan para wanita yang lain,” ucap Harriet tenang. Entah mengapa, Liam bisa mengerti. “Kau masih muda, dan ini adalah pengalaman pertamamu soal pria. Madam, bukankah nasibmu sangat malang?” tanya Liam dengan sedikit nada sedih. Harriet menatap pria yang membelakangi sumber cahaya itu dan tertawa kecil. Malang? Harriet merasa ia tidak terlalu malang. Setelah sebulan lebih tinggal di sini, kehidupan yang ia rasakan tidaklah sebegitu kesepian dan membosankan seperti yang ia kira. “Aku adalah pria yang sekarat,” ucap Liam. “Dan aku adalah pria pertamamu.” “Apakah Madam tidak menyesal?” Liam menunggu jawaban wanita itu tanpa banyak harapan. “Sejujurnya, bahkan jika ini akan menjadi hari terakhir kita bertemu, Milord, saya… saya tidak menyesal,” jelas Harriet. Liam merasa seolah sebuah batu besar di punggungnya baru saja terangkat. Sesuatu yang perih menyebar di d**a kosong Liam di saat yang bersamaan. “Aku janji ini tidak akan menjadi hari terakhir kita bertemu,” ucap Liam yang perlahan menarik Harriet mendekat. Harriet tidak melawan. Mereka sudah duduk bersebelahan dan kini Harriet mulai menyandar di tubuh pria itu. “Dan Madam, aku tidak bangun karena aku mengkhawatirkanmu atau mengasihanimu,” ucap Liam lembut. Pria itu mencium dahi Harriet. “Aku saja terkejut aku berhasil bangun, kau tahu?” “Benarkah?” Harriet mendongak menatap Liam. Liam mengangguk. “Madam, sebenarnya aku hanya merindukanmu.” Sebuah senyuman nakal muncul di bibir pria itu, dan Harriet tidak tahu apakah kata-katanya jujur atau hanya godaan lagi. “Apa Madam tidak percaya?” tanya Liam. Harriet sudah tahu Liam tidak membencinya. Ia juga sudah tahu Liam menerimanya dan menganggapnya sebagai istri. Tapi apakah Liam benar-benar merindukannya? Harriet tidak tahu. “Bagaimana ini, Madamku tidak percaya aku benar-benar merindukanmu,” gumam Liam sambil meraba bahu wanita itu. “Apa yang harus kulakukan agar Madam percaya?” Harriet mengalihkan pandangannya ke segala arah untuk menghindar dari tatapan Liam, sementara mata emas Liam melirik ke pinggang gaun Harriet yang hari ini terlihat lebih mudah dilepas dari sebelumnya. “Madam, apakah kau mengenakan celana dalammu setelah garter beltmu seperti sebelumnya?” bisik Liam lembut. Rona di wajah Harriet makin terlihat jelas saat Harriet mengangguk pelan. Liam menarik lengan Harriet dengan lembut dan memintanya berdiri. Liam sendiri tetap duduk di sofa, namun ia meminta Harriet berdiri menghadapnya. “Aku bisa membuktikan bahwa aku merindukanmu, tapi coba buktikan padaku juga,” ucap pria itu dengan sebuah senyum nakal. Mata emas Liam menatapnya membuat Harriet merasa ditelanjangi. Kata-kata pria itu selanjutnya membuat Harriet hampir mati karena rasa malu. “Angkat rokmu dan tunjukkan padaku, Madam.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD