Labeldo - 05

1068 Words
Sakugo saat ini benar-benar tidak menyangka harus mengalami hal seaneh ini, dia sekarang sedang dipaksa oleh Karlia, gadis mungil berambut panjang yang pernah muncul di dalam kamarnya, untuk mewarisi gelar ayahnya, menjadi seorang Labeldo. Jelas Sakugo menolak itu, tapi dia harus menerima resikonya yaitu dibunuh oleh Karlia karena secara tidak langsung, penolakan berarti pengkhianatan terhadap ayahnya sendiri. Jujur, itu sama sekali tidak masuk akal karena bagi Sakugo, menolak adalah haknya sebagai manusia dan itu bukan berarti dia sedang mengkhianati ayahnya sendiri, lagipula, dia yakin ayahnya tidak akan memaksa-maksa anaknya sendiri untuk mewarisi gelarnya hanya karena sedarah dengannya. Itu tidak akan pernah terjadi, dan ayahnya pasti tahu bahwa penolakan yang Sakugo berikan, bukan berarti telah mengkhianati perjuangannya. Tapi sayangnya, Sakugo tidak sedang berhadapan dengan ayahnya saat ini, melainkan dengan Karlia, seorang gadis mungil pemaksa yang tidak segan-segan membunuhnya hanya karena menolak permintaannya. “Tunggu, kau mau apa dengan sorotan tajam dari matamu itu, padaku!?” Tentu saja Sakugo panik saat wajah Karlia jadi begitu menyeramkan. “Bisakah kita bicarakan dulu semua ini secara baik-baik? Aku pikir membunuh seseorang hanya karena dia menolak sesuatu, terlalu kejam bukan? Kau tidak ingin menjadi pembunuh bukan? Jika kau membunuhku, bukankah kau sendiri yang telah mengkhianati ayahku karena mau bagaimanapun, aku adalah anak kandungnya, dan dia pasti akan sangat marah melihatmu membunuh anak kesayangannya!” Mendengar perkataan dari Sakugo, membuat Karlia sedikit tersentak, dia jadi tersadarkan pada hal itu dan mulai mengatur napasnya perlahan-lahan. “Kau benar juga,” ucap Karlia saat emosinya sudah mulai stabil. “Meskipun aturannya, kau harus kubunuh sekarang juga karena telah berani menolak warisan gelar dari ayahmu, tapi aturan hanyalah aturan, itu tidak sebanding dengan sosok ayahmu yang selama ini telah membantu dan melindungiku.” Sakugo senang karena Karlia bisa berpikir dengan jernih dan melupakan aturan bodoh tersebut. “Aku senang jika kau bisa menjadi sedikit manusiawi dari sebelumnya, kupikir kau ini hanya sesosok monster buas yang berpenampilan seperti gadis mungil, hehe!” Sayangnya, candaan yang dilontarkan oleh Sakugo sama sekali tidak membuat Karlia senang, malah sebaliknya, ia jadi merasa sangat tersinggung pada ucapan dari anak laki-laki itu. “Jadi selama ini, kau berpikir aku ini hanyalah sesosok monster yang berpenampilan seperti gadis mungil, begitu?” Suara Karlia jadi terkesan menggeram penuh kemarahan. “Bisakah kau mengulanginya sekali lagi? Aku sangat ingin mendengarnya dengan lebih jelas sekarang.” Seluruh tubuh Sakugo kembali merinding, wajahnya jadi sangatt pucat, dia menyadari kalau perkataannya telah menyinggung perasaan Karlia yang sensitif. Gawat, Sakugo harus segera meluruskan semua itu sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi padanya. “Baik! Baik! Baik! Aku ralat ucapanku! Aku sama sekali tidak berpikiran begitu! Itu hanya candaan saja! Aku tidak benar-benar menganggapmu seperti itu! Kumohon! Aku tidak bermaksud menyakiti atau menyinggung perasaanmu, Karlia!” Disitu, Karlia langsung tertawa terbahak-bahak, tampak begitu senang karena akhirnya dia berhasil membuat Sakugo ketakutan lagi seperti sebelumnya. “Hahahahaha! Bagus! Memang seharusnya kau seperti ini! Kau ini hanyalah anak pecundang yang tidak tahu soal kerasnya dunia bawah! Hanya wajahmu saja yang mirip, tapi sikap dan kepribadianmu, sama sekali tidak sejantan ayahmu!” Kemudian, setelah berbincang-bincang dengan Karlia, Sakugo akhirnya bisa mengetahui segala tentang Labeldo dan dia mulai mengerti mengapa ayahnya bisa menjadi seorang Labeldo. Jujur, rasanya seperti terjebak di dalam dunia fantasi, karena itu semua memang sama persis seperti yang ada di dalam film-film atau komik-komik fantasi. Sihir, monster, dunia bawah, pahlawan, itu semua ada di dalam dunia para Labeldo. Sakugo tidak pernah tahu kalau selama ini ayahnya telah berada di dalam dunia yang seperti itu, hidup dengan penuh perjuangan sementara anak semata wayangnya, hidup sendirian di dunia manusia yang damai. Entahlah, setelah mendengar segala penjelasan-penjelasan yang dikemukakan oleh Karlia, Sakugo jadi kebingungan terhadap perasaannya sendiri. Penolakan masih ada di dalam hatinya, karena dia tidak ingin terlibat ke dalam hal-hal yang berbahaya, tapi ketertarikan juga muncul di hatinya, karena dia ingin melihat dan merasakan dunia yang telah ayahnya alami selama ini. “Jadi bagaimana, apakah kau masih menolaknya? Keputusan ada di tanganmu, Sakugo. Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari pada keputusanmu sendiri, karena apapun keputusanmu, itu yang akan menjadi jalan hidupmu ke depannya.” “Untuk sekarang, aku masih tidak tahu,” jawab Sakugo dengan suara yang rendah. “Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi aku jadi merasa harus memikirkannya baik-baik sekarang, karena itu bukan keputusan yang mudah dan sepele. Ada banyak faktor yang pastinya akan kusesali jika aku sembarangan memutuskan. Jadi, tolong beri aku waktu sedikit lagi untuk menimbang keputusanku, Karlia.” Tersenyum dan menganggukkan kepala, Karlia senang karena akhirnya Sakugo bisa menanggapi keputusan ini dengan serius, tidak lagi asal menolaknya atau menerimanya. Memang begitulah seharusnya, semua itu wajib dipikirkan dengan matang-matang, agar tidak menimbulkan penyesalan yang tiada akhir. “Oke, aku akan menunggu sampai kau sudah benar-benar siap, Sakugo,” kata Karlia dengan santai. “Sekarang, bisakah kau ikut denganku, aku perlu bantuanmu sekarang.” Kemudian, Karlia mengajak Sakugo menuju belakang rumahnya, dan bocah itu diperintahkan untuk mencangkul halaman tanah kebun yang basah, agar gadis mungil itu sebagai sang pemilik rumah bisa menanamkan bibit-bibit tanaman ke dalamnya tanpa harus bersusah payah mencangkul tiap jengkal tanah terlebih dahulu. Awalnya Sakugo merasa keberatan, karena selain cuacanya sedang sangat panas, dia juga belum pernah melakukan pekerjaan kasar seperti itu, takutnya ia tidak mampu mencangkul tanah dengan benar dan menimbulkan hasil yang buruk. Namun, Karlia menekankan tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, karena seburuk apapun hasil cangkulan Sakugo, itu lebih dari cukup dibanding tidak melakukannya sama sekali. Terpaksa, akhirnya Sakugo membantu Karlia menanam bibit-bibit berbagai tanaman di kebun belakang rumah gadis itu, mereka berdua tampak serius melakukan tugasnya masing-masing, terik matahari yang begitu benderang, membuat tubuh mereka berkeringat deras, rasa letih dan haus mulai menerjang badan dan tenggorokan, karena itulah, Karlia memilih untuk beristirahat terlebih dahulu bersama Sakugo di teras belakang rumahnya. Kini, mereka berdua sedang duduk santai setelah meminum dua gelas air dingin yang menyegarkan. Di sela-sela waktu istirahat mereka, Sakugo melemparkan sebuah pertanyaan lain terkait pembahasan sebelumnya, yang sepertinya masih belum ia tanyakan. “Ngomong-ngomong, apakah ibuku juga seorang Labeldo? Karena seingatku, dia juga menghilang begitu saja dengan ayah, dan aku sama sekali tidak tahu pergi ke mana mereka sampai akhirnya aku jadi hidup sendirian.” “Tidak, ibumu bukan seorang Labeldo, dia hanya perempuan biasa dengan kehidupan yang biasa.” “Lalu, apa hubunganmu dengan ayahku? Kau bilang, kau adalah sahabat dekat ayahku? Tapi apakah itu benar? Karena kurasa, kau tidak terlihat seperti itu. Maksudku, aku merasa kau bertingkah seperti gadis yang menyukai ayahku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD