Labeldo - 06

1093 Words
Sebagai seorang perempuan, tentu saja Karlia terkejut dan memerah saat mendengar Sakugo berkata begitu tanpa melihat situasi dahulu. Sungguh, apakah remaja lelaki memang sepolos itu? Atau mereka memang tidak punya filter saat mengucapkan sesuatu pada orang lain? Karlia tidak pernah merasa semalu ini saat mendengar pertanyaan orang lain terkait apapun itu, kali ini benar-benar sangat memalukan, karena itu melibatkan soal perasaannya, atau bisa dibilang, hubungannya dengan seorang laki-laki. “Sakugo, apakah aku terlihat seperti itu di matamu?” Karlia berusaha bersikap setenang mungkin saat bertanya begitu pada lelaki remaja yang duduk di sampingnya, meski semburat rona yang memerah di pipinya mulai tampak begitu jelas di sana. “Aku tidak bermaksud menggodamu atau apa, aku hanya mengungkapkan apa yang kurasakan saja, tapi tentu saja itu bukanlah fakta, karena itu hanya sebatas opini pribadiku saja terhadapmu dan kau berhak menentangnya jika itu tidak benar.” Oke, untuk kali ini, Sakugo mulai bisa membaca situasi dengan baik, terbukti dengan perkataannya yang mulai mencoba memperbaiki keadaan yang canggung, dan itu membuat Karlia jadi sedikit bernapas lega karena akhirnya anak lelaki itu bisa menyadari perkataan lancangnya yang asal menuduh perihal perasaan pribadi seseorang. Sebelum menanggapi lebih lanjut, Karlia mencoba meminum seteguk air dingin terlebih dahulu. “Sebenarnya aku memang pernah memiliki hal semacam itu pada ayahmu, Sakugo,” aku Karlia dengan nada yang cukup gugup, membuat Sakugo tercengang mendengarnya. “Tapi itu dulu, ya. Kalau sekarang aku sama sekali tidak memiliki hal semacam itu lagi, dan alasan mengapa aku menemuimu, murni karena aku ingin membantu ayahmu, bukan karena hal-hal lain. Apa kau paham sampai sini, Sakugo?” Sakugo menganggukkan kepalanya. Dia mengerti pada ucapan lancangnya yang sebelumnya terlontar dan berusaha memperbaiki keadaan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau bentrokan. Sakugo jadi merasa bersalah, tapi dia cukup terkejut karena dugaannya tidak sepenuhnya salah, karena Karlia memang pernah menyukai ayahnya, meski itu hanya berada di masa lalu. “Ya, aku paham seratus persen. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita lanjutkan pekerjaan kita? Kurasa sesi istirahatnya jadi terlalu lama.” Karlia setuju dan akhirnya mereka berdua kembali ke halaman belakang dan berkebun kembali dengan santai. Karlia senang karena akhirnya ada orang yang bersedia membantunya di kebun, karena biasanya dia harus bersusah payah mengerjakan semuanya sendirian di sana, itu sangat melelahkan. “Apa kau suka s**u cokelat?” Di sore harinya, setelah pekerjaan mereka di kebun telah usai, Karlia menawari minuman hangat pada Sakugo yang sedang rebahan di sofa, anak itu menganggukkan kepalanya dengan semangat dan akhirnya ia menikmati secangkir s**u cokelat  hangat bersama Karlia di ruang keluarga dengan duduk di sofa yang sama. Sembari menyeruput s**u cokelat, Karlia mulai memecahkan keheningan dengan  bertanya seputar kehidupan yang Sakugo alami selama ini di tempat kelahirannya. Sakugo menjawab dan menjelaskan semua masa lalunya dengan suara yang rendah. Akhirnya Karlia mengetahui semua masa lalu Sakugo dan dia jadi cukup bersimpati pada hidup anak lelaki itu karena ternyata dia memiliki kehidupan yang tidak mudah. Menjadi seorang yatim piatu di usia semuda itu memang sangat sulit, terutama jika harus tinggal di kota besar yang biaya hidupnya sangat tinggi. Karlia kagum pada Sakugo yang mampu bertahan di kehidupannya sampai saat ini meski berbagai tantangan selalu menerpanya. “Aku benar-benar bangga padamu, Sakugo.” Ucap Karlia dengan tersenyum dan mengusap-usap kepala Sakugo yang duduk di sebelahnya. Perempuan itu yakin, Sakugo dapat tumbuh menjadi lelaki yang hebat di masa depan, sudah tampak jelas itu akan terjadi, melihat sikap dan keteguhannya di masa kini. “Terima kasih, Karlia, atau kupanggil saja dengan Bibi Karlia?” “Tidak, itu jelek. Cukup panggil saja aku seperti biasa, dengan nama depanku tanpa ada embel-embel yang lain. Aku tidak mau terlihat tua dengan dipanggil sebagai ‘Bibi’ atau semacamnya, padahal penampilanku sangat muda sekali, benar kan?” “Ya, itu memang benar. Penampilanmu memang sangat muda, seperti gadis mungil yang masih polos, hahahahah!” “Dasar kau ini.” Keesokan harinya, Karlia mulai mengajak Sakugo untuk berdiskusi berat seputar dunia Labeldo di ruang tamu, gadis itu juga menunjukkan selembar kertas besar yang merupakan peta bawah tanah dari dunia bawah tanah yang sering dikenal sebagai alam kesengsaraan. Di dalamnya banyak sekali simbol-simbol dan jalur-jalur yang tidak Sakugo mengerti, karena peta tersebut sangat berbeda dengan peta-peta pada umumnya. Aturan membacanya agak aneh dan asing, tapi Karlia menjelaskan pelan-pelan agar Sakugo dapat memahaminya. Awalnya memang membingungkan dan sulit, tapi lambat-laun akhirnya Sakugo bisa memahami peta bawah tanah itu, setelah dijelaskan oleh Karlia sekitar 3 jam lebih. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Sakugo saat Karlia menunjukkan aturan-aturan peta, dan untungnya, gadis itu bisa mengemukakan penjelasannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga siapapun bisa langsung mengerti soal peta tersebut. “Jadi, kau sudah paham, kan?” “Tentu saja, aku tidak pernah menduga kalau peta aneh seperti itu bisa kupahami dengan mudah. Aku yakin, siapapun tidak akan langsung mengerti jika mencoba menebaknya sendirian, peta ini sangat menarik! Dan aku yakin, keadaan aslinya tidak kalah menarik! Benar, kan, Karlia!?” “Sayangnya, tidak,” jawab Karlia dengan cepat. “Tidak ada yang menyenangkan dari dunia bawah tanah, sama sekali tidak ada. Yang ada, hanyalah ketakutan, ketegangan, kegelisahan, saat kita mengunjungi dunia itu pertama kalinya, bahkan aku saja yang sudah menjadi seorang Labedo selama 20 tahun, masih tidak bisa menemukan bagian menyenangkan dari dunia bawah tanah tersebut.” Sakugo hening sejenak sebelum akhirnya mulai mengajukan pertanyaan lain. “Tapi, jika dunia itu memang sangat menyeramkan, mengapa kau bertahan selama 20 tahun di sana, bukankah itu aneh?” “Tentu saja, itu karena aku tersesat dan sulit mencari jalan keluar. Tapi beruntungnya, aku bisa bertemu dengan beberapa labeldo lain dan mereka membantuku untuk keluar dari dunia tersebut.” “Oke, lalu kenapa kau memaksaku untuk masuk ke sana jika kau saja sempat mengalami hal semacam itu, maksudku, kau pasti trauma, kan? Tidak ingin mengingat atau bahkan membicarakan hal-hal seputar itu lagi? Tapi mengapa sekarang, kau seperti sales yang menawarkan dunia itu padaku, bahkan dengan kesan yang agak memaksa. Jujur, itu sangat aneh menurutku.” “Baiklah, baiklah, akan kuperjelas lagi,” Karlia menghela napasnya sejenak. “Aku memang bilang padamu, bahwa sama sekali tidak ada yang menyenangkan di dunia bawah, dan aku juga pernah kesulitan keluar dari sana bertahun-tahun, tapi, bukan berarti aku mengalami trauma sampai menyebabkanku tidak ingin lagi keluar dari kamarku atau semacamnya. Memang benar, tidak ada yang menyenangkan di sana, tapi bukan berarti, tidak ada tujuan.” “Tujuan? Apa maksudmu?” “Kau pikir memang apa yang membuat Labeldo rela membuang waktunya untuk masuk ke dalam tempat yang mengerikan semacam itu? Tentu saja karena mereka punya tujuan, dan tujuan mereka bukan hal-hal sepele seperti mencari harta karun atau semacamnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD