Tiga

2001 Words
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." Pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik, Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" Aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan sepertinya dia tetap belum mau pensiun. "Sehat Mas." Pak Hendra tersenyum ramah pada Clara dan wanita itu membalas dengan senyuman. "Mas Langit, sudah ditunggu bapak sejak tadi," ucap pak Hendra. Aku mengangguk. "Saya ke dalam dulu, Pak." Aku pun pamit padanya. Aku menggandeng tangan Clara dan membawanya masuk ke rumah. Kami menuju ke taman belakang yang luas dan rimbun oleh pohon-pohon yang sengaja ditanam di taman ini. Kulihat sudah ramai tamu yang datang, dan seperti biasa, tamu ayahku hanya orang-orang terdekatnya tapi tetap saja ramai. Taman ini disulap cantik dan germelap, terlalu feminim menurutku, dan ini pasti ide mami Jenia. "My boy!" Ayahku langsung menghampiriku saat melihatku datang dan langsung memelukku. "Happy birthday, Big boy." Aku mengucapkan selamat padanya dan memeluknya erat. "Thanks, Son. Sekarang tinggal Rizka yang belum datang," kata ayahku semangat dan bahagia. Aku tersenyum, dan sedikit gusar saat Ayahku menyebut nama Rizka. "Langit..." Mami Jenia menghampiriku dan langsung memelukku. "Apa kabar Mi? Mami semakin cantik." Aku membalas pelukannya. Dia memukul bahuku sambil tertawa. "Kau seharusnya sering pulang. Tidak rindu ya pada mami?" “Tentu saja aku rindu, Mami.” Aku mencium keningnya. "Dan siapa gadis cantik ini?" Ayahku bertanya dengan penuh minat. "Papi ... Mami ... kenalkan ini Clara Wiraatmadja, dan Clara, ini papi dan mamiku." "Putri Jerry Wiraatmadja?" tanya ayahku tersenyum lebar. "Iya, Om." Clara tersenyum sambil menyalami orang tuaku. "Wow, boleh juga, Son." Ayahku mengedipkan sebelah matanya padaku. "Berhati-hatilah dengan berandal ini cantik." Clara tertawa menanggapi. "Akhirnya Langit bawa perempuan ke rumah ini," kata mami Jenia tidak kalah semangat. Ringgo datang menghampiri kami bersama dengan sahabatnya Bima dan istrinya. Dan malam ini sahabtanya, Abraham Soetedja tidak hadir karena masih mengurus istrinya Camelia di dalam masa perawatan. Mereka menyapa ayah kami dan mengucapkan selamat. Ayahku dan mami Jenia pun pamit dari kami untuk menemui teman-teman mereka. "Sudah lama?" Ringgo memelukku dan menatap Clara yang di sampingku, lalu mengangkat alis penuh tanya padaku. "Baru sampai." Aku menjawab dan tidak memperdulikan rasa penasaran Ringgo terhadap Clara. "Hi, Bima..." Aku juga menyapa Bima dan istrinya. "Clara Wiraatmadja ... ini kejutan!" Ringgo tersenyum jahil menatap wanita itu. "Aku juga terkejut." Clara membalas ucapan Ringgo penuh makna dan mereka berdua tertawa. "Roe belum datang?" tanyaku. "Aku di sini," jawabnya dari belakangku. Dan aku langsung merangkulnya. "Kau akhirnya datang juga, Kak. Kupikir kau sudah lupa pada rumah." Ronan menyindirku. "Kau pasti merindukan aku," kataku menggodanya sambil tertawa. Ronan mendengus dan tertawa. "Kata Papi kita tinggal menunggu Riri datang, setelah itu acara baru mulai," ujar Ronan. "Memangnya Riri di mana?" Ringgo bertanya yang sepertinya belum bertemu Rizka. "Dia di rumah opa, makanya papi kesal karena anak perempuannya disabotase opa dan langsung dibawa ke kantor belajar tentang perusahaan,” kata Ronan geli. Rizka sekolah di Inggris selama tiga tahun ini, tepatnya setelah pertemuan kami terakhir. Dia memang ditempah Opa untuk menangani perusahaan keluarga yang tidak mau diurus oleh ayah kami, bahkan kami semua. Hanya Rizka satu-satunya harapan Opa sepertinya. Tiba-tiba aku mendengar suara ceria ayah kami. "My Sunshine ... akhirnya Princess papi datang." Dia langsung memeluk Rizka dan mencium keningnya dengan penuh sayang. Aku tercekat melihatnya setelah tiga tahun kami tidak pernah bertatap muka. Malam ini aku melihatnya kembali. Rizka mengenakan gaun ungu dengan belahan tinggi hingga ke pahanya yang putih dan mulus. Bagian atas gaunnya juga terbuka memperlihatkan bahunya yang putih berkilau, dan payudaranya yang penuh. Bibirnya yang mungil berwarna merah jambu. Tampak giginya yang putih dan rapi, tanpa kawat seperti tiga tahun lalu, saat dia tertawa lebar dan bahagia waktu ayah kami memujinya. Tubuhnya semakin berisi, rambut panjangnya diikat memperlihatkan lehernya yang jenjang. Malam ini dia seperti dewi, dan aku tidak pernah melihat dewi. Sialan! Aku berubah jadi penyair hanya karena melihatnya berubah malam ini. "Adik kita cantik ya, Kak." Tiba-tiba Ronan berbisik padaku. Dan aku langsung sadar dari keterpakuanku. Sepertinya aku menatap Rizka seperti anak laki-laki remaja yang melihat gadis idolanya. Dan Ronan pasti menyadari reaksiku. Dan dia saat ini sedang mengolokku. Aku mengendalikan diriku untuk tenang, seolah tidak terpengaruh apa pun. "Ya." Ronan masih berbisik pelan seperti penuh rahasia. "Rizka memang berubah sejak dia kembali dari New York. Tiba-tiba dia minta sekolah ke Inggris untuk belajar bisnis di sana. Kami semua terkejut saat itu karena Rizka yang manja ingin mandiri." "Oh ...." Aku tidak bisa berkomentar banyak. Ronan kembali mengoceh. "Aku suka dengan perubahan Riri, tapi dia sekarang tidak mau lagi dipanggil Riri oleh siapapun, kecuali papi dan opa." Aku terkekeh. "Dia sudah dewasa, mungkin itu yang membuatnya tidak suka dipanggil dengan nama kecilnya." Aku menjawab. Ronan mengangguk setuju. "Benar, sekarang dia sudah dewasa dan cantik." Aku menyipitkan mataku menatap Ronan dan dia langsung tertawa. "Aku tidak mengidap brother complex, Kak. Tapi adik kita memang semakin cantik, " ucapnya sambil tertawa menatapku. Aku mendengus. "Apa kau menggodaku, Roe?" Ronan tertawa, untung saja Ringgo dan Bima asik mengobrol, begitu pun Clara dan Tya istri Bima. Rizka menghampiri kami, dan dia langsung memeluk Ringgo. "Hai little Sissy." Ringgo membalas pelukannya. “Kau cantik sekali malam ini. Kakak sampai tidak kenal.” Rizka tertawa, lalu menyapa Bima. "Hai, Kak Bima, apa kabar?" "Baik, Ri... Kau cantik sekali malam ini." "Terima kasih, Kak." Rizka tersenyum lebar, lalu Bima mengenalkan Tya padanya. Selanjutnya dia menyapa Ronan sambil saling mengejek, dan sekarang dia menatapku sambil tersenyum. "Hai Kak Langit, apa kabar?" dia memelukku sama seperti pelukannya pada Ringgo dan Ronan, aku bisa merasakan itu hanya pelukan dari seorang adik untuk kakaknya dan entah mengapa aku sedikit kecewa. "Baik, dan kau?" Sial! kenapa aku jadi kaku begini. "Baik, Kak." Dia tersenyum, dan aku mati gaya. "Oh iya, aku mau mengenalkan seseorang pada kalian. Ini Jace ... dan Jace, mereka ini kakak-kakakku." dia mengenalkan seorang pemuda pada kami yang tidak aku sadari kehadirannya. Aku memperhatikan pemuda yang diperkenalkan Rizka pada kami, tinggi, tampan, tipikal anak orang kaya yang baik dan aku tebak dia seumuran adikku itu. Ringgo dan yang lain menyapanya ramah, kecuali aku. Dan Ronan tertawa melihatku. "Dan siapa yang di sampingmu Kak?" tanya Rizka padaku saat melihat Clara. Aku berdehem. "Clara kenalkan ini adikku Rizka, dan Rizka dia Clara." Mereka saling bersalaman sambil tersenyum. Rizka terlihat santai. Justru aku yang sangat tegang, dan marah. Ya aku marah melihat si pangeran Barbie memeluk pinggang Rizka saat ini. Yang benar saja, Langit! "Tiba-tiba hawa terasa panas di sini." Ronan pura-pura mengipasi tubuhnya. Clara menahan tawa, dan yang lain berbincang tidak peduli. Tidak lama pembawa acara memulai berbicara, dan memanggil Ayah kami ke atas mini stage tempat band yang saat ini sedang memainkan musik. Sepertinya acara akan di mulai. "Selamat malam semua," Ayah kami mulai berbicara. "Sebelum aku meniup lilin aku ingin menyampaikan sesuatu. Oh iya, terakhir aku meniup lilin saat ulang tahun kesembilan, setelah itu aku tidak mau lagi ada acara ulang tahun." kami semua tertawa. "Dan malam ini, mengapa aku merayakan ulang tahunku, yang pertama karena aku tidak menyangka akan hidup selama ini sampai umur enam puluh tahun dengan semua masa laluku yang buruk, thanks God. Dan yang kedua, karena aku jarang berkumpul dengan anak-anakku, karena acara ini, akhinya malam ini mereka semua bisa berkumpul." Semua tamu bertepuk tangan. "Untuk semua sahabat-sahabatku dan keluarga yang hadir malam hari ini, aku sangat berterima kasih untuk kedatangan kalian.” Lalu ayahku menatap Ringgo. “Ringgo... papi berterima kasih karena selama ini kamu menjadi kakak yang bertanggung jawab untuk adik-adikmu. I'm so proud of you son, dan semoga ada kabar bahagia darimu tidak lama lagi." Semua tamu bertepuk tangan dan bersiul karena mengerti apa maksud ucapan ayah kami yang terakhir. "Dan putraku Langit, papi juga bangga padamu karena kamu menjadi pelindung untuk kami semua, dan malam ini putraku Langit membawa seorang gadis cantik, semoga ini tanda-tanda." Kembali bertepuk tangan dan bersiul riuh. "My partner in crime, Ronan ... papi selalu merasa semakin muda dan keren memiliki karena anak keren sepertimu." Semua tamu tertawa. "My Sunshine, Rizka ... papi adalah pria paling beruntung di dunia karena memilikimu putri sepertimu. Dan papi selalu berdoa, akan ada seorang pria tangguh yang kelak bisa menjagamu dari dunia yang jahat ini." Gemuruh tepuk tangan kembali terdengar. "Dan untuk Jenia, ibu dari anak-anakku. Thank you Jenia, you are the best." Dan tepuk tangan semakin riuh diiringi siulan dari teman mereka berdua. Tentu saja semua kami berharap mereka kembali bersatu, tapi mami Jenia sepertinya belum tertarik dengan hal itu. "Aku hanya berharap kedepannya aku masih berumur panjang melihat anak-anakku menikah dan memiliki cucu. Stay cool, and rock n roll!" Semua bertepuk tangan riuh. Lalu ayah kami meniup lilin di iringi lagu band mereka, lalu memberikan potongan kue untuk kami semua. Ayah kami orang yang suka hidup bebas, jadi gaya hidupnya juga tidak biasa. Musik rock yang tadi berdentum keras, berubah menjadi lagu slow dan romantis. Dia mengajak Rizka berdansa, dan tamu yang lain mengikutinya. Aku pun mengajak Clara berdansa. "Lang, aku tau tubuhmu di sini tapi pikiran dan hatimu tertuju pada adik perempuanmu," ucap Clara sarkas. "Kau berlebihan." "Semuanya jelas Lang, sejelas matahari. Kau seperti ingin membunuh si Romeo yang sekarang berdansa dengan adikmu." Sekarang Rizka tidak lagi berpasangan dengan ayah kami. "Adikmu benar-benar cantik, pantas saja kau jatuh cinta padanya." Clara mengerling padaku. Aku menanggapinya tertawa. "Dia adikku, Cla." "Ya, Adik yang bisa kau nikahi kalau kau mau." "Tidak akan mungkin." "Mungkin, kalau kau berani menghadapi Ringgo dan Ray Tahitu. Kalau Ronan, jelas berada dia berada di pihakmu. Lagi pula apa kau rela dia bersama si Romeo?" Clara mengerling mengejekku. "Dia cocok bersama laki-laki yang seperti itu, Cla. Bukan bersama laki-laki penuh darah sepertiku yang asal usulnya juga tidak jelas." "Cinderella story juga berlaku untuk kaum pria Lang," ucapnya dan kami bergerak pelan mengikuti alunan lagu. "Dan aku bukan Cinderella," kataku geli. "Ya, kau Langit yang sedang mati-matian melawan perasaan pada adiknya, sampai hawa di tempat ini terasa panas karena rasa cemburumu." Dia tertawa. "Diamlah, Clara." Wanita ini terkikik geli. "Aku jadi merasa bersalah pada adikmu, Lang. Pasti dia berpikir kalau kita pacaran." "Lebih baik begitu."  "Enak saja. Aku masih cinta pada Jack, dan jangan rusak usahaku mendekatinya karena gosip murahan hubungan kita malam ini." Dia menatapku penuh peringatan. Aku tertawa. "Jack tidak suka padamu Clara, menyerah saja. Lagi pula kau cantik dan dari keluarga baik-baik, sedangkan Jack, dia sama sepertiku." "Kau tidak mengerti Lang, kami perempuan suka laki-laki berbahaya, dan adikmu salah satunya. Aku bisa lihat cinta di matanya untukmu. Kasian si Romeo." Clara berdecak pura-pura simpati pada laki-laki yang sedang berdansa dengan Rizka. "Kau terlalu banyak melihat film romantis, Rizka tidak lagi memiliki perasaan padaku." "Mau bukti?" Clara menatapku menantang. Tiba-tiba Clara semakin merapat padaku dan berbisik sangat dekat di telingaku. "Coba kau lihat reaksi adikmu." Aku mencuri pandang pada Rizka, yang saat ini menatap kami penuh kebencian dan terluka.Rasanya aku ingin berlari padanya dan menjelaskan kalau yang dilihatnya ini bukan seperti yang dipikirkannya. Sialan! Apa hakku menjelaskan padanya? "Kalian berdua sama-sama menderita Lang." Clara tertawa, lalu mencium pipiku dan Rizka membuang pandangannya dari kami. Dari jauh aku dan Clara memang terlihat seperti pasangan romantis. "Kau tunggu di sini Spartan." Clara tiba-tiba menghentikan dansa kami, dan dia menghampiri Rizka dan si pangeran barbie. Sialan Clara, please, jangan berulah lagi perempuan satu ini. Dan dia sekarang berdansa dengan si Romeo. Rizka berdiri seperti orang bodoh, sama sepertiku. Clara mengerjai kami!            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD