Luka masa kecil

1566 Words
"Waktu itu.., semua orang menuntut gue untuk jadi lebih tegar dari usia semestinya. Apalagi mama. Dia sama sekali gak mengijinkan gue untuk bilang kata takut. Bahkan sedekar untuk menikmati rasa itu juga gak boleh. Eem.., lo tahu, kan. Papa gue seorang Jendral dan bukan itu aja. Papa juga punya beberapa perusahaan. Begitu juga sama mama. Aahkk.., mungkin gue gak perlu cerita ini sampai mendetail. Lo juga udah bisa lihat, kan gimana megahnya rumah ini," ucap Kale. sambil menyatukan kedua tangannya saling bertautan diantara jemarinya seraya terkepal kuat. Resah! Ini pertama kalinya Kale berceloteh tentang masalahnya. Kisah yang tidak pernah ia buka ke siapapun. Bahkan sangat sering ia mengelaknya. Karena tak mau mengecewakan Rose. Tetapi bersama Mina berdua saja, entah mengapa bisa membuat suaranya keluar begitu ringan. Mina mengangguk. Sedikit mendorong dirinya lebih dekat dengan Kale. Matanya menatap serius. Sama sekali tidak berkedip. "Terus." Suara Mina begitu pelan terdengar. Menunggu lanjutan cerita Kale. "Yah.., gue juga gak tahu persis, mereka itu siapa. Kenapa sampai melakukan itu sama gue. Tapi yang gue inget, sewaktu itu.., ada mobil van putih. berhentin gue di tengah jalan. Terus memaksa gue masuk. Gue di bawa ke sebuah ruangan tua, mana bau pesing lagi. Banyak juga botol-botol berserakkan. Yang gue inget perasaan gue sewaktu itu langsung gak suka dan teriak minta pulang. Tapi nyatanya ada tempat yang jauh lebih buruk dari sana. Eegghh... Lihat! gue sendiri aja masih merinding kalau inget tempat itu. Nyatanya gue di masukkin kesana. Dengan mereka yang sambil bisik-bisik. gue langsung merasa mereka ada niat buruk sama gue. Walau gue gak dengar jelas inti pembicaraannya. Apalagi paham tujuan mereka. Tapi tatapan gak bersabahat mereka masih gak bisa gue lupakan sampai saat ini. Tempat itu begitu gelap gulita, dengan atap yang sangat pendek. Bau anyir sangat kecium. Serta lantainya yang becek juga berlumut. Dan parahnya ada tiga tikus yang sangat kelaparan. Gue yang baru berusia lima tahun waktu itu otomatis merasa takut. Tapi gue harus terus lari dari kejaran ketiganya. Kalau gak mau jadi mangsa mereka. Waktu berjalan begitu lambat di sana. Gue bahkan gak tahu kapan siang dan kapan malam. Tapi kata papa, gue udah berada di sana selama satu minggu penuh. Dua hari pertama gue lalui dengan tangisan anak-anak, merengek meminta dikeluarkan. Dua hari berikutnya gue mulai merasa gak ada yang peduli sama gue. Apa mereka mencari gue apa enggak. Atau mungkin gak ada yang tahu kalau gue disekap. Dan selamanya gue gak bisa keluar lagi dari sana. Sungguh.., rasanya gue jadi orang paling buruk banget. Saat memikirkan-memikirkan semuanya. Dua hari berikutnya gue lalui dengan lebih tegar. Mulai terbiasa dengan tikus-tikus yang menemani gue. Dan lo tahu, apa yang gue lakukan sama teman-teman gue itu?" Sesaat Kale diam. Sambil menunggu reaksi Mina. Mina hanya menggeleng tak mau mengucapkan sepatah katapun. Ia justru menelan salivanya kasar. "Gue jadikan mereka sajian makan malam gue," jujur Kale. Enam hari di sana tanpa diberi makan dan minum, membuat tubuhnya sangat lemah. Otaknya berfikir secara liar untuk bertahan hidup.Hanya tersisa dua pilihan. Menjadi predator atau berakhir menjadi korbannya. Dan Kale lebih suka pilihan pertama. Mina spontan menjulurkan lidahnya. Ia bahkan sesaat mau muntah tak bisa membayangkan. Memakan mentah mahluk menjijikkan itu. Pantas saja Kale trauma. "Yang gue tahu manusia berada dirantai makanan paling atas. Dan gue gak rela mati konyol saat itu. Gue masih yakin mama dan papa pasti mencari gue. Dan keyakinan gue terbukti... Keesokkan harinya orang papa datang. Mengepung tempat itu. Ternyata di depan sebenarnya banyak orang. Cuma mereka emang sengaja aja gak memperdulikan teriakan gue. Berharap gue mati. Sayang, mereka harus kecewa. Gue Kale mata. Anak dari Jendral yang terbiasa hidup dalam keterbatasan gak bisa mati begitu aja. Sewaktu itu papa keliatan marah banget. Pertama kalinya gue lihat beliau begitu murka. Ia bahkan gak segan melumpuhkan semua orang di sana dengan tangannya sendiri. Gue cuma merasa papa tuh yang paling keren. Sampai pada gue melihat papa juga menembakkan pistol ke salah satu orang yang sudah memohon ampun. Darahnya bahkan sampai muncrat, berceceran di lantai tempat gue jongkok. Setelahnya gue di gendong sama orang suruhan papa. Gue gak diijinkan kemana-mana. Kalaupun iyah mesti keluar, gue harus dikawal oleh beberapa bodyguard. Yang gue denger samar-samar sewaktu di mobil. Mereka menculik gue karena gak suka sama papa. Yah, meski sejak dulu, gue gak kekurangan harta sama sekali tapi juga akan selalu banyak musuh yang siap menghancurkan keluarga kecil gue bahkan sampai detik ini. Kata mama itu wajar, karena akan selalu ada yang mau lihat kita menderita gak peduli lo bersikap benar ataupun salah. Dan mama bilang juga kalau dia sudah membalasnya dengan lebih lagi. Yaitu menghancurkan hidup orang itu. Gue sendiri gak tahu apa yang mama lakuin. Tapi yang pasti terlihat kalau mama benci banget sama orang yang sudah jadi dalang kejadian penculik gue. Gue cuma mikir kalau mama sayang banget sama gue. Dan gue beruntung karena ternyata mereka masih peduli sama gue. Tapi setelah kejadian itu semua jadi berubah. Gue gak lagi belajar di sekolah formal bersama teman-teman lainnya. Gue juga gak diperkenankan memiliki teman. Bahkan sama cucunya Bi Parmi. Pembantu yang sejak awal mengurus gue dari bayi. Kata mama kita gak sederajat. Setiap hari gue di rumah. Dan untuk mengisi waktu luang, mama kasih beberapa les tambahan. Dari les matematika. Inggris, pelatihan karakter sampai les bahasa Rusia. Gak cuma itu, papa juga manggil beberapa pelatih supaya gue punya kekuatan dasar kalau sampai ada yang berani culik gue lagi. Dan sekarang gue udah mengusai beberapa. Dari mulai silat, taekwondo, sytema sampai krav maga. Lo mungkin gak akan mengerti kenapa gue harus menguasai semuanya bahkan disaat usia gue masih sangat muda Tapi itu kewajiban, mengingat gue anak laki-laki satu-satunya dari seorang jendral aktif juga pengusaha yang sukses. Gue merasa gak ada yang sekeren gue. Bisa mengikuti belasan les dalam satu minggu penuh. Sehari biasanya ada tiga sampai empat guru baru dengan membawa pelajaran lain. Gonta-ganti guru berguna supaya mereka gak bisa cari tahu apapun tentang gue. Mereka hanya ditugaskan mengajar. Dan gak boleh sama sekali bertanya hal-hal lain di luar pelajaran. Sampai ketahuan sedikit aja. Mungkin bukan cuma di mutasi ke daerah. Bisa jadi hidupnya akan terus dicurigai sama mama. Pernah satu kali ada guru les muda. Gue inget namanya Miss Suci. Dia tanya kenapa tangan gue gemeteran? Eemm... Soalnya waktu itu gue takut aja. Setelah les Miss Suci bakalan dilanjut les gulat. Gue yang masih kecil takut sama badan pelatihnya yang besar ditambah wajahnya seram. Tapi gue lebih takut buat bilang "gak mau les" sama papa. Gue cuma takut papa marah, dan gak mau menemani gue main lagi. Padahal cuma papa teman gue. Makanya.., Sewaktu papa bawa lo pulang gue jadi sangat marah. Mungkin kalau bisa dibilang. Gue bukannya gak terima papa bantu lo. Karena beliau juga suka mengajari gue buat bantu yang lainnya. Dan gue setuju. Tapi jauh dari itu, gue cuma gak mau Papa lebih suka sama lo. Walau sekeras apapun usaha gue untuk dianggap. Dan sewaktu Miss Suci tanya, baru aja gue mau cerita. Anak buah mama udah membekuk Miss Suci dan menganggap dia salah satu dari mata-mata. Miss Suci keliatan panik banget dan hampir aja mau di pukul sama para bodyguard. Akhirnya gue cuma bisa nangis dan teriak buat jangan sakitin Miss Suci. Miss Suci dilepaskan atas perintah papa. Tapi dia gak diijinkan lagi bekerja jadi guru. Dengan tuduhan tidak bisa memisahkan antara privasi murid dengan tugasnya sebagai pengajar. Sampai sekarang gue bahkan merasa begitu bersalah sama Miss Suci. Seandainya saja, gue gak takut saat itu. Dan seandainya aja tangan gue gak gemetar. Apalagi mama bilang kalau dia kecewa sama gue. Dan papa pergi tugas selama satu tahun lamanya. Gue cuma menghabisi hari dengan merindukan papa. Berharap ada seseorang yang membela gue lagi. Tapi semua pengharapan itu cuma hal-hal kosong. Tanpa pernah terisi. Karena setelahnya papa dan mama bercerai. Gue sebetulnya gak paham sama konsep perpisahaan. Dan jujur gue gak mau tahu itu. Gue cuma mau ikut sama papa dan keluar dari rumah ini. Cuma karena usia gue masih di bawah kata dewasa. Akhirnya gue diasuh sama mama. Gue sebetulnya sayang sama mama. Tapi gue juga mau sama papa. Gue semakin merasa kesulitan berkomunikasi dengan orang luar. Sampai pada diam-diam gue cek kesehatan mental gue akhir-akhir ini sama temen psikiater gue. Katanya, gue masih mengenang luka masa kecil yang bikin gue susah bersosialisasi hingga detik ini. Dan gue perlu mengeluarkan luka itu dengan cara sharing ke orang lain. Tapi siapa? Bahkan tak terlintas satupun orang yang pantas buat dengar kisah menjijikan dari gue. Sampai pada lo yang berteriak gara-gara tikus. Gue jadi keingetan sama masa lalu yang udah lewat. Konyol sih temen gue itu... Ngapain juga gue harus cari orang buat ngomong gini. Malu-maluin gak sih?! Padahal gue udah berhasil melewati semuanya. Gak ada lagi perasaan kesepian karena gak punya teman. Gak ada lagi ketakutan melihat para pelatih yang besarnya sepuluh kali lipat dari badan gue waktu kecil. Dan... Gak ada lagi harapan suatu hari Papa akan pulang demi gue. Karena Papa udah gak ada lagi di dunia ini." Kale tertunduk. Entah setelah membeberkan lukanya justru semakin terasa sakit hingga membuat matanya ingin mengeluarkan air. Sekuat tenaga lelaki itu menahan airmatanya. Untuk apa menangis, untuk kejadian yang telah berlalu. Atau untuk masa kecil yang pergi begitu cepat. Tanpa pernah mencecap arti kebahagiaan seutuhnya Apa yang lelaki itu sesali. Bukannya semua telah berjalan seperti yang seharusnya. Seperti yang telah diatur sang empunya. Menjadi pria yang memukau secara otak dan raga. Tanpa pernah peduli, jika mental si anak juga hancur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD