Setidaknya percayalah kepada dirimu sendiri

1583 Words
"Kemana?!" tegur Mina dengan tampang menaruh curiga. "Ayok kita ke lantai tujuh. Aku mau menunjukkan sesuatu sama kamu" ucap Kale bagai anak-anak. Memang terkadang seorang pria bisa bersikap layaknya bocah. Tak peduli sebanyak apa usianya. Terlebih kepada wanita yang bisa membuat ia nyaman. Kale ingin menunjukkan karya terakhir Papanya dan dia sebelum Hadi tak pernah lagi menginjakkan kakinya di sana. "Tujuh? Bukankah rumah ini hanya sampai lantai enam. Tuan Eugine yang mengatakannya padaku?!" "Yah... lantai enam di tambah rooftop dan helipad-nya" tutur Kale. Mina masih diam. Mungkin saja lelaki itu mau mendorongnya dari atap rumah setinggi kurang lebih lima belas meter dari permukaan tanah itu. Ia harus waspada pada Kale. Memang lelaki itu mengajaknya pergi sambil senyumnya. Tapi siapa yang tahu isi hatinya. 'Ayok Mina... Kamu gak boleh lengah, dia menceritakan masa lalunya bukan berarti dia berubah jadi baik. Tak semudah itu merubah sifat seseorang. Eehhmm, mungkin aku bisa menolaknya dengan halus' ide Mina "Maaf tapi aku gak bisa. Aku mau lihat Olive. Yah, Olive... Pasti saat ini keadaannya tidak baik-baik saja" alibi Mina "Olive sudah di tangani sama Dude!" kata Kale berniat menarik Mina lagi. Ayoklah... Kapan lagi cowok itu berbaik hati menunjukkan "rahasianya" "Yah... Tapi sepertinya aku harus memastikan dengan mata kepalaku sendiri?!" "Nanti saja setelah kita naik ke rooftop!" "Tapi aku gak mau!" lirih Mina memelas. Tatapannya begitu memohon dengan tangan bergetar. Oke... Sekarang Kale tahu Mina takut sama dia. Tapi tenang saja, sebentar lagi ketakutan itu berubah menjadi kekaguman. "Lo mau gue gendong atau jalan sendiri?!" tegur Kale lagi. "Hhuufft...!" sejuta kata penolakkan tak akan mempan diberikan ke bangsawan muda ini. Mina menurut. Langkahnya terseok lemah. Mengikuti suaminya di belakang. Kali ini Kale sama sekali tidak memarahi Mina yang jalannya kayak siput lagi demo. Ia justru mengengam tangan Mina. Seorang istri bukan berjalan di belakang, bukan pula di depan. Tetapi berjalanlah di sampingnya. Saling sejajar sambil menatap masa depan bersama. Begitu bait aksara yang pernah Kale baca. "Jika kamu tidak bisa mempercayai aku. Setidaknya percayalah pada dirimu sendiri. Lihat ke hatimu, apa aku saat ini ada niatan buruk?!" tanya Kale. Mengikuti saran suaminya. Mina mulai menealah hatinya. Sebenarnya ia tidak merasa ada yang salah dengan Kale. Hatinya juga tidak bergerak untuk mencurigai niatan lelaki itu. Meski fikirannya berbanding terbalik. Cuma terkadang manusia juga harus mengikuti naruninya. Karena sebongkah hati adalah tempat terjujur. Seseorang mungkin bisa membohongi banyak orang. Tapi tidak mungkin bisa bohong pada kalbunya --- Kale memencet tombol lift. Untuk ke lantai tujuh cuma beberapa orang yang tahu caranya. Hanya memencet tombol lima dan dua secara bersamaan. Mereka bisa langsung menuju kesana. Mina berdiri di pinggir lift. Sengaja mojok dan menjauhi Kale. Membuat Ide nakal terlintas di benak pria itu. Kale mengukung Mina semakin merepet kepojokkan. "Eemm... Boleh minggir sedikit gak Mas?!" cicit Mina. "Kenapa?!" tanya Kale sembari menaiki tangannya. Sikunya menekan ke sisi lift. Seolah betul-betul mengurung Mina. Ekor mata gadis itu melirik "Hhuuffftt!" ia membuang nafasnya pelan. Pemandangan saat ini cuma ada d**a bidang Kale yang tertutup kemeja putih. Jangan abaikan wangi lelaki itu yang sangat menggoda. Hatinya merasa ketar-ketir. Lirik kembali. Sekarang lebih ke atas. Aaaiihh... Wajah jantan bak dewa-dewa dalam mitologi Yunani. Kini menatapnya tanpa berkedip. Mina kembali menunduk. Kedua tangannya mendorong d**a Kale pelan "Aku gak bisa nafas, Mas" belanya. Kembali merunduk takut. Takut kalau Kale marah padanya. Kale menurut. Ia mundur selangkah. Tapi bukan karena dorongan Mina. Ah, gak mungkinkan tubuhnya yang kekar semudah itu di dorong. Tapi Karena memang ia mau mundur. Mendapat angin segar, Mina langsung maju. Pokoknya gak lagi-lagi dia mojok kayak gini. Bisa jadi kesempatan buat suaminya yang m***m itu. "Alhamdulilah" cicit Mina pelan. Tapi masih bisa di dengar Kale. Berdua dalam ruangan kedap suara membuat suara kecil Mina semakin menggema terdengar. Kale justru ke belakang tubuh Mina. Tangannya berjalan ke pinggul istrinya. Melingkar begitu saja. Sedang kepalanya tiduran di curuk leher Mina. "Eeehhh...!" Mina sedikit menjauhkan kepalanya. Merinding, tubuh kecilnya di dekap tangan besar Kale. Apalagi bibir suaminya mengecup bahu ringkihnya. "Tadi kan gak boleh gue di depan. Sekarang gue di belakang lo!" ucap Kale sangat ingin tertawa. "Iyah tapi...!" "Tapi apa?!" suara baritonya membuat Mina membungkam kalimat protes yang ingin keluar. Apalagi jemarinya berjalan ke lengan Mina. Mengetuk-ngetuknya. Mina melirik ke jari Kale. Tatapannya fokus, otaknya bertanya. Mau bermuara kemana jari lelaki itu. Saat menyadari tangan Kale berjalan semakin ke atas tubuhnya kontan membuat jantungnya seakan tersumbat. "Aaahhh... Ahhaa...!" Deru nafasnya menggema. Mengalun di telinga Kale. Kembali terbayang saat itu. Saat Kale berada di dalam Mina. Pelukkannya semakin mengerat. Seolah tak rela melepaskan Mina. Sang pria membalikkan tubuh Mina. Menatap wajah istrinya yang memerah. Kale tak segan membingkai wajah Mina, di dongakkan sedikit. Mina tak bisa lagi kabur dari iris mata Kale yang berwarna amber. "Mina...!" lirih Kale baru kali ini ia mengucapkan nama istrinya. Pupil mata Mina bergetar, bahkan tanpa sadar ia mengigit bibir bawahnya. "Guekan udah bilang, jangan gigit bibir lo!" celetuk Kale. Gigitan itu terlepas begitu saja. Ia justru malah mendekatkan wajahnya pada Kale. Ujung hidung mereka saling bertubrukkan. Secara naluri keduanya miring. Ingin kembali meraup manisnya madu dunia. Dan... Tiing! Pintu lift terbuka. "Udah ke buka Mas!" cicit Mina tak enak. Kale mengulum bibirnya. "Iyah... yuk!" ajaknya. Kale membawa Mina ke sebuah ruangan yang terlihat banyak debunya. "Sebentar,yah. Kok susah sih di buka,yah?!" ungkap Kale seraya berdesis sekuat tenaga membuka ruangan itu. Terlalu lama di tinggal membuat anak kuncinya jadi berkarat. "Ppppfftt!" Mina justru menertawakan wajah Kale. "Bukan itu kali kuncinya!" cetus Mina mendekati Kale. "Coba mana?!" Tangannya mengadah. Masa cowok itu gak bisa buka. "Nih kalau bisa!" Mari kita lihat. Cewek lemah gemulai layaknya Mina apa bisa membuka pintu itu. Mina merunduk. Membuat bokongnya tepat di depan Kale yang memang berdiri di belakangnya. Lelaki itu menelan ludah. Rasanya tangannya ingin menepuk ekor istrinya "Huuhhh!" Mina meniup rumah kunci. Sedikit menggoyangkan kunci itu. Ceekkllleek... "Tuh kebukakan, Mas!" riang Mina "Aku ini paling pinter loh buka pintu yang terkunci rapat sekalipun!" lanjutnya. Termasuk pintu hati Kale. Hati yang tertutup, justru dengan mudahnya Mina bongkar. "Ayok masuk!" Kale mengenggam tangan Mina. "Welcome to my world!" pekiknya bangga. Setelah mereka masuk "Ini apa, Mas?!" Mina menindai sekitar. Cuma ada alat perkakas para laki-laki berjejer dimana-mana. Maksudnya Kale, Mina diminta main begituan gitu? Ahhkk... Mina cuma tahu obeng sama eeemm... Obeng. Udah! "Ini tempat gue sama Papa. Dan cuma lo orang ketiga yang masuk!" info Kale. Oke... terus, "Sewaktu Papa masih suka kesini. Gue sama beliau lagi ngadain sebuah proyek. Bongkar EC135!" lanjutnya. Mina menyeritkan alis "Apa itu, Mas?!" "Tuh...!" Kale memunjuk burung besi yang tertidur begitu lama. Namun masih nampak kegagahannya. "Ini helikopter yang Papa beliin buat gue!" bangga Kale sambil menyentuh badan helikopter bermesin ganda itu. "Gue sama Papa mau bongkar mesinnya. Pengen tahu ajah gimana sih cara kerja mesinnya" ungkap Kale. Iyah... Iyah Mina pernah dengar anak-anak panti yang cowok sangat antusias unboxing mainan helikopternya. Katanya para lelaki lebih suka mencari tahu secara mendetail apa yang terkandung di dalam mainan mereka. Tapi gak helikopter betulan juga kalik, gimana kalau gak bisa balik ke semula?. Mina yakin harganya kendaraan itu pasti sangat fantasis. Hm... Memang cuma Kale yang bisa. "Gue masih inget gak,yah ngjalanin ini?!" gerutu Kale sendiri. Ia langsung duduk di bangku kokpit. "Aahhkkk.... Inget-inget!" Terakhir ia menjalankannya seorang diri sekitar dua tahun yang lalu sewaktu dia mau pelatihan militer. "Udik... Ayok kesini, ikut naik!" Gleekk... Betulkan, lelaki itu memang punya cara elegan membunuhnya. Biarlah yang terjadi maka terjadilah... Mina mengikuti titah Kale untuk mendekat. "Susah, Mas!" alibi Mina tidak mau naik Kale kembali turun dengan melompat dari helikopter. Lelaki itu memutar kepala helikopter. Ia berniat membantu Mina. "Lo bisa injek ini!" suruhnya merujuk kaki helikopter. Saat Mina hampir naik. Kale mendorong bo-kongnya. "Nah udahkan!" "Iyah...!" sahut Mina tapi juga mengelus pantatnya jejak telapak tangan Kale selalu terasa beda di tubuhnya. Dan ia harus kembali menyentuh jejak itu untuk menetralkan rasanya Kale sudah kembali pada posisinya tadi. Tak lupa ia memasangkan selt belt ke tubuh Mina. "Tunggu Mas. Kata Mas tadi helikopter ini habis Mas bongkar sama Papa, Mas?!" tanya Mina cemas "Iyah...!" jawab Kale justru tidak peka. "Yakin helikopter ini gak kenapa-napa? Semua sudah kembali seperti instalan pabriknya. Coba Mas di ingat... Misal ada satu bautnya yang lupa ke pasang gitu?!" gerutu Mina. Sebagai manusia umum. Mina takut mati "Ada gak,yah?!" Kale justru berniat jail sama Mina. Tenang saja. Meski cuma dia sama Papanya yang bongkar waktu itu. Tapi semua juga atas instruksi insyiur teknik. Ini memang ide Hadi. Sejak tahu Kale bercita-cita menjadi sepertinya. Hadi berniat mengajari anaknya untuk bisa membongkar mesin helikopter. Setidaknya sampai Kale bisa melakukan perawatan mesin seorang diri. Mungkin itu akan berguna suatu hari nanti saat Kale di medan perang. "Mas... Nanti kita jatoh loh!" jujur Mina mengungkapkan isi hatinya. Ia bahkan menggengam tangan Kale cemas. Tiap orang punya sesuatu yang ia cemaskan secara berlebih. Dan untuk Mina, ia selalu cemas berada di atas ketinggian. Apalagi tahu benda yang membawanya mungkin saja rapuh dan bisa kapan saja jatuh. Mina menggigit kuku-kukunya. Alasan ia yang tidak pernah naik bianglala karena Mina trauma ketinggian. Ia memang melupakan saat itu. Tetapi ada saatnya terlintas masa di mana ia dan Hasa jatuh bersama derasnya air. "Ya Tuhan gimana ini!" Duduk gadis itu gelisah. Ia bahkan mengepal tangannya kuat. "Udik... Buka mata dong!" titah Kale. "Gak mau!" Mina jadi membentak Kale. "Buka dikit deh!" Bbuuumm....Bbuuumm... Baling-baling mulai berputar, nyatanya Kale masih jelas mengingat cara mengaplikasikan kendaraan itu. Ia memang lelaki yang cepat belajar. Tetapi juga sulit lupa. "Kita mau terbang!" "Jangan!" Mina mencengkram tangan Kale. "Terlambat. Gue udah naikin helikopter ini!" akunya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD