Part 2. Die Off

1449 Words
Brak! Patrick memukul meja rias yang ada di ruang pribadinya itu. Meja rias itu di design dengan sangat cantik dengan lampu lampu di pinggir kaca. Meja ini memang dikhususkan untuk Zhavia jika Zhavia mempersiapkan penampilannya ketika akan tampil. Patrick lalu menatap ke kaca. Bayangan dirinya yang tidak lagi seperti dulu. Rahang wajahnya selalu menegang ketika Zhavia terus saja menyuruhnya menikah. Ingin sekali dia menghancurkan semua yang ada di tempat ini. Semua kenangan tentang Zhavia membuatnya ingin kembali ke masa itu. Begitu memilukan ketika mereka harus bertengkar dan mala petaka itu terjadi satu persatu pada hubungannya. Lebih tepatnya pada rumah tangganya. "Patrick, kendalikan emosimu!" Eden yang sudah berada di dalam ruangan memperingati. "Keluar!" Perintah Patrick namun tak diindahkan Eden. "Kalau aku keluar, lalu siapa yang akan memberikanmu obat. Ini obatmu dan tenanglah!" Eden memberikan satu tablet obat penenang Patrick pada sebuah piring kecil lalu segelas air putih di atas nampah kayu itu. Patrick meminumnya dan kembali menundukan tubuhnya dengan tangannya yang menopang pada meja rias. "Besok kau harus melihat pertunjukan Zena bermain harpa, jangan ada alasan lagi karna aku sudah membatalkan pertemuanmu dengan para komponis inti!!" Kata Eden lagi memberitahukan apa yang harus Patrick lakukan besok untuk anaknya. Eden yang mengurus semua hari hari Patrick sejak kejadian itu. "Komponis inti itu orang penting Eden! Mengapa kau membatalkannya?!" Patrick setengah menoleh menyebarkan pandangan mengerikannya. "Zena lebih penting! Dia sudah memberiku peringatan! Sangkin dia mengerti dirimu, dia bicara padaku! Gadis kecil yang malang, andai ibunya masih ada atau memiliki ibu lagi." Saut Eden sudah berbalik dengan menundukan kepalanya. "Keluar Eden! Aku mau sendiri, kalian semua tidak ada yang mengertiku! Keluar!" Bentak Patrick sambil memukul kasar meja rias itu. Eden akhirnya mengalah dan undur diri. Dia sudah lega memberikan obat Patrick pada jam yang sudah ditentukan. Sementara Patrick tersungkur duduk di kursi meja rias itu. Dia meraih ponselnya melihat lihat foto istirnya dan meneteskan air matanya. Dia mengingat istrinya. "Semuanya tidak seperti dulu lagi Zhavia! Aku akan melakukan yang terbaik untuk Zena. Tapi untuk menikah aku belum ingin. Tidak ada yang seperti mu. Tidak ada yang sebaik dan apa adanya dirimu. Andai saja aku mempercayaimu sedikit saja. Andai saja aku menemukanmu lebih cepat dari yang seharusnya!" Patrick bergumam, dia menghapus air matanya dan memejamkan matanya. Dia mengingat ketika itu. Langit sore bahkan menjadi langit yang gelap gulita. Hujan turun deras dan petir menyambar. Suara nya menggelegar sampai membuat siapapun yang mendengarnya ketakutan seraya mencari tempat persembunyian. Begitu juga hatinya serta seluruh keluarga istrinya yang menunggu hasil operasi Zhavia di luar. Keadaannya sudah genting. Ini merupakan masa operasi terakhir yang menentukan apakah Zhavia dapat sembuh atau kembali menderita. Dokter pendamping keluar dengan wajah menunduk. Patrick di sana masih menatap dinding dan Dior yang menghampiri sang dokter. "Maaf Tuan Prime, adik anda tidak bisa kami selamatkan!" Kata sang dokter. Dior hanya tertunduk. Viena, ibu Zhavia menangis dan Zefanya, saudara kembarnya tersungkur. Sementara Patrick menolehkan pandangannya ke dokter menatap tajam. Dia memukul dinding dan menghampiri sang dokter. "Bicaramu yang benar, kau ini seorang dokter!!!!" Kata Patrick hendak meraih kerah baju sang dokter namun Eden menahanya. "Maafkan kami Tuan Muda Kwan. Tumornya terlalu ganas, Nyonya Zhavia sudah tidak bisa menahan semua kondisinya." Tutur sang dokter ikut menyesal dengan keadaan ini. "Kau bilang istriku lemah, iya? Kau ini tahu apa tentang istriku?! Lebih baik sekarang kau ke dalam dan lakukan tindakan lagi, aku sudah membayar semua fasilitas terbaik di rumah sakit ini! Cepppaaaattt!!!!" Patrick meledak. Dia tidak menerima kepergian istrinya. "Patrick, aku sudah merelakannya. Dia anakku. Darah dagingku. Kau juga harus merelakannya." Dion menghampiri Patrick. "Tidak Dad! Anakmu masih hidup, kau tenang saja, aku sudah berjanji padanya akan membuatnya sembuh!" Patrick mencengkram lengan Dion, ayah Zhavia. "Patrick, Zhavia sudah meninggal. Kau harus merelakannya. Dia sudah sembuh!" Eden memegang bahu Patrick. "TIDAK EDEN! Kau jangan mengatakan zhavia ku meninggal, jangan!" Patrick menunjuk nunjuk Eden. Zefanya lalu bangkit. Dia menghampiri Patrick lalu menamparnya. "Kau sangat tidak tahu diri! Kau yang menyebabkannya sakit, dia adikku, kembaranku, ragaku Patrick!! Kau hanya apa nya? Kau bukan siapa siapa nya dan sekarang dia sudah tenang sudah sembuh kau malah tidak melepasnya, kau memang suami yang tak berguna!" Decak Zefanya dan ditahan oleh Ezekhiel, suaminya. Patrick terdiam mendengar kemarahan Zefanya. Zefanya sungguh benar. Patrick sangatlah tidak berguna.. Patrick lalu menuju ke ruang oprasi itu. Dia membuka pintunya dan melihat di sana Zhavia sudah sepenuhnya tertutup kain putih. Oprasinya gagal. Dia sudah mengusahakan semuanya. Membawa Zhavia kemanapun sampai akhirnya kembali ke Honolulu untuk pengangkatan tumor ganasnya namun kondisinya sudah sangat melemah. Semua dokter dan tega medis mundur memberikan jalan pada Patrick. Dia membuka kain putih itu. Zhavia terbaring disana dengan wajah yang sangat putih namun agak tersenyum. Matanya terpejam seperti tertidur. "Zhavia, kapan kau bangun? Aku membutuhkan roti lapis isi smokebeef! Mengapa kau tidak membuatkannya sekarang? Zhavia, sayangku, aku lapar!" Patrick menangis menggenggam tangan istrinya. Dia menangis di sana menyesali yang terjadi. Sejak kehilangan anak ke duanya, Zhavia menjadi sedikit frustasi dan terserang penyakit tumor. Tumor itu menjadi ganas dan mempenharuhi kondisi tubuh Zhavia yang semakin melemah setiao harinya. Patrick sudah membawanya mengantarnya ke semua tenaga medis namun tak juga bisa menyembuhkan istrinya. Tak lama Patrick berpikir sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa menyelamatkan Zhavia namun tetap dipakai oleh tenaga medis disini. Dia menjadi sangat kesal mengetahuinya. Dia lalu beranjak. Dia keluar dari ruang operasi dan mereka pikir Patrick hanya ingin menenangkan diri. Patrick menuju ke ruang penyimpanan alat alat medis oprasi dan penanganan. Di sana dia menghancurkan semua stok alat alat medis, perlengkapan oprasi sampai peralatan laboratorium. Perawat sangat terkejut dan menjadi panik. Seorang perawat berteriak keluar dari ruang penyimpanan tersebut dan terdengar Eden dan yang lainnya. "Seseorang mengamuk di ruang penyimpanan alat medis. Seseorang tolong kami tenangkan dia!" "Patrick!" Eden hanya mengingat sahabatnya. Eden lalu menuju ke ruangan itu diikuti oleh Pierre dan Dior. "Patrick, tenang Patrick tenang! Kau tidak bisa seperti ini." Kata Eden mencoba menenangkan sahabatnya. "Lalu aku harus seperti apa? Semua alat alat ini nyatanya tidak bisa membuat zhavia ku sembuh dan bersamaku lagi! Untuk apa ada disini?! Lebih baik kuhancurkan semua!!!" Saut Patrick dengan wajahnya yang nanar dan penuh kesedihan. "Patrick kau jangan seperti anak kecil, semua sudah kehendak Tuhan." Tambah Pierre, saudara tiri Patrick. "Tidak! Kalau alat alat ini canggih dan tenaga medis bisa menggunakannya dengan baik, zhavia tidak akan meninggal!" Teriak Patrick kembali menghempaskan sebuah alat yang ada di rak. Prang prang! Patrick membanting perlengkapan oprasi dengan sangat kasar. Eden berusaha menahan Patrick. "Diamlah Eden!" Kata Patrick menunjuk sahabatnya itu. Pierre pun ikut ingin menahan Patrick. "Diam disitu Pierre diam!!! Kalian tidak mengerti diriku! Separuh jiwaku hilang, tidak separuh, semua! Semua jiwaku, jantungku, hatiku pergi, sementara kalian, separuh jiwa kalian ada kan? Ya kalian pasti sangat bahagia, sedangkannaku?! Zhaviaaa!!!!! " Patrick sangat kacau. Dia kembali menendang kardus kardus yang sudah berserakan. "Patrick, Zhavia sudah tenang. Aku pun merelakannya. Kau tenanglah. Lebih baik kita berdoa. Ayo Patrick kita kembali." Eden terus mengajaknya tanpa menyerah. "Tidak! Aku mau bersamanya. Kemanapun dia pergi aku mau bersamanya!" Patrick terus menyatak hal yang membuatnya tidak bisa menerimanya. Patrick melihat kilatan pisau operasi di sudut ruangan. Dia mengambilnya. "Lihat semuanya, aku akan menjemputnya!" Kata Patrick sudah mendekatkan pisau itu di daerah nadinya. "Kau gila Patrick jangan!" Eden kembali menghampirinya "Jangan mendekat Eden jangaaaann!! Kalian semua tidak usah mengurusiku dan Zhavia. Aku yang berkorban untuknya. Kami berdua yang selalu menjalankan semuanya hanya berdua . Jadi untuk apa aku di sini!" Patrick benar benar ingin menghabisi nyawanya. Dia ingin menjemput istrinya. "Jangan Patrick, jatuhkan pisau itu!" Pekik Pierre. "Patrick kita bisa membantumu menenangkan diri Patrick!" Eden masih berusaha. "Tidak! Tidak ada gunanya, selamat tinggal!" Patrick sudah mengangkat tangannya hendak menancapkan pisau kecil itu ke nadinya namun. "Bagaimana dengan Zena Patrick?" Tiba tiba Ella membawa Zena masuk ke dalam ruangan itu. "Daddy? Mengapa kau bermain pisau? Mom bilang tidak boleh bermain pisau!" Kata Zena dengan polos, apa adanya karna melihat ayahnya memegang pisau. Patrick langsung menoleh menatap Zena. Jantungnya melemah. Napasnya seperti berhenti dan matanya kembali sayu. Rambut di dahinya sudah berkeringat dan hanyut lah hatinya. Dia seperti melihat Zhavia di sana. "Daddy.." panggil Zena lagi. "Kau sangat egois! Kau tidak melihat anakmu semata wayang ini. Dia ini Zhavia, kau tahu! Mengapa dengan sangat mudah kau melupakannya! Seharusnya kau memandang dia!" Decak Ella kesal. Ella merupakan istri dari Pierre dan juga orang yang ikut membantu Patrick dan Zhavia merawat Zena. Patrick pun lunglai. Dia terlalu cepat mengambil keputusan tanpa melihat malaikat kecil yang sudah dikirimkan Zhavia untuk menggantikannya. Dia berlutut. Pandangannya tertuju hanya pada Zena, anak perempuan semata wayangnya. Dia sudah mengorbankan anak keduanya. Jangan lagi dia mengorbankan anaknya yang lain. Zena membutuhkan dirinya. "Peluk daddy mu!" Perintah Ella pada Zena dan Zena berlari pada ayahnya. "Daddy!" Panggil Zena dan memeluk ayahnya. Patrick juga memeluk Zena dan menangis tersedu. Zena pun ikut menangis karna merasakan kesedihan ayahnya. Dia juga sudah tahu kalau ibunya sudah pergi ke surga. Begitulah Ella menjelaskannya. "Zena, maafkan daddy! Mommy sudah pergi, semua salah daddy!" Ucap Patrick sambil mengecupi Zena yang menepuk nepuk kecil punggung ayahnya. . NEXT PART 3 don't forget to COMMENT, LIKE OR FOLLOW AND TO BE FAVORITE THANKYOU :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD