ENAM

1558 Words
Pagi ini, basecamp Pasuspala kedatangan tamu. Adji datang sebagai perwakilan dari OSIS. Tujuan dia untuk menjemput Naraya agar mengikuti kegiatan Diklat OSIS hari kedua. Jujur, Naraya berat sekali beranjak ke acara OSIS, seharusnya tanpa dijemput pun Naraya sudah menuju basecamp OSIS. Jadwal OSIS hari ini adalah pemantapan program kerja calon pengurus. Peserta diminta membikin paper rencana program kerja di atas kertas, menjelaskan dan mempertahankan idenya di depan pengurus dan senior OSIS. Sesuatu yang klise di mata Naraya, sebab dia tahu itu hanyalah akal-akalan saja. Sedangkan jadwal peserta Pasuspala hari ini adalah Orienteering. Oh tidak, tidak ada pènyiksààn. Bagi Naraya, ini seperti bersenang-senang. Peserta akan dibagi beberapa kelompok, diminta mengunjungi beberapa pos yang merupakan titik kontrol dari sebuah lintasan, mendatangi sesuai urutan yang ditentukan dengan secepat mungkin, menggunakan kemampuan dan keterampilan navigasi memakai peta dan kompas. Pemenang adalah peserta yang waktu tempuh tercepat. Tentu yang membuat Naraya bersemangat karena satu kelompok dengan Gunawan dan Jaka, yang biasa dipanggil dengan Dudung dan Jeck, peserta dengan nomor seri 004 dan 006 yang mengapitnya. Dia sudah dapat membayangkan serunya membaca peta, mengambil sudut azimuth dan memilih rute bersama dua orang yang kuat, nekat, dan suka potong kompas. Sayang semangat ‘45 Naraya ambyar ketika melihat kedatangan Adji. Mengingatkannya bahwa ia adalah buih-buih detergen yang tetap harus ada di pinggiran ember, enggak bisa melawan arus setelah dipilih menjadi perwakilan Pasuspala untuk OSIS. Dia melihat Adjam dan Adji berbicara sebentar, dan ketuanya itu lantas berbicara kepada senior. Seakan menjelaskan kalau Naraya akan mengikuti acara OSIS kembali. Setelah izin didapat, dia hanya berjalan gontai di belakang Adji. Menatap punggung lelaki itu dengan kesal, sambil tidak habis pikir kenapa harus dijemput? Harusnya dibiarkan saja Naraya telat, dihukum pun tidak apa-apa, paling juga disuruh push up. Masih sibuk dengan bayangannya sendiri, ia lalu menyadari Adji berhenti tiba-tiba. Hampir saja Naraya menabrak punggung itu, Adji mengerem dengan mendadak. Cowok itu lalu beranjak ke sebelahnya, menyejajarkan langkah. Menatap Naraya lekat-lekat dari samping, kemudian berjalan mengelilingi dia seperti sedang mengamati patung yang baru dipajang di galeri seni. “Kenapa?” tanya Naraya heran. “Lo dengar gue, ‘kan?” balas Adji sambil mengamati telinga Naraya. “Dengar, ‘kan?” Naraya menaikkan kedua alis. Tidak ada siapa-siapa di jalan setapak ini, tentu suara Adji terdengar jelas olehnya. “Dengar. Kenapa, sih?” “Soalanya dari tadi gue ajak ngomong, lo diam aja. Gue sangka udah pecah gendang telinga lo, semalam. Kuping lo masih sehat, ‘kan?” Cowok itu tetap memperhatikan inci demi inci Naraya. Tentu saja itu membuat Naraya risi diperhatikan seperti itu. “Sehat,” jawabnya cepat, mengerti sekali apa yang ada di pikiran Adji. Kisah seseorang yang sempat pecah gendang telinga saat pelantikan pernah mewarnai rumor-rumor di kantin dan Adji pasti juga pernah mendengar kisah itu. Kaki Adji berhenti. Tangannya menolehkan pipi Naraya ke kiri sambil memperhatikan leher kanan Naraya. “Eh, tapi … leher lo!” “Kenapa leher gue?” Naraya menoleh, tentu saja dia tidak bisa melihat leher sendiri tanpa bantuan kaca. “Biru gini, Nay.” Ada panik yang Naraya tangkap diucapan senior OSIS-nya itu. Naraya hanya diam dan melanjutkan berjalan. Cowok itu ikut berjalan kembali di sisinya. “Gue kadang enggak habis pikir sama anak Pespel. Udah disiksa segitunya, masih bertahan juga. Kalau lo merasa enggak sesuai, harusnya lapor ke pembina atau ke guru.” Naraya hanya berdengkus. Dari awal ketika ingin masuk Pasuspala, mereka sudah diperingati. Begitu juga saat akan pelantikan, senior selalu menawarkan untuk mundur. Dan ketika dia tetap memutuskan untuk maju, berarti dia siap dengan segala konsekuensinya. “Yang ngejalani itu kami. Orang luar hanya bisa menilai dari luar, enggak tahu gimana di dalamnya. Ya, karena cuma bisa dapat sudut pandang dari luar doang,” sanggahnya santai sambil terus berjalan. Jarak basecamp Pespel dengan basecamp lain apalagi OSIS lumayan jauh. Memang sih, ada benarnya yang Adji barusan bilang, tapi itulah yang terjadi. Beberapa orang, akan semakin kuat karena ditekan. Mungkin terdengar primitif. Namun, dia sendiri seperti itu. Puas menghadapi hal-hal yang tidak pernah Naraya suka di dalam hidup, malah membuatnya semakin bertahan, semakin survive. “Tadi malam, sampai jam berapa acaranya?” Adji melirik, mengamati hal-hal yang mungkin luput dari pandangan. “Sekitar jam setengah lima.” “Setengah lima? Setengah lima pagi?” Cowok itu memelotot setelah melihat arloji. Saat ini masih pukul tujuh pagi. “Tidur enggak lo, Nay?” “Tidur-tidur ayam.” “Entar malam dihajar lagi?” Cowok itu tampak serius menunggu jawaban dari Naraya sementara dia hanya mengedikkan bahu. Agenda pelantikan tidak mungkin dibocorkan kepada peserta. “Enggaklah. Palingan juga bakar-bakaran,” sahut Naraya berspekulasi. “Bakar-bakar golok maksudnya.” Jawaban Naraya hanya menuai toyoran ringan dari Adji. Sebenarnya spekulasi Naraya beralasan. Tadi ketika pamit ke pengurus yang sedang berjaga, tidak banyak senior alumni di lokasi. Mereka seperti hilang ke dalam hutan. Bisa jadi itu karena kejadian brutal, tadi malam? Kemarahan Kang Revi dan Kang Reza sepertinya bukan main-main. Dia sempat mendengar kalimat sakti sebelum pergi digiring pengurus. “Sistem yang seperti ini harus diubah.” Kalimat itu terdengar berulang-ulang dari mulut Kang Revi kepada para senior yang berkumpul. *** “Paper kamu mana?” tanya Renard yang bertugas mengumpulkan paper berhenti di hadapannya. Naraya menoleh, mencoba mencari keberadaan Adji. Tugas itu sudah dikumpulkannya kepada Adji sebelum menuju basecamp Pasuspala karena khawatir basah jika dibawa di dalam tas. Meski sudah dilapisi plastik, kalau direndam berjam-jam tetap akan membuat tugasnya itu menjadi basah. Yang menjadi masalah saat ini adalah di mana Adji? Saat sampai tadi, cowok itu langsung menuju tenda panitia. “Kenapa? Ada masalah apa?” Fiska yang mengamati Renard dan Naraya lalu mendekat. “Kenapa?” ulang Fiska lagi. Renard hanya diam menunggu jawaban Naraya, sedang dia berusaha mencari jawaban yang terdengar netral tanpa terkesan seenaknya sendiri. Fiska sering menuduhnya manja karena Adji selalu membela, dan kalau saat ini dia memberitahu paper-nya ada di Adji. Bagaimana tanggapan Fiska, nanti? “Naraya, lo kerjain paper nggak?” “Kerjain, Kak.” “Mana paper-nya?” “Sebenarnya paper-nya ada di ….” Sudahlah, sudah terlanjur basah. Biar saja Fiska menuduh apa, yang penting dia sudah mengerjakan paper itu. “Ada di gue, Fis. Udah dikumpulnya tadi,” sahut Adji yang tiba-tiba datang. Demi apa anak itu akhirnya nongol juga. Naraya melirik Adji dengan penuh kode. Hampir saja dia berurusan panjang dengan Nenek Lampir ini. Orang ini sepertinya tidak pernah suka akan kehadiran Naraya. Padahal, tahun lalu, mereka sama-sama menjadi enam belas besar pengurus OSIS. Naraya juga ikut membantu program kerja kepengurusan Ranendra, dan selalu ikut serta dalam setiap kepanitiaan. Akan tetapi, Fiska selalu menatapnya tidak suka. Cewek itu tidak pernah sekali pun tersenyum kepada Naraya, padahal sebagai juniòr Naraya selalu berusaha sopan. Sebagai pengurus OSIS, Naraya tentu pernah dibentak senior saat pelantikan. Tetapi di luar pelantikan, mereka kembali biasa saja, bahkan bekerja sama. Berbeda dengan Fiska, cewek itu seperti memiliki masalah pelik dengannya. Sebenarnya Naraya juga tidak peduli itu apa. Dia malas berpikir alasan mendasar Fiska berbuat itu. Selama Fiska tidak mengganggunya, Naraya biarkan saja. Namun Naraya sempat menduga, pelantikan OSIS kali ini akan menjadi ajang aji mumpung seorang Fiska untuk mengerjainya tanpa perlawanan. Seperti saat ini, ketika enam belas besar calon pengurus OSIS disisihkan untuk direndam di sungai siang-siang, Fiska selalu saja mencari kesalahannya. Cewek itu seperti secara khusus diciptakan hanya untuk menghadapi Naraya. “Eh, lo! Bisa baris enggak? Barisnya jangan mepet-mepet.” Fiska menunjuk Naraya memakai bambu. “Lo geser lagi ke sana.” Naraya menoleh. Dari riak air yang terlihat saja, dia sudah dapat menebak kondisi tempat yang disuruh Fiska. Benar saja, saat dia melangkah, dia merasa kalau dasar sungai makin ke dalam. Tidak ada batu-batu besar di dalam dan air sudah setinggi dàdà. Dia masih diam, bersikap tegak dan memasang kondisi siaga. “Lo dengar enggak apa yang gue bilang tadi?” Bambu yang dipegang Fiska mencolek lengan Naraya. Bagaimana dia bisa mendengar jika Fiska berbicara dengan suara rendah? Jelas sekali, cewek itu sedang memerangkapnya untuk menjadi bulan-bulanan. “Enggak dengar kan lo? Makanya jangan melamun! Push up lo, seratus kali.” Naraya mengangguk, sambil menandai cewek itu untuk pertama kali dengan hitungan satu. Dia menarik napas dan menenggelamkan badan ke dasar sungai, mengambil posisi push up. Cukup posisi push up saja, selebihnya badan Naraya bahkan tidak bergerak naik turun. Fiska terlampau bodoh untuk mengerti apakah dia sedang push up atau tidak di dalam air, saat ini. Matanya memilih memandangi batu-batuan di dasar sungai, koral-koral yang terlihat cukup indah. Sudah sepuluh detik lebih Naraya tidak juga naik ke permukaan. Rekan-rekan yang lain sudah berpandang-pandangan. Yang terdekat dari Naraya adalah Renard dengan jarak empat hasta. “Nard,” desis Guntur kepada Renard. Cowok itu berusaha menegur Renard untuk melihat Naraya. Renard paham. Dia melirik keadaan Naraya yang masih di dalam air. Perintah Fiska menyuruh Naraya push up dengan kondisi air sedada waktu posisi berdiri itu tidak masuk akal. Jika berdiri saja air sudah sedada, bagaimana jika posisi push up? Sama saja menyuruh anak orang mati tenggelam. Renard menghitung di dalam hati. Ketika detik ketiga puluh, Naraya juga tidak naik ke permukaan, dia lalu meluncur, menyelam ke arah Naraya. Menggapai bahu cewek itu yang sedang dalam posisi push up, lalu menarik tangan kanannya supaya ikut naik ke permukaan. Namun, tarikan Renard tertahan. Dalam air, dia menoleh. Di sebelah kiri Naraya, ada Adji sedang berusaha melakukan hal yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD