Spekulasi Naraya akurat. Malam ini, tidak ada suasana mencekam seperti kemarin. Peserta tetap diminta berbaris rapi dengan membawa carrier masing-masing. Tak lama, isi tas tersebut diperiksa. Barang-barang penting seperti tenda dome, sleeping bag, nesting, trangia, beras dan bahan makanan lain diambil. Naraya hampir berdecak ketika melihat kaleng-kaleng ransumnya juga tersita. Padahal, Adji sudah memberi tahu trik untuk menaruh sekaleng ransum dengan cara melipat rapi di dalam jas hujan. Aduh, bodöh sekali dia!
Pada akhirnya, setiap peserta hanya dibekali sebuah ponco, korek api dan pisau, seikat tali, beberapa peralatan P3K, juga keperluan lapangan seperti kompas, peta, senter kecil. Untuk konsumsi, mereka hanya diberi garam dan sebotol minum. Kemudian isi di dalam carrier mereka ditambahkan batu-batu kali agar berat. Peserta masing-masing diberi titik koordinat yang menjadi tujuan. Malam ini, mereka harus menempuh hutan ke koordinat tersebut, dan membuat bivak untuk bermalam di sana.
Sama sekali tidak ada kèkèràsàn fisik. Mereka harus menghadapi yang lebih keras dari manusia, yaitu alam. Setiap peserta diminta bertahan hidup untuk dirinya sendiri, sendirian, di dalam hutan belantara.
Selama menjadi anggota muda, tentunya materi dasar survival sudah diberikan kepada anggota Pasuspala. Kali ini, tinggal pelaksanaannya saja. Ketika berada di alam, mereka yang ikut hukum rimba. Mereka tidak akan bisa mengatur hari ini akan terjadi apa. Bisa hujan, bisa badai, bisa longsor, bisa banjir atau bisa berpapasan dengan binatang buas sekalipun. Maka mental dan fisik memang perlu terasah dan teruji agar menjadi manusia yang tahan banting.
Selain tahan banting, pencinta alam juga harus menjadi manusia yang selalu berpikir sepuluh langkah sebelum memutuskan sesuatu. Dalam jungle survival, keadaan sulit atau terancam harus tetap dilewati dengan tenang. Pencinta alam harus bisa STOP: Stop, Thinking, Observation, Planning. Tidak boleh grasak-grusuk, salah keputusan, nyawa taruhannya.
Naraya sudah sampai pada titik koordinatnya, meletakkan carrier lalu mencari lokasi tanah yang cukup rata. Dia menaruh senter di salah satu ranting pohon, diarahkan sinarnya ke tengah untuk menerangi dia yang sedang membuat patok bivak dari beberapa ranting pohon. Tangannya menajamkan ujung-ujung ranting dengan pisau dan menancapkan ke tanah, mengembangkan ponco lalu mengikat bagian kanan dan kirinya. Agar tetap kokoh jika ada angin, beberapa bagian ponco diberinya ranting. Dia juga menemukan jerami yang disediakan panitia dan menumpuk rumput kering itu sebagai alas dalam bivaknya.
Matanya memandang langit sekilas. Sepertinya malam ini akan hujan, Naraya lalu mencungkil tanah di sekeliling bivak untuk membuat parit kecil, juga menaburi garam. Setelah semua selesai, sisa ranting-ranting kering tadi ditumpuknya dan dibuat api unggun kecil untuk menghangatkan badan.
Tidak ada siapa-siapa selain dia sendiri di sini. Setiap peserta memiliki koordinat yang berbeda. Tak lama, mendung mulai datang dan hujan turun membasahi lokasi. Api unggun yang menyala menjadi padam. Cukup lama hujan malam itu. Suasana gelap dan dingin, membuat Naraya meringkuk, mencoba menghilangkan rasa dingin yang datang. Dia mulai memejamkan matanya. Rasa lapar menyerang, dan perutnya keroncongan. Sekejap terbayang ransum yang hilang, Naraya lantas menelan ludah. Di saat-saat begini, dia baru terasa menyesal telah membuang atau menyia-nyiakan makanan.
Hujan semakin deras, tidak ada suara lain selain suara kaki-kaki hujan yang menapak di tanah. Matanya yang mengerjap berusaha beradaptasi dengan pekat. Ketika akan menghidupkan senter, dia melihat sesuatu di jarak dua meter, menggeliat di tanah, membuatnya menahan napas.
Seekor ular sanca sedang melintas di depan bivaknya. Dia hanya bisa sebisa mungkin tidak bergerak, memejamkan mata dan mengatur napas agar detak jantung tidak seperti genderang perang. Naraya tidak ingin menimbulkan reaksi apa pun dari ular tersebut.
Ketika mata tertutup, sekelebat dia teringat peristiwa di sungai, siang tadi. Entah kenapa bibirnya menjadi tersenyum simpul. Menertawai kebodohan Renard dan Adji yang mengira dia sedang tenggelam. Tak dapat dipungkiri, ada hangat yang menjalar di dadanya. Tidak tahu mengapa.
Sebenarnya, sedari kecil, Naraya suka alam terbuka. Dia sangat menyukai berkemah, berangan bisa tidur di dalam tenda dan ketika bangun, mendapati matahari terbit dari atas gunung. Ketika bergabung dengan Pasuspala, angan itu kesampaian. Tidak sekali dua kali dia bisa menikmati keindahan matahari yang terbit juga terbenam.
Naraya juga menyukai gunung. Berada di ketinggian gunung, membuatnya merasa sangat kecil. Seperti serpihan pasir di antariksa besar mahaluas. Di atas gunung, langit malam juga akan terlihat sangat indah. Tidak ada kontaminasi dari pendar lampu kota.
Akhirnya hujan mulai mereda, dia membuka kembali matanya. Langit masih gelap. Jauh di atas sana, Naraya melihat tiga bintang besar membentuk garis lurus di bagian depan, kemudian jajaran bintang, sekitar sembilan bintang mengekor di belakang. Bintang paling tengah, memanjang dan membentuk lekukan layaknya spiral di bagian paling belakang. Seperti ekor kalajengking.
Rasi bintang skorpio, rasi bintang kesukaannya. Menurutnya, rasi bintang skorpio sangat mudah dikenali daripada bentuk rasi bintang yang lain. Rasi itu bentuknya khas dan indah.
Sekilas, Naraya kembali teringat. Dulu, dia sering bersama Neira memandangi skorpio di langit selatan itu. Dan kini, Naraya rindu.
***
Keesokannya, seluruh peserta yang sudah kembali ke titik yang ditentukan, kembali dibariskan. Satu per satu perwakilan senior, menyematkan slayer kepada peserta dengan bersama-sama menyanyikan lagu Mahameru. Lagu yang diciptakan khusus untuk mengenang dua orang anggota Mapala UI yang meninggal di Gunung Semeru. Mereka adalah Idhan Lubis dan Soe Hok Gie tanggal 16 Desember 1969. Lagu itu seperti lagu kebangsaan bagi setiap pencinta alam.
Soe Hok Gie sendiri menjadi salah satu alasan kuat mengapa Naraya memutuskan masuk ke Pasuspala. Dia sangat mengagumi tulisan lelaki itu dalam buku Catatan Harian Demonstran. Alasan kedua, saat masuk ke kelas kala MOS, Pasuspala sendiri yang unik. Di saat organisasi lain yang masuk cuma dua atau tiga orang untuk menjelaskan kelebihan-kelebihannya, Pasuspala masuk beramai-ramai, mengenalkan sebagai organisasi pencinta alam lalu menyanyikan lagu Mahameru beserta puisinya. Naraya yang menyukai puisi tentu tersentuh.
Alasan lainnya, karena dia suka melihat kekompakan anak-anak Pasuspala. Di Pasuspala, setiap anggota dilarang memiliki hubungan asmara. Hal itu sejalan dengan prinsipnya. Meski akhirnya Naraya tahu, kesolidan anak-anak Pasuspala tumbuh karena gemblengan. Mereka solid karena bantaian, mereka solid karena seringnya bersama dalam susah.
Adjam berdiri di depan Naraya. Dari semua peserta, ketua Pasuspala angkatan 12 itu memilih menyematkan slayer untuknya. "Jaga ini baik-baik. Jaga Pespel baik-baik. Gue percaya sama lo," ujar Adjam menepuk bahunya, seakan tahu gestur itu saja sudah menyampaikan segala sesuatu yang hendak disampaikan kepada Naraya.
Naraya hanya mengangguk dan mendadak bungkam ketika susunan kepengurusan Angkatan 13 diumumkan. Gunawan menjadi ketua dan Ajeng menjadi sekretaris. Nama Naraya tidak masuk ke dalam pengurus inti, maupun koordinator divisi. Dia hanya dijadikan anggota dalam Divisi Panjat Tebing. Anggota, hanya anggota.
Hal itu membuat Naraya mulai berpikir kalau dia benar-benar disingkirkan untuk menyusup ke OSIS, tanpa boleh gagal. Mendadak, Naraya sibuk dengan pikirannya sendiri. Kenapa bukan Ajeng yang dilepas ke gelanggang pemilihan Ketua OSIS? tanyanya heran. Karena Ajeng sudah dipersiapkan pengurus angkatan 12 untuk menjadi sekretaris. Selain ketua, sekretaris adalah inti sebuah organisasi. Kepengurusan akan berjalan tertatih-tatih tanpa sekretaris. Makanya nama Ajeng tidak dapat diganggu gugat, jawab sisi dirinya yang lain. Tapi kalau boleh jujur, Naraya ingin bisa berada dalam kepengurusan inti Pasuspala, bukan berada di OSIS.
Gunawan maju ke depan dan membacakan Janji Pasuspala dengan tangan kanan terkepal, diikuti oleh seluruh anggota Pasuspala baik Angkatan 13 ataupun para senior.
“Janji Pasuspala. Kami anggota Pasuspala berjanji.”
“Satu, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
“Dua, mengabdi kepada Pasuspala selama hayat dikandung badan.”
“Tiga, rela berkorban apa pun demi kejayaan Pasuspala.”
“Empat, menjunjung tinggi persaudaraan, persahabatan dan rasa kekeluargaan di antara sesama anggota Pasuspala.”
Janji yang selalu membuat merinding para pembaca dan pendengar itu dilanjutkan dengan pembacaan Kode Etik Pencinta Alam Indonesia kemudian ditutup dengan arahan pembina Pasuspala. Setelah itu, masing-masing senior memberi jabat tangan erat dan pelukan sebagai pertanda ucapan selamat telah menjadi anggota tetap Pasuspala. Beberapa pasang mata bahkan berkaca-kaca. Pelantikan Slayer Pasuspala angkatan 13 telah selesai.
Jika ada orang yang bertanya mengapa anak-anak Pasuspala tidak menyerah dan keluar dari keanggotaan walau dalam kondisi terparah sekalipun? Karena mereka yang bertanya hanya dapat melihat sisi negatifnya saja. Mereka mengira juniòr-juniòr Pasuspala kerjanya digembleng, disiksà fisik, digojlok, dites mental juga dihajàr habis-habisan.
Padahal ada banyak sisi positif yang tidak disadari karena sudah terbiasa melihatnya, sudah terbiasa melihat kesolidan anak Pasuspala, sudah biasa melihat rela berkorbannya anak Pasuspala, sudah terbiasa melihat eratnya persaudaraan anak Pasuspala. Hal yang bahkan susah sekali untuk dipupuk dengan orang-orang biasa di kondisi seperti saat ini.
Salah satu dari orang yang berpikir hal tersebut akhirnya menyadari saat ini, di siang ini. Ketika melihat barisan Pasuspala menuju ke titik upacara pembubaran Diklat Gabungan OSIS. Barisan itu seperti long march prajurit, bukan hanya peserta dan pengurus namun juga senior alumni juga ikut baris disana, berjalan bersama sembali meneriakkan yel-yel. Kompak. Hampir tidak ada dan tidak terjadi di organisasi lainnya.
Ketika iring-iringan itu masuk, mata-mata lain memandang mereka kagum. Mata-mata lain menatap iri. Katakanlah senior dan alumni dari organisasi lain datang saat ini, tetapi tidak ada yang sesolid anak-anak Pasuspala. Terbukti, jumlah senior alumni yang datang saat pelantikan jauh melebihi jumlah peserta yang dilantik. Apa mereka datang hanya untuk membantai? Buat apa buang uang buang energi untuk menambah dosa?
Buat apa Kang Reza jauh-jauh dari Cijantung izin hanya untuk ke lokasi? Buat apa Kang Revi buru-buru mengejar pesawat terakhir setelah turun dari Kilimanjaro? Buat apa Kang Yosi yang bertugas di ujung Sumatera ambil cuti? Buat apa yang lain berlomba-lomba izin dan cuti bahkan bolos jika bukan untuk satu hal ... bertemu dengan saudara-saudaranya.
Pelantikan itu seperti ajang reuni bagi Pasuspala. Hari Rayanya anak-anak Pespel. Hari bertemunya masing-masing angkatan. Mereka bersedia menyingkirkan semua jadwal, menepikan semua kesibukan, hanya untuk bisa mengenang perjuangan dan menyematkan slayer kepada anggota tetap sebagai saudara baru mereka.
Begitu sampai ke lapangan tempat diadakannya upacara, Naraya bahkan tidak kembali ke barisan OSIS. Dia memang tidak pernah ingin menjadi bagian dari organisasi tersebut. Naraya hanya bangga sebagai bagian dari Pasuspala. Satu-satunya hal yang membuat Eyang dan kedua orang tuanya percaya kalau apa pun yang terjadi, Naraya akan tetap baik-baik saja.