DELAPAN

2339 Words
Keringat sudah meleleh di dahi dan leher peserta upacara, pagi ini. Pembina upacara masih terus memberikan arahan yang sebenarnya sudah tidak didengar lagi oleh para peserta. Kaki mereka sudah pegal. Begitu upacara selesai, ternyata peserta diistirahatkan kembali oleh pemimpin upacara yang berarti ada tambahan pengumuman. Beberapa suara berdecak, mereka sudah hampir mati kehausan dari tadi. Namun, decak tersebut berangsur hilang begitu terlihat siapa yang berjalan mendekat. Renard, sosok yang belakangan ini menjadi pujaan cewek-cewek, maju ke podium dan menyerahkan piala beserta trofi bergilir kepada Kepala Sekolah. Tim basket sekolah baru saja memenangi Liga Bola Basket Provinsi dan mendapat kembali trofi bergilir dari Gubernur. Kepala sekolah mengangkat trofi tinggi-tinggi, diiringi tepuk-tangan peserta upacara. Kontan saja memancing reaksi berlebih dari para pemandu sorak dan koloni cewek penghuni kantin depan. “Renard… Renard… Renard….” “Saranghae, Renard!” “Renard Oppa!” “Daebak, Renard!” Dan teriakan lain yang menambah ribut suasana di lapangan. Sebenarnya tidak semua bertepuk tangan. Di dalam barisan yang sudah tidak rapi lagi, ada dua pasang mata bertemu dan berpandangan seolah sedang berbicara dalam diam. Adjam dan Naraya. Mereka merasakan aura persaingan. Senyuman Kepala Sekolah dilihat Naraya seperti ejekan kepadanya. Baru trofi Gubernur, kan? Dia yang pernah dapat medali di Popnas dan PON saja tidak diumbar-umbar. Bibirnya tersenyum kecut. Renard memanfaatkan basket untuk mendapatkan massa. “Nay, ke kantin biru, yuk?” ajak Gesna setelah barisan mulai bubar. “Malas.” Naraya masih berpikir bagaimana menyingkirkan pengaruh Renard yang makin mengejuju. Dalam waktu dekat, tidak ada turnamen panjat. “Gue juga malas, tapi Aci nih bègö. Dikerjain geng Fiska diam aja,” kata Gesna sambil menarik tangan Naraya. Cewek itu menepis tangan Gesna, tetapi tetap mengikuti langkah Gesna dan Asri. Selain Gesna, ada seorang cewek yang sering mengikutinya. Namanya Asri, anak basket juga. Asri sebenarnya masih kecil, dua kali lompat tingkat karena kelas akselerasi menjadikan Asri lantas setara dengan Naraya dan Gesna. Untuk anak sepintar Asri, semua begitu mudah. “Kenapa mesti lo yang anterin ke dia sih, Ci? Kan dia yang minta tolong sama lo?” sela Gesna gusar ketika mereka sudah sampai di kantin Kelas 12. “Katanya dia sibuk, nggak bisa datangin gue,” jawab Asri sambil memegang buku kimia milik Fiska. “Lo kerjain PR dia?” tanya Naraya memandang Asri, disambut anggukan cewek itu. “Murah hati banget lo,” sindir Naraya tersenyum kecil. Di matanya, Asri terlalu lugu sampai-sampai tidak sadar kalau dimanfaatkan orang lain. “Tauk. Dongdong jangan keseringan, sih. Ngapain juga lo kemurahan hati ngerjain PR Fiska? Disuruh nganterin gini lagi. Kalau dia minta bantuan lo, harusnya dia yang datangin lo. Yang perlu siapa, yang repot siapa?” omel Gesna. Mereka duduk dan memesan jus jeruk sambil menunggu Fiska. Di meja panjang itu, Gesna dan Naraya duduk berhadapan, sedangkan Asri berada di samping Gesna. “Kalau dia sibuk, nggak mungkin bisa ke kantin kali, Ci,” sela Naraya sambil melipat tangan. Ujung matanya menangkap kedatangan segerombol cewek-cewek pemandu sorak kelas 12. “Hola, Ges,” sapa Fiska, mantan kapten pemandu sorak yang sekarang berada di kelas 12. Cewek itu berkata dengan gaya centil dan mengibaskan rambut panjangnya. “Congrats ya tim basket kalian menang. Proud of y'all.” Ingatkan Naraya agar jangan kelepasan melengos. “Thanks, Kak,” balas Gesna mencoba sopan. Ketika mata Gesna naik melihat ke depan, matanya juga melihat mata Naraya. Mata mereka berbicara hal yang sama, tanpa suara, tapi sangat dimengerti oleh kedua orang tersbut. Ini yang katanya sibuk? Sibuk tài kucing. Tidak ada yang tahu, mereka berdua bahkan bisa tukar pikiran semudah ini. Cuma dari gerakan ekor mata dan tangan mengaduk-aduk jus jeruk saja, beragam makian dalam hati yang terlontar, terlihat dari ujung tatapan mata dan sangat mudah dibaca oleh keduanya. Naraya tersenyum miring sementara Gesna memijit pangkal hidung supaya tawanya tidak kentara. “Lo berdua lèsbi, ya?” sela Fiska tiba-tiba. Perkataan cewek itu menghentikan aktivitas telepati Gesna dan Naraya. Mereka berdua refleks menoleh ke asal suara yang ternyata memperhatikan sedari tadi. “Pandang-pandangan terus senyum gitu. Lines nih berdua!” Sontak banyak pasang mata memandang meja mereka. Atensi mereka tertuju kepada dua orang cewek tomboi berambut pendek yang sedang berhadapan. Bahkan, gerombolan geng Kepala Sulu kelas 12 langsung bersiul mendengar hal tersebut. “Daripada lines bagusan sama gue, Dek," seru seseorang di kumpulan itu. Sedangkan, yang lain tertawa dan mengejek. Senyum Gesna dan Naraya meluntur. Tatapan mereka sama-sama berubah dingin dan tajam. Tangan Naraya sudah menggenggam erat gelas jus jeruknya. Dalam hitungan detik, ia bisa menyiramkan isi gelas dengan tepat sasaran ke muka cewek sok cantik itu. Bisa diprediksi, Naraya yang akan menabuhkan genderang peperangan lebih dahulu. Sayang, tangan Gesna datang menutup isi gelas Naraya untuk menghalangi dia untuk menumpahkan isinya. Tubuh Gesna lalu berdiri, menghampiri Fiska yang duduk di seberang Asri. Dengan senyum mencemooh, Gesna berkata, "Kalau kami lines, terus lo mau apa?” “Lo pengin disukai sama kami juga?” sela Naraya menyunggingkan tawa samar. Badannya juga ikut berdiri dan keluar dari bangku panjang. Naraya mendekat ke arah Fiska, tetapi Gesna menahan bahu dan mendahuluinya. Cewek itu menyerahkan diri sebagai tameng Naraya tanpa diminta. “Kenapa Kak Fiska?” Gesna menempelkan badannya ke tubuh Fiska. Tubuh mereka sama tinggi. Namun, tentu saja badan Gesna lebih kokoh berisi. “Wanna join threesome with us?” ajak Gesna menjijikkan. Tangan cewek itu bahkan mengurung Fiska yang tadi mundur menabrak dinding. Naraya menikmati perubahan ekspresi di muka Fiska dengan tangan terlipat. Katakanlah cewek itu kurang beruntung karena baru saja memancing kegilaan Naraya dan Gesna. Teman-teman Fiska terlihat akan maju membela, tetapi Naraya mengangkat tangannya ke arah mereka. Dia memberi isyarat agar geng itu jangan ikut campur. Dengan tatapan tanpa ekspresi, dia menghampiri Fiska. “Lo berdua gila, ya!" pekik Fiska yang dikurung dua orang cewek seperti lèsbi dan parahnya diajak threesome. Kantin hening. Semua menoleh tegang ke keributan. Jika saat itu akan terjadi adu jotos, dengan mudah akan ketahuan siapa yang menang. Tentu saja kekuatan fisik anak lapangan seperti Naraya yang atlet panjat tebing dan Gesna yang kapten basket putri tidak ada tandingannya. Naraya memajukan badan, melewati kungkungan Gesna ke Fiska. “Iya, kami memang gila dan kami bisa bikin lo lebih gila lagi!” bisiknya dengan kalimat lirih yang hanya bisa didengar mereka bertiga. Bibirnya tersenyum sinis sambil melirik ke Gesna, disambut seringai Gesna seolah mengiakan. “Ge... Nay….” Panggilan dan langkah kaki berlari terdengar menuju ke arah mereka yang sudah mengimpit Fiska. Adjam dan Adji datang. Cowok-cowok itu menarik tangan mereka untuk meninggalkan kantin para senior. Tatapan terakhir Gesna dan Naraya menyuarakan hal yang sama kepada Fiska. Lo selamat kali ini! Si Aci ngapain pake panggil bala bantuan sih? Gesna melemparkan tatapan kesal ke Naraya. Tauk! Kayak kita nggak bisa ngurus seekor ayam aja! Gue goreng tahu rasa tu ayam. Naraya hanya melengos membalas tatapan isyarat dari Gesna. Bahunya dan Gesna dirangkul Adji. Cowok itu menggiring mereka ke arah kantin Pespel sedangkan Adjam jalan di belakang, seperti berjaga jika mereka lepas. Mungkin, Adji dan Adjam tahu bahwa mereka bisa tiba-tiba berbalik dan menyerang musuhnya membabi buta jika tidak dipegang dan dijaga. “Selow… Selow... Bisa diceritain apa masalahnya?” tanya Adji sama dua orang dekatnya itu. Namun, mereka berdua tetap diam. Naraya melirik Gesna yang tetap diam dengan muka memerah, mungkin sedang menahan emosi. Dia membuang rasa kesalnya ke udara dan melanjutkan hitungan untuk Fiska. Dua. *** Ternyata imbas dari peristiwa Fiska belum selesai. Siang ini, sehabis pulang sekolah, seluruh anggota diminta Adjam berkumpul di sekre Pespel. Adjam tahu, kejadian tadi pagi bukan sepenuhnya salah Gesna atau Naraya, Fiska yang notabene teman sekelasnya juga mencari masalah lebih dahulu. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk berbuat seperti tadi. Pemilihan Ketua OSIS sudah makin dekat. Seharusnya Naraya bermain cantik, bukan menebar reputasi jelèk seperti tadi. Jika tadi tidak dilerai, peristiwa itu bisa memengaruhi dari perolehan suara bagi Naraya saat pemilihan nanti. Naraya mungkin bisa saja tidak mengingat itu atau tidak peduli terhadap pencalonannya, tapi rencana tetaplah rencana. Adjam berdiri di depan. “Siang semuanya. Sori, kalau gue ngundang tiba-tiba. Ini terkait program angkatan gue yang belum selesai.” Ia menghela napas, agak berat untuk mengucapkannya, “Pemilihan Ketua OSIS sebentar lagi akan dimulai. Seharusnya kalau kita sadar, minggu-minggu sebelum pemilihan adalah saatnya mencari suara. Sebisa mungkin, kita, gue dan juga kalian itu behave. Lo semua lihat kan tadi pagi basket udah kasih trofi ke Kepsek? Seharusnya lo semua bisa nilai, itu ajang unjuk gigi Renard untuk cari suara. Seharusnya, kita tunjukin sisi positif kita untuk melampaui yang tadi. Bukan malah bikin onar, nunjukin kebandelan, nunjukin melanggar peraturan.” Oke, mungkin Naraya tersentil oleh ucapan Adjam barusan. Perkataan Adjam memang bukan omong kosong. Semua dengan bukti. Hari ini, saat Naraya berurusan dengan Fiska, cowok itu mendapat laporan bahwa Jaka ketahuan merokok oleh Pak Indro dan Yusuf ketahuan lompat pagar oleh guru piket. “Jadi, gue minta kerjasama kalian. Bukan cuma tugas gue, bukan cuma tugas Nay, tapi semua. Ulah satu orang dari kita, akan memengaruhi nama Pespel dan juga calonnya di Bursa Pemilihan Ketua OSIS. Ngerti kan lo semua?” Beberapa kepala menunduk, termasuk Naraya. Ia diam sambil memainkan kulit kasar yang akan mengelupas di jarinya karena sering bergesekan dengan poin panjat. “Gue penginnya kita semua berkelakuan baik, selamanya. Tapi seenggaknya, kalaupun itu ternyata susaaaaah banget buat lo semua, gue minta ... minimal sampai selesai pemilihan Ketos aja deh. Gue nggak mau dengar ada yang berantem, ada yang cabut, ada yang nggak rapi, ada yang telat apalagi ngerokok,” pinta Adjam. “Nay... lo calon Ketos. Jangan angker, nanti nggak ada yang mau milih. Gue minta galaknya dikurangin sama tunjukin prestasi lo. Lo banyak prestasi yang sekolah sendiri nggak tahu. Lo harus tonjolin itu. Terus berbaur juga sama yang lain. Gimana orang mau milih kalau mereka sendiri nggak begitu kenal dekat sama lo?” Naraya hanya mengangguk menjawab tuntutan Adjam. Selain dirinya, beberapa nama juga disebut ketua Pasuspala itu, lengkap dengan perintah yang harus dilakukan. “Satu lagi Nay,” ujar Adjam, membuat perhatian Naraya kembali ke cowok itu. “Daripada lo dituduh lesbi, bagusan lo milih salah satu dari Renard atau Adji itu.” Ledekan Adjam disambut semburan tawa dari anak-anak Pespel lain yang sudah membaca artikel penuh gosip tentang dia. Naraya menggertakkan giginya kesal dan langsung teringat kadonya untuk BOS. Setelah satu per satu anggota Pespel meninggalkan sekre, Naraya mulai mengawasi sekitar. Semua pintu sekre sudah tertutup. Hari yang mulai sore tidak menyisakan siswa berada di kawasan itu. Ia mengintip sedikit ke dalam sekretariat BOS melalui celah kaca, dan tidak ada orang di dalam. Dikeluarkannya obeng kecil yang sudah dibawa dari bawah jok skuter, kemudian mulai mencungkil jendela. Ia berhasil membuka jendela, tetapi ia tidak bisa masuk karena ada terali yang menghalangi. Di balik jendela, ada sebuah monitor dan CPU dengan posisi membelakanginya. Bagus, bagaimana jika ia bermain-main dengan perangkat perang BOS saat ini? Sepertinya cukup menyenangkan. Naraya meraih pisau tipis terlipat seperti kartu yang selalu ada dalam dompetnya. Ia cukup menguliti beberapa kabel yang ada dengan pisaunya dan merusàk kipas CPU. Semua dikerjakannya tidak sampai sepuluh menit dan langsung ditutupnya kembali jendela BOS. Tidak lupa dilapnya juga permukaan kosen jendela agar tidak ada jejak di sana. Beres! Naraya melenggang riang menuju parkiran. Ia menyusuri koridor panjang yang lengang dengan keinginan mempercepat hari. Sudah tidak sabar rasanya mendengar berita hangat mengenai sekre itu. “Nay, awas!” Suara yang berteriak mengingatkan malah membuatnya refleks menoleh ke belakang. Sebuah bola basket terbang bebas menujunya. Ia berkelit sedikit, tetapi laju bola itu sangat cepat, menabrak keningnya hingga membuatnya terjungkal ke belakang. Beberapa langkah kaki bergegas menghampiri Naraya begitu melihat cewek itu terjatuh, termasuk Gesna dan Adji. “Nay, nggak apa-apa?” tanya Adji sambil membuka tangan Naraya yang menutupi keningnya. “Benjol, nih. Sakit nggak?” Naraya merengut sambil mengusap kening karena pertanyaan Adji terdengar bodoh. Kalau benjol ya berarti sakit, buat apa ditanya? “Nay, tapi nggak papa, kan?” Kali ini Gesna yang bertanya. “Lo nggak amnesia, kan?” Naraya berdecak, ingin sekali dia melemparkan bola basket ke muka Gesna agar cewek itu diam. “Ini siapa tadi yang lempar?!” tanyanya galak. Matanya menuduh Gesna dan Adji yang terlihat cemas. Mereka berdua menggeleng tegas, tidak terima disalahkan. Sebuah badan tinggi datang di belakang badan Adji. “Gue yang lempar tadi, tapi ditepis Renard. Gue minta maaf ya, Nay. Lo nggak apa-apa?” Guntur, cowok paling tinggi dari semua anggota basket itu mendatanginya. Cowok ini adalah tetangga dan sahabatnya Gesna dari SMP, salah satu kandidat calon ketua OSIS juga. Mendengar nama yang selalu saja bermasalah dengannya disebut, emosi Naraya merambat naik. “Mana Koreng Babon itu?! Suruh dia minta maaf sama gue!” Bukannya memanggil Renard sang pembuat gara-gara, Gesna malah tertawa mendengar kalimatnya. “Koreng Babon?” Cewek itu tersedak dan terkekeh lagi. “Woy, Koreng Babon sini lo. Minta maaf dulu sama sahabat gue, udah bikin benjol.” Renard yang sedari tadi hanya memperhatikan dari jauh, akhirnya mendatangi koridor. Naraya sudah berdiri sambil bersedekap, memasang arogansinya. “Hai, Nay. Sori, deh. Nggak sengaja,” ujar cowok itu dan langsung mengambil bola basket yang sedari tadi ditawan Naraya. Sebuah senyuman yang jarang ada di muka Renard kali ini diperlihatkannya, seolah berusaha untuk meluluhkan Naraya. Namun, bukannya tergugah, Naraya bertambah marah. “Heh! Gue nggak pernah kasih izin lo buat manggil gue pakai nama Nay, jadi nggak usah sok akrab jadi orang.” Renard memandang teman-temannya yang lain, “Tapi mereka memanggil kamu begitu?” Naraya tertawa lirih sambil menggeleng. “Prestasi aja lo sok banyak, nggak ada intelek-inteleknya. Mereka teman gue, nah elo, siapa?” Setelah berkata itu, Naraya lalu meninggalkan Renard yang melongo dan bias-bias tawa dari yang lain untuk Renard. “Nay,” panggil Adji. Cowok itu mengejar langkahnya. “Mau gue antar aja nggak?” Kepala Naraya menggeleng. Terkadang, dia memang sering menyusahkan cowok itu, minta tebengan jika malas membawa kendaraan. “Gue bawa skuter, nih.” Naraya menunjuk skuter matik keluaran terbaru yang terlihat paling mengilap di parkiran. Adji mengangguk dan terus menemani langkah Naraya sampai ke skuter. Tentu saja mereka tidak tahu kalau ada kamera yang diam-diam mengabadikan kejadian itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD