SEMBILAN

2100 Words
Seperti rekaan Naraya, setelah istirahat kedua, sekolah digegerkan dengan pekikan panik dari gedung sekretariat. Semua anggota organisasi mana pun yang berada di sekitar gedung itu diminta untuk menjauh. Sekretariat Buletin Online Sekolah terbakar. Guru-guru lalu sibuk dan murid dipulangkan lebih cepat. Naraya memilih tetap di sekolah, bersila duduk di kantin dan mendengar tebakan konyol Gesna kepada Asri. Pulang lebih cepat akan membuatnya tidur dan bisa-bisa terlambat latihan panjat. “Sudah makan, sayang-sayangku?” Adji mendekat kepada tiga orang cewek itu. “Dedek Nay udah mamam?” tanyanya sok lembut. Seringai jijik muncul di muka Naraya. “Gaya lo kayak raja minyak!” “Gue nggak minta dianggap gitu sih, tapi kalau lo nganggep gitu, ya, gue mau gimana lagi?” jawab Adji diplomatis, menebar kharismanya. Cowok itu duduk di samping Naraya sambil melebarkan lengan, merangkul Naraya. “Banyaknya gaya … ini bukan renang.” Naraya mencibir ke arah Adji. Bukan hanya Naraya yang malas dengan bercandaan narsis Adji, ternyata Gesna dan Asri juga menunjukkan keengganan yang sama. “Kenapa lo berdua ngelihatnya gitu amat? Serasi ya kami berdua?” Adji menarikturunkan alis. “Iya… Iya… Serasi,” sambar Gesna. “Kayak pembantu sama majikan.” Lalu, semburan tawa keluar dari ketiganya membuat Adji menjitak kepala Naraya yang terdekat. Namun, dengan cepat juga ditangkis Naraya. “Nay…,” desis Adji. Matanya membeliak, diraihnya tangan Naraya. “Ya ampun. Tangan lo kenapa?!” Telapak tangan Naraya dilihatnya dengan teliti. Kulit di ujung-ujung jari cewek itu mengeras dan yang lebih mengagetkannya adalah kulit yang ada di sepanjang empat jari kanan cewek itu sobek dan terkelupas. Ada bekas-bekas darah kering di sana. Ia meraba luka itu. “Nggak apa-apa.” Naraya menarik tangannya. Salah satu jarinya masih terasa perih karena dipegang Adji. Kulit bagian dalam masing-masing jarinya melepuh karena kemarin dia lupa membawa plester saat latihan. “Apanya yang nggak apa-apa, Batu! Ini mesti diobatin, woy.” Kalimat Adji barusan membuat beberapa mata mendatangi Naraya. “Ya ampun, Nay. Bonyok lagi?” Ajeng meringis, tak sanggup melihat luka pasti sangat pedih itu. Dia dapat membayangkan beratnya latihan yang dilakukan Naraya sampai semua kulitnya terkelupas seperti itu. Gesna memajukan badan dan melihat keadaan tangan Naraya. “Pantesan lo malas megang pena hari ini, ya? Bahaya, nih! Tetangga gue ada yang infeksi di tangan sampai diamputasi.” Naraya melengos mendengar kalimat Gesna. “Coba kurang-kurangin racun di mulut lo.” “Ih, gue serius.” Gesna tidak mau kalah. “Iya, Nay. Bahaya, bisa infeksi.” Asri yang mengamati dari tadi juga ikut nimbrung. Perdebatan itu belum selesai ketika Adji menarik tangan Naraya menuju UKS. Petugas kesehatan sudah tidak ada, membuat Adji langsung membuka lemari kaca. Tangan cowok itu meraih beberapa obat pembersih luka dan salep antibiotik. Saat Adji akan membuka NaCl, Naraya menolak. “Alkohol 70 persen aja,” pintanya. Permintaan itu membuat Adji memelotot. “Orang pintar mana yang ajarin lo pakai alkohol 70 persen buat kompres luka?” “Buruan! Nggak usah bawel.” “Lo tuh jangan batu, napa?!” Adji bersikeras dan membawa larutan garam pembersih ke arah Naraya. Di luar dugaannya, Naraya bangkit dan menuju lemari kaca, mengambil alkohol 70%. “Nay…,” tegur Adji berusaha mengingatkan. Ia tahu cairan yang dipilih Naraya sama sekali bukanlah ide baik, cairan itu bahkan lebih pedih daripada perasan jeruk nipis. “Diam.” Naraya menyerahkan botol biru itu ke Adji. “Kalau lo mau bantu gue, kompres tangan gue pakai ini aja. Nggak usah banyak protes.” Menyerah, pelan-pelan Adji menempelkan kapas yang sudah dibasahi alkohol ke luka Naraya. Cewek itu memejamkan mata dan meringis, menahan pedih yang menyerang jari-jarinya. Satu per satu kapas ditempelkan ke luka yang menganga, membuat Naraya sampai menggigit kerah seragamnya agar tidak berteriak. “Nay, udahlah. Pakai NaCl aja. Nggak sanggup gue,” tolak Adji. Ini baru sebelah kanan, belum sebelah kiri. Rasanya tidak tega melihat Naraya kesakitan seperti itu. Naraya yang sudah mengatur napas karena reaksi telapak tangan kanan, kemudian merengut. “Lama lo, bemo. Buruan kirinya,” ujarnya sambil membuka telapak tangan kiri sekarang. Di telapak tangan itu, hanya ada dua jari yang terluka. Luka-luka itu membuat Adji hanya bisa berdecak dalam hati. Bagaimana bisa Naraya menyukai sesuatu yang melukainya? “Lo kenapa pilihannya yang aneh-aneh sih? Pespel, panjat. Yaelah, Nay,” gumamnya sambil menuang kapas bersih dengan alkohol lagi. “Terus, biar apa juga bersihin luka pakai ini?” Naraya hanya memejam, tidak menjawab. Sejurus kemudian rasa perih menyengat tanpa ampun, hadir di telapak tangan kiri. Ia menahan napas sampai rasa sakit itu hilang dengan sendirinya. Tak lama, ia melakukan gerakan membuka tutup telapak tangannya, menunjukan hasil kerja alkohol 70%. “Pedih tapi bikin luka cepat sembuh.” Kalimat itu hanya ditanggapi Adji dengan gelengan. Ia mengambil alih tas Naraya, berjalan bersama. Lengannya maju dan memiting leher Naraya. “Pantesan lo minta jemput, ya. Alasan aja males bawa kendaraan. Sama gue aja kenapa mesti ngeles, sih, Sayang?” “Jijik gue dengarnya,” desis Naraya. “Eh, Kak. Lo kenal sama gengnya Kepala Suku, ‘kan?” “Kenapa?” tanya Adji sambil meneliti mukanya. “Gue perlu bantuan pentolan-pentolan sekolah kayak mereka buat dukung gue di pemilihan nanti.” Naraya tentu sadar, suara anak kelas sebelas pasti terpecah sebab semua calon ketua OSIS saat ini adalah anak kelas sebelas. Untuk suara anak Pasuspala dan simpatisan pasti diberikan kepadanya. Hanya saja itu belum cukup, dia harus bisa mendekati senior atau juniòr juga. Mungkin untuk suara geng Fiska dan anak-anak pemandu sorak, dia tidak akan dapat. Tetapi, suara-suara dari geng cowok kelas dua belas kan juga banyak. Adji tampak berpikir. “Ya udah, entar gue ajak mereka ngomong dulu. Kalau gue bisa handel, lo enggak perlu turun.” Balasan Adji membuat Naraya menarik bibir. “Baik bener. Memang nggak sia-sia lo dipelihara setiap hari.” “Sialan lo!” balas Adji sambil menjewer telinganya. *** Kesenangan Naraya hanya singgah beberapa jam saja, sekre yang terbakar ternyata tidak membuat para jurnalis sekolah berhenti bekerja. Berita tentangnya muncul kembali, kali ini tim BOS makin seperti akun gosip. Selain merangkum prestasi-prestasinya juga mengaitkan kejadian di kantin Kelas 12 dengan fotonya bersama Adji kemarin berjalan ke parkiran. Naraya memijit pelipis saat membaca judul itu. ADJI: PILIH NARAYA ATAU FISKA? Berita itu dibanjiri komentar warganet. Ada yang mendukungnya dengan Adji, ada yang bilang dia cocok sama Renard tetapi kebanyakan mencibirnya dan berkata bahwa Adji sangat cocok dengan Fiska mengingat mereka berdua sering ada di lapangan basket bersama. Naraya membaca komentar-komentar itu dalam diam. Yang satu kapten basket, yang satu kapten cheers. Cocok banget! Naraya? Sama Adji atau Renard? Loh, bukannya dia lesbi? Hahahaha. Aseli. Dari tampangnya aja kayaknya mana suka sama cowok. Lagian mana ada cowok yg suka sama dia. Wkwkwkwk. Jangan ngimpi sih Naraya! Naraya segera menutup artikel itu sebelum keinginan melempar ponsel ke lantai datang lagi. Tahun ini, sudah dua kali ia ganti ponsel. Bisa-bisa Sofia, sang mama, memperketat uang jajannya. Berada di Abu Dhabi selama dua tahun belakangan, masih membuat mamanya itu mengawasinya diam-diam. Naraya tahu kok dia diintai melalui CCTV tetapi dia juga tidak bodoh untuk dikalahkan dengan teknologi. Seseorang memanggil Naraya yang sedang menandaskan roti. Orang yang sudah puluhan tahun bekerja di rumahnya itu tergopoh-gopoh menghampiri. “Non, sudah dijemput Den Adji,” ujar Bik Jumi. Naraya mengangkat alis, merasa tidak minta dijemput untuk hari ini. Bunyi langkah kaki bersamaan dengan wangi segar milik Adji datang menyeruak ke sekitarnya. “Nay… Lagi sarapan?” “Nggak, lagi pesugihan,” balasnya. Mood Naraya memburuk karena berita BOS barusan. “Lo udah makan, kan?” “Udah. Tangan lo gimana, Nay?” “Bagus, deh. Gue nggak minat nawarin makan soalnya.” Tanpa menggubris tentang tangannya, ia menandaskan teh lemon dan meraih tas, mengajak Adji untuk berangkat. Sepanjang perjalanan, Naraya memilih diam dan membesarkan volume musik. Ia duduk memangku sebelah kaki dengan malas tanpa memakai sabuk pengaman. “Pakai seatbelt, Nay.” Adji melirik Naraya sekilas. “Berisik! Kaca lo kan riben.” “Buat keselamatan kali, bukan karena polisi aja.” Ketika lampu merah, cowok itu maju dan menarik sabuk pengaman di sisi Naraya lalu memakaikannya. “Berangkat sama gue mah harus aman. Hamba menjamin keamanan dan kenyamanan Tuan Putri,” ujar Adji menarik senyum. Kalimat penuh madu Adji malah ditanggapi Naraya dengan menguik seperti babi. Tanda cewek itu tidak percaya atas apa pun kalimat Adji. “Lo kenapa bad mood?” Adji tahu Naraya sedang kesal. Cewek galak itu memang memiliki kata-kata tajam tapi Adji tahu kapan Naraya hanya bercanda atau serius. Lampu merah di simpang berikutnya membuat Adji bisa memandang Naraya dengan leluasa. “Karena artikel di BOS?” Naraya hanya bergumam tanpa melepaskan pandangan ke jalan. Sesuai prediksinya, pemilihan ketua OSIS ini membuat dia menjadi tidak tenang. Setiap tingkah lakunya menjadi sorotan, apa yang dibikinnya menjadi pembicaraan. Padahal calon ketua OSIS bukan hanya dia dan Renard, tapi berita selalu saja menyerempet ke mereka berdua dan orang terdekatnya. Tangan Adji terulur, mengacak puncak kepala Naraya dengan gemas. “Tenang, Nay.” “Gini…” Naraya mengubah posisi duduk ke samping, untuk mengarah ke Adji. “Dulu, waktu mereka cuma sebatas buletin hasil fotokopian enggak bonafide, kita yang usulin mereka dan dukung mereka jadi sebuah organisasi. Lo ingat, ‘kan? Bahkan karena itu di bawah bidang gue, gue yang bantuin Mbak Ratih untuk urus semua termasuk meyakinkan sekolah kalau kita udah saatnya punya organisasi jurnalistik. Tapi, lo lihat sekarang?” Adji mengangguk, sangat tahu sekali bagaimana perjalanan organisasi itu sampai bisa merekrut anggota baru seperti saat ini. “Junior-juniornya Mbak Ratih ini kayak bukan jurnalis. Gue sangsi, jangan-jangan asal rekrut yang penting ada penerus sampai enggak paham dasar-dasar jurnalis. Rubrik gosip sekalipun, perlu klarifikasi kali.” “Iya, sih,” gumam Adji sambil memperhatikan jalanan. Ratih yang mereka bicarakan adalah senior mereka, salah satu pendiri organisasi tersebut dan sudah tamat dari sekolah. “Lo sebagai pengurus inti OSIS bisa tegurnya enggak? Kalau lo enggak bisa, biar gue pakai cara gue. Dijamin mereka bakal menyesal seumur hidup.” Naraya mendengkus sinis sambil melipat tangan di depan dàdà, menunggu jawaban Adji. “Ya udah. Entar biar gue ingetin mereka, Nay.” Naraya menggeleng. Dia perlu langkah pasti. “Nggak. Suruh mereka take down itu berita secepatnya. Gue enggak suka berita-berita alay kayak gitu.” Adji tercenung sesaat, merasa ada terganjal lama di hati semakin sesak saja. Tangannya lantas mengecilkan volume lagu. “Nay, misalkan kalau ternyata gue suka sama lo gimana? Gue pilih lo gitu?” Naraya sudah tahu kalau Adji terbiasa dengan kesetiakawanan ala anak Pasuspala. Cowok itu bahkan dianggap saudara oleh anak-anak kantin. Mereka sering membantu satu sama lain. Naraya juga sudah tahu kalau Adji pasti mendukungnya penuh di pemilihan OSIS ini. Namun, intonasi Adji barusan tertangkap janggal di telinga. Membuat muka Naraya mendadak kebas. Ia membuang pandangan ke jendela samping, diam-diam memaki kecanggungan yang ada. “Nay…” panggil Adji lagi. Naraya hanya berkemam, tanpa memandangnya. “Gimana?” “Apanya yang gimana? Nggak gimana-gimana,” jawab Naraya enteng sambil mendengkus. “Gue juga suka sama lo. Lo tahulah, gue nggak mungkin mau berteman sama orang yang nggak gue suka.” Jawaban itu seolah memancing keadaan menjadi keruh. Naraya pura-pura bodoh atau memang tidak peka? Kepala Adji langsung menoleh. “Apa gue keliatan lagi bercanda, ya? Nay, ini bukan yang kayak gitu. Ini serius. Sebenarnya perasaan gue ke lo tuh beda. Bukan perasaan suka antar teman. Gue suka sama lo, sebagai seorang cowok menyukai lawan jenisnya dan berharap lebih dari sebuah pertemanan.” Sinyal gawat darurat mulai berbunyi di sekujur tubuh Naraya. Hal ini yang Naraya tidak suka dan sangat dijaganya dari orang dekat. Dia tidak suka jika hubungan teman digantikan dengan asmara yang sesaat saja. “Jadi … lo selama ini bantuin gue karena suka sama gue, gitu?” “Bukan gitu juga.” Adji berusaha menjelaskan. “Terus ngapain lo ngomong gitu ke gue? Biar gue jadi merasa utang budi atau gimana?” “Enggak, Nay. Astaga,” desis Adji sambil mengusap mukanya yang tegang. “Gue cuma mau kasih tahu aja. Ini cuma pernyataan, supaya lo enggak dengar dari mulut orang lain. Enggak ambil kesimpulan dari BOS, dari gosip-gosip atau sumber mana pun yang enggak jelas.” Naraya meremang, hatinya kebat kebit. “Okelah kalau kayak kata lo. Ini cuma pernyataan. Nggak usah dibahas lagi, pembahasannya sampe sini aja.” “Maksud lo? Jadi kita gimana?” tanya Adji yang masih menunggu jawaban. Naraya melengos. “Gimana-gimana mulu, lo. Ya, nggak gimana-gimana. Toh, pernyataan nggak perlu jawaban. Yang jelas, gue anggap gue enggak pernah dengar ini,” sahutnya sambil memejamkan mata, mencoba untuk tidur agar tidak diajak membahas hal yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD