Morning Sick

2081 Words
Semalaman Letty tidak bisa tidur setelah mengetahui surat yang diberikan oleh dokter klinik yang membuat Dyenn sedikit aneh padanya. Benar adanya kalau hal tersebut membuat Dyenn lebih memperhatikan. Letty merasa kalut dan bingung. Di sisi lain, mengatakan kepada lelaki yang sudah membuat dirinya hamil juga percuma. Apalagi kalau Dyenn sampai tahu siapa lelaki itu, bisa-bisa terjadi hal tidak diinginkan. Letty memikirkan hal itu sampai pening dan tak bisa tidur. Pukul lima pagi, Letty sudah membereskan semua barang-barang ke tempatnya. Perempuan itu dengan rapi menata barang-barang meski minimalis. Tak bisa membayangkan bagaimana dia akan bertanya pada Dyenn soal surat itu dan mengapa disembunyikan darinya? “Apa yang harus aku katakan nanti untuk menanyakan surat ini?” gumam Letty sambil termenung bingung. Sementara itu, Dyenn yang tadi malam pulang larut dan hanya sempat tidur beberapa jam itu sudah selesai mandi dan bersiap-siap pergi ke tempat Letty sebelum berangkat kerja. Dyenn mengaktifkan ponselnya yang sedari kemarin tidak dipegang dan baru saja selesai diisi baterainya. Pesan dari Mr. Kim. Hubungi aku jika sudah selesai urusanmu, Dyenn. Dyenn baru membaca pesan yang dikirim sejak kemarin malam. Lelaki itu segera menelepon bosnya meski masih pukul lima pagi dan beberapa saat kemudian panggilan itu dijawab oleh bosnya. “Selamat pagi, Mr. Kim. Aku meminta maaf soal kemarin. Ada hal penting yang mendadak.” “Selamat pagi juga, Dyenn. Tak apa. Aku mengerti jika kamu ada kepentingan. Apakah nanti bisa masuk kerja?” “Jika memungkinkan, aku hendak izin kerja. Tapi jika tidak memungkinkan, izinkan aku datang lebih siang hari ini.” Dyenn memberanikan diri untuk meminta izin demi Letty. Belum pernah dia meminta izin pada bosnya sekalipun. Baru beberapa kali ini dia meminta izin, tepatnya sejak ketemu kembali dengan Letty. “Dyenn, sebenarnya apa yang terjadi? Kalau butuh bantuan apapun, katakan saja.” “Semua dalam kendali, Tuan Kim. Hanya saja, maaf hari ini aku tidak bisa ke kantor jika diizinkan.” “Baiklah, Dyenn. Silakan ambil libur sampai akhir pekan. Datang kembali Senin dan aku harap kamu bisa fokus bekerja kembali, oke?” “Benarkah, Tuan? Terima kasih banyak. Selamat pagi!” “Sama-sama, Dyenn. Selamat pagi!” Dyenn langsung bersorak senang karena bosnya memberikan kelonggaran. Lelaki itu dengan semangat segera keluar dari apartemen tempat tinggalnya menuju ke tempat parkir mobil. Dyenn bergegas menuju ke tempat Letty. Dia juga mampir ke pasar terdekat untuk membeli beberapa bahan makanan. “Letty pasti bingung akan memasak apa untuk sarapan. Aku akan membelikan beberapa bahan untuk dimasak. Nanti siang bisa makan di luar sambil membeli beberapa perabot,” kata Dyenn dengan senang bisa menemani Letty dari hari ini sampai Minggu. Di sisi lain, Mr. Kim duduk di kursi di balik meja tempat makannya. Lelaki yang sudah siap dengan setelan jas hitam itu menikmati kopi yang diseduh dan sarapan yang disediakan pelayan. Mr. Kim kemarin mendapatkan laporan dari bodyguarnya, kalau melihat Dyenn keluar dari klinik memapah perempuan saat mencari keberadaan Letty. Bodyguard Mr. Kim tidak mengikuti Dyenn karena mereka ada tugas tersendiri, hanya saja mereka memberi tahu kepada Mr. Kim. Mereka juga tidak tahu kalau perempuan yang bersama Dyenn adalah Letty. “Dyenn tidak akan menyembunyikan sesuatu kecuali memang sangat penting baginya. Apalagi sampai mengganggu kerjaan. Apakah itu pacar Dyenn? Ah, biarlah bukan urusanku,” batin Mr. Kim yang sejak tadi masih memainkan sumpit di tangan kanannya. Mr. Kim mencoba tidak ikut campur dengan urusan Dyenn meski dia kesulitan juga kalau Dyenn mulai tidak tertib dalam bekerja. Dyenn adalah asisten pribadinya dan banyak pekerjaan yang Mr. Kim lakukan bersama Dyenn. Lelaki itu pun mulai menyuapkan makanan ke mulutnya perlahan dengan sumpit. Saat makan pun tidak tenang, lagi-lagi Mr. Kim memikirkan soal Letty. Mr. Kim pun memetakan sumpitnya dan segera meraih air mineral di gelas untuk diminum. Lelaki itu mengambil serbet dan mengelap pada bibirnya. “Kenapa perempuan itu menghindar? Bodyguard juga bilang kalau apartemennya kosong. Sebenarnya dia itu sengaja berbuat ini untuk kepentingan apa? Atau ... aku yang membuat kesalahan?” Mr. Kim meraup wajahnya dengan kasar, merasa bingung dengan hal ini karena kejadian sebulan yang lalu dengan Letty di apartemen itu adalah kesalahan terbesarnya. Mr. Kim melepaskan keperjakaan dan menemukan fakta kalau Letty juga melepaskan keperawanan di malam yang sama. Hal itu sungguh mengganggu benaknya karena Mr. Kim lelaki yang lurus, tidak pernah mempermainkan perempuan. Bahkan soal perjodohan dengan Hana oleh kedua orang tuanya pun, tidak serta merta membuat dirinya mempermainkan Hana. Mr. Kim secara terang-terangan mengatakan dari awal kalau tidak suka Hana dan tidak mungkin menikah dengannya. Hana pun menjawab kalau dia tidak suka dengan Mr. Kim dan sudah memiliki lelaki yang membuat dirinya jatuh cinta sejak pandangan pertama. Mr. Kim pun merasa lega dengan jawaban itu, jadi tidak ada yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Mr. Kim takut kalau melukai hati orang lain, apalagi orang yang dijodohkan ini adalah anak dari sahabat kedua orang tua Mr. Kim. “Pelayan, maaf sarapanku tidak habis. Permisi,” ucap Mr. Kim yang selalu sopan memperlakukan orang lain, tak terkecuali anak buahnya. “Baik, Tuan Kim.” Mr. Kim pun meninggalkan ruang makan dan berjalan ke ruang tengah. Saat ini kedua orang tuanya sedang ke luar negeri, jadi kadang Mr. Kim di rumah dan kadang di apartemen. Lelaki itu bebas tinggal di rumah atau apartemen dan bertanggung jawab dengan hidupnya. Tidak seenaknya menjalani hidup. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi, Mr. Kim sudah bersiap ke kantor didampingi oleh sopir pribadi dan juga bodyguardnya. Lelaki yang kaya raya itu jarang menyopir sendiri sejak kejadian beberapa bulan yang lalu ada yang menabrak mobilnya dengan sengaja dan mendorong hingga hampir terjatuh dari jembatan. Untung saja Mr. Kim dengan cekatan keluar dari mobilnya sesaat sebelum mobil itu terdorong sempurna dan jatuh dari atas jembatan. Pelaku itu segera kabur dengan mobilnya dan meninggalkan Mr. Kim di pinggir jalan yang segera ditolong oleh orang-orang yang berlalu lalang. Orang tua Mr. Kim khawatir dan menegaskan mulai detik itu Mr. Kim harus didampingi sopir. Namun soal bodyguard itu baru satu bulan ini karena ide dari Dyenn. Mr. Kim tahu saat ini ada orang-orang saingan yang melakukan hal buruk padanya, untuk menjatuhkan reputasi atau untuk memperingati dengan cara tersendiri. “Tuan Kim, maaf kami belum menemukan perempuan itu. Dari rekaman CCTV sekitar juga tidak menunjukkan perempuan itu keluar dari apartemen. Hanya saja tidak ada keterangan kemana perempuan itu pergi. Kami masih mencoba mencari dengan koordinasi menyeluruh,” kata bodyguard yang duduk di samping sopir yang mengemudikan mobil mewah tersebut. “Baik, usaha yang bagus. Tingkatkan lagi karena aku ingin bertemu perempuan bernama Letty itu. Kalian bisa mencari data dan asal usulnya,” jawab Mr. Kim dengan tenang. Memang tidak mudah mencari seseorang apalagi tidak mengenalnya sama sekali. “Baik, Tuan Kim.” Mr. Kim ingin tahu lebih banyak tentang Letty agar bisa memperkirakan ke mana perempuan itu pergi. Dia masih merasa bersalah atas kejadian itu. Dijebak atau tidak, Mr. Kim adalah lelaki yang bertanggung jawab, dalam lubuk hatinya meronta kalau seperti ini jadinya. Mobil pun melaju perlahan menuju ke kantor pusat di mana Mr. Kim mengelola usaha. Beberapa hari ke depan Dyenn libur, jadi semua pekerjaan murni dihandle Mr. Kim. Lelaki itu memberi kesempatan Dyenn menyelesaikan urusannya terlebih dahulu agar fokus ke depan lebih baik lagi. Dyenn sudah sampai di depan rumah Letty. Lelaki yang sudah mengenakan setelan jas karena niatnya tadi hendak ke kantor itu pun berbelanja terlebih dahulu dan hendak membawa kantong kertas belanjaannya ke dalam rumah. Dia menekan bel agar Letty membuka pintu gerbang. Beberapa saat kemudian, Letty mengenakan kaos oversize warna putih dan celana panjang training keluar membukakan pintu. Selalu saja wajah polos Letty membuat Dyenn makin jatuh hati. “Pagi, Dyenn ... silakan masuk,” kata Letty sambil tersenyum, meski menutupi rasa takut dan sedihnya. “Pagi, Letty. Ah, cukup segar di sini, meski malam begitu dingin. Udara di sini bagus.” Dyenn pun masuk ke dalam rumah setelah melepaskan sepatu. Dia segera ke dapur untuk meletakkan kantong belanjaannya. “Dyenn, tidak usah repot-repot. Kamu sudah mengeluarkan banyak biaya untuk deposit dan sewa rumah ini, pun.” Letty juga ke dapur dan merebus air untuk membuat minuman hangat. “Aku tidak repot, kok. Sebentar, aku buka jas dan dasi dulu. Agak tak nyaman dengan ini,” ucap Dyenn Yangs segera melepaskan jas dan juga dasinya dan meletakkan di ruangan tengah. Letty pun membuka isi dalam paper bag cokelat muda itu. Bahan-bahan makanan segar yang siap untuk dimasak, Dyenn membelikan yang bergizi dan berprotein tinggi untuk masa kehamilan. Dyenn masuk kembali ke dapur dan menatap wajah Letty dengan seksama. “Letty, kenapa matamu sembab?” “Ah, ini. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mungkin masih adaptasi di sini.” “Benarkah? Kamu menangis?” “Ah? Tidak. Hanya kurang tidur saja. Oh iya, terima kasih bahan makanannya. Aku mau mulai memasak sederhana. Kebetulan nasi sudah selesai aku tanak dengan rice cooker,” ucap Letty sambil tersenyum manis mengalihkan perhatian Dyenn perihal mata sembab. Letty dan Dyenn masak bersama. Memotong sayuran untuk sup, membuat lauk telur dadar gulung diisi potongan daun bawang, paprika, dan bawang Bombay cincang, dan membuat salmon panggang dengan teflon memanggangnya. Keduanya memasak dengan semangat sambil bercanda dan tertawa. Waktu rasanya terhenti saat Dyenn menatap wajah Letty yang tersenyum dan tertawa. Lelaki itu ingin mengukir indahnya hari bersama Letty hingga akhir waktu. “Awas! Nanti dadar gulungnya gosong kalau api terlalu besar,” kata Letty sambil mengamati apa yang Dyenn lakukan. Dyenn tersenyum dan bercanda, “Aku, kan, jago. Tidak mungkin gosong. Kamu itu lihat saja itu sup hampir luber.” “Eh, iya. Dyenn ... aku jadi ingat dahulu saat di panti. Menyenangkan bisa masak lagi denganmu,” ucap Letty membuat Dyenn menatap wajahnya tanpa berkedip. Dyenn rasanya ingin sekali mengecup bibir merah muda milik perempuan di hadapannya dan mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Namun tidak bisa dia lakukan. Bagaimana bisa dia melamar Letty kalau tahu jawabannya pasti tidak? “Dyenn ....” “Ya?” “Telurnya cepat digulung, nanti gosong!” “Ah? Oh, iya!” Dyenn langsung menggulung telur dadar tersebut. Dia terlalu banyak melamun ketika menatap wajah Letty, seakan tersihir dengan kecantikan sahabatnya itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah selesai memasak dan menghidangkan di meja kecil ruang tengah. Letty menyiapkan mangkuk berisi nasi, mangkuk kosong untuk makan sup, dan sumpit serta sendok sup sedangan Dyenn mengangkat tiga macam masakan dan meletakkan ke meja. “Mari makan!” seru Letty yang sudah merasa lapar. “Mari!” Dyenn tersenyum senang melihat Letty mau makan dengan lahap. Belum selesai makan bersama, baru beberapa suap masuk ke perut, Letty sudah merasakan mual luar biasa. Perempuan itu pun berlari menuju ke kamar mandi meninggalkan ruang tengah. Dyenn pun khawatir dengan Letty. “Hueek .... hueeek .... hueeek ....” Letty yang tadi terlihat segar dan ceria, tiba-tiba berubah menjadi pucat dan lemas. Semua makanan yang masuk di perutnya keluar karena rasa mual yang tak tertahankan. Dia berjongkok dan merasa sangat lemas setelah muntah. Apakah ini reaksi yang wajar bagi seorang perempuan yang hamil? “Letty ... kamu tidak apa-apa? Obat dari dokter mana? Kemarin kamu minum, tidak?” Dyenn mengucapkan pertanyaan bertubi-tubi karena rasa khawatirnya. “Aku ... aku tidak apa-apa. Hanya mual,” ucap Letty yang sudah tak tahan dengan tubuhnya yang jadi aneh seperti ini. Dia secara refleks mengusap perutnya perlahan. Dyenn terkejut melihat hal itu. “Ayo duduk di ruang tengah. Kamu minum hangat dulu, Letty,” kata Dyenn menolong Letty berdiri. Setelah di ruang tengah, Letty pun menatap Dyenn. Dyenn memberikan segelas minuman hangat ke Letty untuk diminum. Perlahan perempuan itu meminum teh hangat yang berada di gelas dalam genggaman tangannya. Setelah selesai minum, Letty meletakkan kembali gelas itu di meja dan kembali menatap Dyenn yang duduk di samping kirinya. “Dyenn ....” “Ya, Letty?” “Belakangan ini aku sering mual dan lemas, terutama pagi hari. Aku hamil, ya?” Dyenn terkejut mendengar pertanyaan dari Letty. “Hah? Em, entah. Jangan berpikir seperti itu.” “Dyenn ... kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” selidik Letty ingin tahu kenapa sahabatnya menyembunyikan surat dari dokter dan seolah-olah dirinya tidak hamil. “Letty, tenang dulu. Aku ....” Dyenn menghela nafas perlahan. Mau tidak mau, dia harus ungkapkan saat ini juga. Kepalang tanggung, Letty sudah curiga akan perubahan yang terjadi di tubuhnya. Atau karena hal lain? “Letty, maukah kamu menjadi istriku? Aku akan menjagamu selamanya.” Pertanyaan dari Dyenn justru membuat Letty bingung mau menjawab apa. Letty kira Dyenn akan menceritakan soal di klinik dan surat yang disembunyikan, tetapi ternyata lelaki itu memberikan respons yang berbeda. Letty masih terdiam belum bisa menjawab apa yang Dyenn ucapkan barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD