Merawat Janin Dalam Kandungan

2141 Words
Letty terdiam sesaat mendengar Dyenn mengatakan hal mengejutkan itu. Bagaimana mungkin dia bisa menerima lelaki yang selama ini sudah menjadi sahabat baik bahkan seperti saudara kandung bagi Letty? Letty sebenarnya bingung harus menjawab apa. “Dyenn ....” ujar Letty yang bingung dengan lirih. Dyenn tersenyum menatap Letty. “Maafkan aku. Aku sebenarnya ingin menyembunyikan surat itu dan menjagamu. Aku hanya takut ... aku takut kamu akan melakukan hal konyol kalau tahu kenyataan ini terjadi. Namun sepertinya ... aku sudah tahu jawaban dari perkataan yang baru saja aku ucapkan, jadi ... tak apa. Aku akan tetap menjagamu.” “Dyenn ... maaf, aku tidak mungkin menerima, apalagi posisiku saat ini sedang hamil. Dan ... pria itu ....” Letty merasa jijik dengan diri sendiri yang tidak bisa melindungi mahkota miliknya. Dia merasa tidak pantas bersama Dyenn yang selama ini sudah sangat baik terhadap dirinya. “Letty, jangan begitu. Lelaki itu yang harusnya merasa malu karena berbuat hal buruk dan tidak tanggung jawab. Letty, tenang. Aku akan selalu ada bersamamu,” kata Dyenn yang segera meraih tubuh Letty yang gemetar ketakutan itu ke dalam pelukannya. Letty pun meneteskan air mata. Merasa kalau dirinya sangat tak pantas mendapatkan semua perhatian ini. Bahkan dia sendiri tidak kenal dengan Mr. Kim dan bingung kenapa bisa kejadian itu terjadi. Apakah dia akan terus hidup dalam rasa kemelut ini? Saat ini Letty sudah tahu ada nyawa yang dititipkan di dalam rahimnya, meski tidak dalam kehendak dan keinginan dirinya. “Dyenn ... aku tidak mau dia tahu kalau semua kejadian seperti ini. Aku juga tidak mau dia kelak hidup di panti seperti aku. Aku hanya ingin merawat, melahirkan, dan membesarkan dia dengan sebaik mungkin,” kata Letty lirih dalam isak tangisnya. Tak kuat lagi dengan pemikiran yang di benaknya. Letty tak mungkin menemui lelaki itu dan tiba-tiba mengatakan dirinya hamil. Bagaimana kalau lelaki itu tidak percaya kalau anak yang saat ini berada dalam kandungan Letty adalah perbuatan Mr. Kim? Letty tidak mau janin di dalam rahimnya merasakan sesuatu yang disebut penolakan. Letty merasa kalau Mr. Kim belum tentu mau tanggung jawab jika Letty datang dan memberi tahu kalau dirinya saat ini hamil. Apalagi mereka berdua sama sekali tidak saling kenal dan juga kejadian yang terjadi itu sama sekali tidak diingat oleh Letty. Dyenn langsung memeluk tubuh perempuan yang gemetar dan sedang menangis. Dyenn mengusap lembut rambut Letty karena tahu perempuan itu menangis. Memang hal ini sangat berat untuk dijalani apalagi Dyenn tahu kalau Letty tidak mau bertemu dengan lelaki yang sudah menodainya, apalagi meminta pertanggungjawaban. “Aku tahu, Letty. Aku tahu. Kalau begitu ... menikahlah denganku. Aku akan menemani kamu dan juga calon bayi ini. Aku akan menyayangi dan menjaga kalian dengan sebaik mungkin,” kata Dyenn tulus dari hati. Namun tanggapan Letty berbeda. Letty menolak dengan halus Letty tidak mau kalau Dyenn menikahi dirinya hanya gara-gara kasihan. Dia tidak ingin Dyenn mengorbankan kehidupan yang sudah susah payah dibangun dengan bahagia hanya demi menjadi suami dari Letty yang tidak bisa menjaga diri dengan baik hingga hamil sebelum menikah. Bagi perempuan yang hamil sebelum menikah, saat seperti ini adalah hal yang sulit dan rumit. Ada rasa takut dan khawatir akan masa depan yang entah seperti apa karena tanggung jawab membesarkan dan merawat anak sendiri. Ada juga rasa bersalah dan malu, bagaimana anak dalam rahimnya kelak ketika menanyakan soal ayah. Letty takut akan hal itu, tetapi tidak bisa menerima Dyenn yang layak mendapatkan masa depan lebih baik. “Maaf, Dyenn ... aku tidak bisa. Cukup aku saja yang merasakan semua ini. Ini tanggung jawabku. Meski aku tidak ingat kejadian itu dan tidak kenal lelaki itu, aku akan menjaga dia,” tolak Letty pada tawaran Dyenn untuk mengajak menikah. “Kenapa, Letty? Apakah aku kurang tampan? Apakah aku kurang mapan? Kenapa kamu tidak mau?” tanya Dyenn dengan serius, tetapi justru hal itu membuat Letty tertawa. Letty mengusap air matanya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Dyenn yang masih memeluknya. Dyenn merenggangkan pelukannya dan menatap ke arah Letty. Keduanya saling pandang dengan jarak yang cukup dekat. Membuat jantung Dyenn berdegup kencang saat tahu wajahnya dan Letty hanya berjarak beberapa senti saja. Sangat dekat dan membuat lelaki itu salah tingkah. “Iya, kamu kurang tampan!” celetuk Letty sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Dyenn. “Benarkah? Aku kurang tampan? Atau karena ada hal lain? Coba jelaskan padaku,” ujar Dyenn sambil menaikkan satu alisnya dan tersenyum menatap Wajah Letty, serta memeluk erat kembali tubuh Letty. “Eh, lepas, Dyenn ... lepas ....” Letty mencoba melepaskan diri kembali. “Jawab dulu, aku kurang tampan? Itu jadi alasan kamu menolak ajakan untuk menikah denganku atau ada alasan lain?” desak Dyenn agar Letty mau menjawab hal yang sebenarnya. “Ampun, Dyenn ... Baiklah, kamu tampan. Itu hanya alasan. Aku hanya tak mau kamu menikah hanya karena kasihan denganku. Aku ingin kamu bahagia dengan masa depan lebih baik. Lepaskan, ini pengap,” jelas Letty dengan singkat dan kemudian Dyenn melepaskan pelukannya. “Kalau aku merasa bahagia denganmu dan tulus ingin mengajak menikah, bagaimana?” Dyenn belum menyerah dengan penolakan dari Letty. Dia masih berusaha meyakinkan Letty kalau perasaan yang dia rasakan itu benar-benar nyata. “Dyenn ... jangan bercanda. Aku masih sedih.” Dyenn pun tersenyum menatap Letty yang bukan terlihat sedih, melainkan salah tingkah karena pipi Letty juga mulai terlihat merah. Apakah Letty malu karena Dyenn melamar secara mendadak? Tidak romantis pula. Entah kenapa Dyenn melakukan hal itu padahal Letty menanyakan soal surat rujukan ke dokter kandungan. “Letty ... aku akan beri kamu waktu untuk memikirkan niat baik dariku. Aku pasti akan berusaha menjadi suami dan ayah terbaik,” kata Dyenn dengan mantap. Letty pun tersenyum. “Kamu selalu saja penuh percaya diri.” “Tentu. Daripada tidak percaya diri atau minder?” Dyenn pun tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. Sangat menggemaskan. Letty pun gemas dan mencubit pipi Dyenn. “Dasar!” “Aw! Sakit, Letty.” “Biarin! Kamu ini. Oh iya, kamu harus ke kantor, kan? Ini sudah pukul sembilan, nanti kamu terlambat,” ujar Letty yang menatap ke jam dinding. Dia tidak tahu kalau Dyenn mengambil libur. “Tenang saja. Aku sudah pamit pada bos dan diberi libur hingga Minggu untuk urusan pribadi. Jadi, tak perlu khawatir. Nanti kita bisa membeli perabotan yang diperlukan dan bahan makanan.” Dyenn pun mengusap kepala Letty seperti saat masih kecil, dia senang membuat rambut Letty berantakan. Bedanya saat ini, Dyenn mengusap dengan lembut. “Aku selalu merepotkan kamu, Dyenn. Maaf, ya.” “Tidak merepotkan. Aku memang suka denganmu dan aku juga senang bisa bertemu lagi denganmu.” Dyenn pun menyelesaikan sarapan yang tertunda, sedangkan Letty sudah tak sanggup untuk lanjut makan. Dia justru ingin makan daging dan buah segar. Mungkin ini yang dinamakan morning sick karena selalu mual dan muntah jika makan pagi. Letty bersyukur Dyenn memahami kondisinya, bahkan saat menolak halus soal pernikahan pun Dyenn tidak marah dan tetap tersenyum menatapnya. Dyenn memakan semua menu yang berada di atas meja, masakan yang dibuat tadi dengan lahap. Dalam hatinya merasa sedih kenapa Letty tidak mau menerima lamarannya. Apakah karena kurang romantis? Atau karena Letty mengira Dyenn mengajak menikah karena keadaannya hamil? Entahlah. Lelaki itu masih tak habis pikir kenapa Letty seperti itu padanya. Setelah selesai makan, Dyenn membereskan semuanya dan mencuci. Meski Letty sudah melarang Dyenn tetap melakukan karena khawatir kondisi Letty yang masih lemas. “Letty, aku sengaja menyembunyikan surat itu karena takut kamu akan melakukan hal nekat lagi. Bukan karena aku tidak mau jujur padamu. Maaf, ya. Lalu soal aku mengajak kamu menikah, itu hal nyata yang ingin aku lakukan. Meski kamu tidak mengalami hal ini pun, aku ingin menikah denganmu,” ucap Dyenn sambil membereskan peralatan makan yang sudah dia cuci di wastafel dapur. Letty tersenyum menatap Dyenn. Tidak ada sepatah katapun yang diucapkan. Mungkin Letty sendiri bingung harus berkata seperti apa menanggapi hal yang Dyenn lontarkan. Biar waktu yang nanti akan menjawab. Dyenn dengan sabar menanti Letty mau mengubah pikirannya dan menerima lamaran itu. Bukan hanya demi Letty, pun juga masa depan janin yang saat ini berada di dalam kandungan Letty. Dyenn bahkan tidak tahu siapa lelaki yang sudah membuat Letty seperti ini dan apa sebenarnya motif yang dilakukan lelaki itu. Waktu menjelang siang, Dyenn mengajak Letty pergi membeli beberapa perabot untuk digunakan di rumah sewa itu dan juga bahan makanan. Dyenn juga mengajak Letty memeriksakan kandungannya ke klinik spesialis kandungan. Letty tidak menolak karena dia juga ingin tahu kondisi kehamilannya. Dyenn menyetir mobil dengan perlahan dan sesekali melirik ke arah Letty. Letty bersyukur memiliki sahabat terbaik seperti Dyenn. Belum tentu orang lain akan sebaik Dyenn pada Letty dengan kondisi hamil dan memiliki permasalahan rumit. “Dyenn ... terima kasih, ya.” “He he he ... Letty, sudahlah. Kamu mengatakan terima kasih sampai puluhan kali. Aku tulus membantumu.” “Dyenn, apakah ada perempuan yang dekat denganmu? Aku takut kalau nanti ada yang cemburu, padahal kita tidak ada apa-apa,” tanya Letty memastikan. Saat ini kondisi Letty sudah rumit, dia tidak ingin menambah hal rumit dengan salah paham. “Tidak ada, tenang saja. Kalau aku punya kekasih, jelas sudah dimaki-maki sejak sebulan yang lalu aku sering menghabiskan waktu denganmu, bukan? Tenang saja.” Jawaban dari Dyenn setidaknya membuat Letty tenang, meski tetap merasa tak enak sudah menyusahkan. Setidaknya Dyenn tidak akan kena masalah kalau belum memiliki kekasih. Perempuan yang cemburu itu adalah hal berbahaya. “Dyenn, sekarang kita mau ke mana?” “Kita membeli perabotan dulu. Kamu di rumah itu membutuhkan kulkas, kursi, dan alat dapur. Tempat itu cukup tenang dan aman untukmu. Aku harap, kamu tidak keberatan kalau selama hamil jangan bekerja. Biar aku yang bekerja untukmu. Jujur saja aku khawatir dan tidak habis pikir kenapa lelaki itu bisa menemukan kamu. Jadi, aku pikir lebih baik tinggal di sini, lebih aman.” “Dyenn, di sini terlalu jauh dengan kantormu. Kalau kamu mondar-mandir terus, aku justru khawatir kamu akan sakit.” “Hmm ... kalau kamu mengkhawatirkan aku, bagaimana kalau kita menikah? Hidup denganku di apartemen kota. Pasti akan baik-baik saja. Bagaimana?” Dyenn kembali mencari celah pada Letty. Letty justru tertawa. “Kenapa kamu menanyakan hal ini lagi? Dyenn ... aku tidak bisa. Oh iya, kamu libur sampai Minggu? Kalau begitu apakah ada kegiatan?” Letty mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kegiatan? Ya ini, kegiatanku. Menemani kamu.” Senyum khas Dyenn mengembang di wajahnya. Tidak pernah terlihat sedih atau lelah. Seperti itulah Dyenn. Letty tahu kalau ada banyak rasa yang disembunyikan di balik senyum itu. Mereka berdua pun pergi membeli semua barang dan bahan makanan yang ada dalam list. Untuk perabotan rumah tangga akan dikirim ke alamat sore nanti, sedangkan bahan makanan sudah berada di bagasi mobil. Dyenn pun mengajak Letty untuk ke klinik spesialis kandungan sebelum makan siang. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Keduanya sudah sampai di sebuah klinik spesialis kandungan. Dyenn pun menggandeng Letty yang terlihat lelah. Sepanjang perjalanan, Letty sudah tidak begitu mual karena minum s**u yoghurt stroberi. Dyenn merasa tenang, setidaknya Letty tidak muntah lagi. “Nyonya Letty,” panggil petugas klinik untuk masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Letty pun masuk ke dalam didampingi oleh Dyenn. Dyenn sengaja ikut masuk ke ruangan untuk mengetahui kondisi Letty saat ini, apalagi Letty kondisinya mual dan lemas setiap pagi. “Silakan duduk, Nyonya Letty dan suami,” kata dokter yang tidak tahu kalau Dyenn bukan suami Letty. “Eh, maaf, Dokter. Ini bukan suamiku.” “Oh, maaf Tuan, maaf Nyonya Letty. Silakan berbaring di sini, saya akan periksa.” Dokter pun menyiapkan alat USG untuk memeriksa kandungan Letty. Dyenn merasa jantungnya berdebar lebih kencang karena melihat perempuan yang dia cintai hamil, meski bukan perbuatannya, tetapi Dyenn merasa ingin selalu menjaga Letty. Letty pun merasa gugup saat dokter mengoleskan gel ke bagian perutnya untuk mulai pemeriksaan. Alat yang ditempelkan begitu dingin membuat Letty terkejut. “Nah, bagian ini adalah janin yang masih berusia sekitar empat minggu. Ini yang berkedip adalah jantungnya.” Dokter menjelaskan sambil menggeser-geser alat USG di perut Letty. Melihat hal itu membuat Letty merasa terharu, sekaligus sedih. Dia tidak menyangka akan ada kehidupan lain di dalam tubuhnya, meski tidak dalam kehendaknya. Letty meneteskan air mata, tak kuasa melihat janin yang baru berusia empat minggu ternyata sudah memiliki kehidupan dan detak jantungnya terlihat berkedip-kedip. Masih seukuran kacang merah dengan kedipan jantungnya terlihat jelas, tetapi janin itu membuat Letty merasakan hal yang luar biasa. Entah harus senang atau sedih? Banyak hal yang membuat Letty bergejolak di benak karena dia saat ini tidak bisa mengatakan pada lelaki yang membuat dirinya mengandung. Menjadi ibu tunggal dengan pilihan tetap merawat dan membesarkan janin dalam rahimnya adalah sebuah pilihan yang sulit. Pasti banyak orang yang akan menghina dirinya karena tidak memiliki suami, tetapi Letty sudah memantapkan hati untuk merawat janinnya. Letty tidak menerima Dyenn sebagai suaminya karena tidak mau sahabatnya ikut merasakan semua hal ini. Hal yang rumit bagi Letty, padahal Dyenn sejak lama menyukai Letty dan memang berharap bisa bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD