Keluarga Bahagia

1257 Words
"Tumben Papi kesini?" Tanya Liam pada Papinya yang sedang berkunjung. "Bosen aja dirumah. Papi pikir setelah pensiun dan menyerahkan posisi direktur utama ke kamu tak lantas membuat Papi senang, malah membuat Papi bosan." "Ya, kalau bosan ya kerja lagi aja, Pi. Tanggung jawab Liam juga berkurang." "Enggak ... Mamimu bisa ngamuk. Takut penyakit jantung Papi kumat. Lagian setidaknya, saat ini Papi bisa berkebun dan main dengan cucu-cucu Papi," tukasnya dengan meniup teh hijau yang masih mengepulkan asap. "Nah ... itu Papi punya kebiasaan baru. Dinikmatin, Pi. Uda waktunya santai lagian Papi juga bisa undang kolega-kolega Papi buat main golf dan berkuda di arena milik Papi," nasehat Liam. "Kamu tenang aja, pastinya Papi menikmati hidup," balasnya santai. "Tinggal mantau kamu, meskipun kamu uda jadi wakil Papi selama 8 tahun dan banyak terobosan dan kemajuan yang kamu buat, tapi tetep Papi pantau," tukas Bratawirya. Liam yang sibuk dengan laptopnya, menyunggingkan segaris senyum tipis mendengar jawaban Papinya karena Liam tahu betul, Papinya membangun perusahaan ini dari nol dengan perjuangan dan tetesan keringat yang tak sedikit. Jika diibaratkan, perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan dan kosmetik ini seperti anak ketiga Papinya. *** Panas yang terik tak membuat pria dengan manik mata coklat gelap dan rahang tegas yang kadar ketampanannya maksimal itu mengurungkan langkahnya untuk menuju Restoran di Jakarta Pusat. Turun dari mobilnya, Liam merapikan jasnya dan bergerak memasuki Restoran. Seorang pelayan menyapanya ramah, juga menanyakan apakah Liam sudah reservasi apa belum. "Di sebelah sini, Tuan." Pelayan tersebut menunjukan arah suatu ruangan setelah Liam mengatakan sudah membuat reservasi atas nama Mr. Ryuzaki. Tiba di ruangan private, Liam dan asistennya sudah disambut oleh Mr. Ryuzaki dengan ramah. Mereka saling berjabat tangan dan tersenyum hangat selanjutnya duduk di kursi masing-masing. "Maaf saya datang terlambat," ucap Liam. "Tidak terlambat, hanya saja saya yang datang lebih awal," jawab Mr. Ryuzaki dengan ramah. Meskipun beliau berasal dari negeri sakura, tapi Mr. Ryuzaki fasih berbahasa Indonesia karena pernah tinggal beberapa tahun di Indonesia. Selanjutnya pelayan datang dan membawa buku menu, mereka memilih beberapa menu yang ada dan selanjutnya pelayan tadi undur diri untuk menyiapkan apa yang telah dicatatnya. "Jadi apa yang membuat anda hingga membuat janji dengan saya?" Tembak Liam langsung pada intinya karena Liam tak suka berbasa-basi untuk masalah bisnis, apalagi membuang waktunya. Menampilkan segaris senyum, Mr. Ryuzaki menjawab dengan tenang, "Tentu ada hal yang menarik jika saya mengajak seseorang bertemu." "Kukira, Anda sedang tertarik dengan produk baru kami tentang ikan laut segar dan beku." "Saya kagum dengan tebakan, Anda. Baiklah, saya tidak ingin berbasa-basi. Sebelumnya saya sudah bekerja sama dengan perusahan lain untuk menyediakan beberapa ikan yang dibekukan namun tetap kekurangan. Saya tertarik dengan produk dari Golden Group Enterprise." Pembicaraan mereka berlanjut dengan kesepakatan yang saling menguntungkan. Dan akan melakukan pertemuan lagi untuk tanda tangan kontrak yang telah mereka sepakati secara singkat. Sejurus itu, pelayan datang membawa makanan yang telah dipesan sebelumnya. *** Waktu bergerak cepat hingga tak terasa mengantarkan Liam pada langit yang menampilkan warna jingga dengan sedikit menyisakan rona kemerahan. Liam mengemudikan mobilnya menuju pinggiran Jakarta menuju rumah orang tuanya. Meskipun keluarga Liam merupakan keluarga konglomerat, tapi mereka memilih tinggal di pinggiran Jakarta karena dulunya keluarga Brata ingin membangun rumah yang luas dan besar dilengkapi dengan segala fasilitas yang menunjang olahraga termasuk arena berkuda, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya. Selain itu terdapat jalan-jalan beraspal untuk menuju ke setiap tempat tersebut. Mereka juga memiliki helikopter pribadi yang berada di belakang rumah yang bisa diterbangkan kapan saja jika ada kondisi darurat. Dan jangan lupakan, banyak pelayan, penjaga keamanan, dan CCTV di setiap sudut untuk meminimalisir hal yang tidak diinginkan. Setelah satu jam membelah jalanan, Liam sampai di rumah orang tuanya yang langsung disambut pekikan dari putra kesayangannya, siapa lagi kalau bukan Kiano. "Daddy," teriaknya dengan berlari menuju ayahnya. "Haloo sayang," jawab Liam dilanjutkan dengan menggendong dan mencium pipi gembil Kiano. Kiano yang geli dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di rahang Liam, tertawa geli dan menjauhkan muka dari Liam. "Daddy, geli," ucapnya dengan menyentuh dagu Liam agar tak mencumi wajahnya. Mengedarkan pandangannya pada rumah bergaya Eropa dengan banyak kaca, Liam berkata, "Daddy kangen. Mommy mana?" "Mami ... macak di dapul," jawab Kiano dengan cadel. "Kiano gak bantuin Mommy?" "Enggak, gak boleh," jawab Kiano polos dan Liam tersenyum melihat itu. "Masuk dulu, Bang," sahut Mami Liam yang berjalan menuju kearahnya. "Iya, Mi. Ayyana mana? "Tuh di dapur," jawab Mami sambil menghampiri Kiano. "Sini sama Oma. Biar Daddy mandi dulu." Tak menjawab, Kiano menyambut uluran tangan Oma dan berjalan menuju ruang keluarga. Dan diikuti Liam menuju dapur mencari istri mungilnya dan mengkode Surti yang berada disebelahnya untuk undur diri. "Masak apa, Sayang?" Ayyana hampir memekik akibat pelukan dari belakang dan bisikan Liam yang membuatnya meremang. Tak berkata apapun, Ayyana langsung mencubit hidung Liam dengan gemas. "Nakal," jawab Ayyana. Sedang Liam hanya terkekeh karena kekesalan istrinya. "Wajar donk nakal sama istri. Daripada aku nakal sama yang lain?" "Aku tendang kalau sama yang lain." " Beneran? Ih ... aku takut, Ma," goda Liam sambil terkekeh. "Uda dong, Mas. Malu diliatin Surti." "Surti mana?" Goda Liam sambil menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istri mungilnya. Sesaat Ayyana menoleh, dan benar saja Surti sudah tidak ada disebelahnya. Mematikan kompor sejenak, Ayyana meminta suaminya untuk mandi namun ditolak oleh suaminya karena dia ingin dimandikan Ayyana. Mendengar rajukan suaminya, Ayyana hanya mengembuskan napas kasar. "Yuk ... Ayyana mandiin, Mas," ajak Ayyana menyetujui suami. "Sekalian quickie ya, Sayang?" Ucapnya yang disertai kerlingan jahil. Ayyana tak menjawab, hanya berjalan menuju kamar mandi yang berada di kamar suaminya semasa masih bujang. Satu jam berlalu, hingga waktu menunjukan pukul setengah tujuh malam. Adik Liam yang mengajak bermain putrinya dan Kiano hanya geleng-geleng kepala. "Kurang lama ngekepinnya, Bang. Besok lagi sampe pagi, Kiano kalo nangis biar sampe pingsan dulu baru kalian keluar," sindir Rayya telak yang membuat pipi Ayyana bersemu merah. "Tatonya juga bagus, Mbak," lagi, sindiran Rayya. Liam terkekeh pelan. "Kayak kamu enggak aja," jawab Liam yang dihadiahi cubitan keras oleh Ayyana di perut Liam sehingga Liam mengaduh kesakitan. "Yeee ... gak sampe gila juga kali, nunggu anak bobok dulu biar gak ganggu." "Maka dari itu, disini ada kamu sama Mami. Abang bisa nitipin Kiano kan? Kalo di rumah jelas Kiano ngebuntutin Maminya. Mau peluk aja dsuruh pergi." "Sudah-sudah ... ayo makan malam dulu. Uda ditunggu Papi di ruang makan," sahut Mami yang masuk ruang keluarga. "Iya, Mi," jawab Ayyana sopan dan menuju ruang makan. Ayyana cukup sungkan karena tidak ikut menyiapkan makanan di meja, sebagai menantu ia tak ingin dianggap wanita pemalas. Padahal Mami Liam tak pernah menyinggung soal ini. Tapi sebagai menantu dia cukup tahu diri apalagi Ayyana dari kalangan orang biasa. *** "Loh ... kalian gak nginep?" Tanya Papi yang sedang duduk santai melihat cucu-cucunya berlarian. "Enggak, Pi. Besok pagi Mas Liam mau ke Surabaya. Ayyana belum siapin keperluannya," jawab Ayyana sopan. "Iya, hati-hati kalau gitu. Nanti Papi sampaikan ke Mami. Mami uda tidur katanya agak pusing," ujar Brata dengan hangat. "Iya, Pi. Makasih makan malamnya. Ayyana sama Mas Liam pulang dulu," pamit Ayyana dengan sopan dan mencium tangan Ayah mertua yang diseganinya. "Sayang, yuk cium tangan dulu sama Opa," ajak Ayyana seraya menggandeng Kiano. Tak lama kemudian mereka bertiga pulang dengan ditemani sopir yang berada di kursi kemudi, sedang Liam dan Ayyana duduk di kursi penumpang dengan Kiano yang duduk di pangkuan Ayyana sambil memegang dotnya setelah seharian bermain dengan Mecka sepupunya. Setelah membelah kemacetan Ibukota di malam hari, mereka sampai di perumahan elit yang menjadi tempat tinggal mereka. Namun ketika akan memasuki jalan perumahannya, tampak keramaian dan ada mobil-mobil mewah yang berjejer rapi yang sebelumnya tidak ada. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD