bc

I'm Not Rapunzel

book_age18+
6.9K
FOLLOW
82.4K
READ
murder
dark
possessive
dominant
billionairess
tragedy
genius
royal
enimies to lovers
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Yarasya Megando melarikan diri dari rumahnya karena tak tahan dengan siksaan yang selalu ia terima dari kedua kakak tirinya. Yara ingin bebas dan hidup tenang tanpa ada penyiksaan. Namun, hal tersebut  justru membuatnya masuk ke dalam kehidupan pria berdarah dingin yang tidak segan membunuh atau memusnahkan siapa pun yang mengganggunya. Pria yang memperlakukan Yara seperti tawanan. Pria yang tak segan mengurung Yara di dalam kandang binatang buas hanya untuk melatih mental lemah Yara. Pria dingin yang tidak pernah tersenyum dari awal hingga menuju ending cerita. Juga, pria yang mencintai Yara dengan cara yang berbeda. Dia, adalah Aldrich Syegavano yang akibat trauma masa kecil membuatnya terlalu jijik bersentuhan dengan wanita sampai akhirnya ia bertemu Yarasya Megando.

chap-preview
Free preview
Bab 1
                          CAMBUKAN kasar diiringi ringisan kesakitan dari seorang gadis terdengar beradu di dalam ruang kosong yang terletak di belakang rumah. Sosok gadis bernama Jena terus mencambuk tubuh putih nan mulus yang kini sudah ternoda darah merah dari seorang gadis bernama Yarasya Megando.  "Rasakan itu pemalas. Cepat masakan rapikan rumahku dan jangan sampai ada kotoran sedikit pun," perintah Jena seraya menyeringai tajam. Setelah itu ia berbalik pergi meninggalkan Yara yang tergeletak di lantai dengan air mata yang mengalir di pipinya.  Seluruh tubuhnya terasa sakit akibat cambukan dari kakak tirinya hanya karena ia terlambat bangun lima menit. Ini sudah menjadi kebiasaan Jena dan Sarah yang selalu menyiksa Yara baik secara verbal atai fisik.  "Yara!"  Suara teriakan nyaring Sarah membuat Yara tersentak kaget. Terburu-buru gadis malang itu melangkah menuju ruang makan yang berada tidak jauh dari tempatnya saat ini berada.  "Kau terlalu lama hanya untuk berjalan!" bentak Sarah kesal. Sarah dengan geram menarik rambut Yara dengan keras membuat gadis itu kesakitan.  "Ampun, Kak." Yara memohon agar Sarah melepaskan tarikan, membuat Sarah  semakin memperkuat tarikan tersebut  "Dasar gadis bodoh! Sekali lagi kau membuat aku berteriak memanggil namamu, akan aku buat kepalamu menjadi botak," ancam Sarah tidak main-main.  Sarah melepaskan dengan kasar rambut Yara sehingga membuat gadis itu jatuh terduduk di lantai. "Cepat bersihkan rumah ini sampai benar-benar bersih. Karena kau tahu mengapa?" Sarah menyeringai menatap Yara dengan jijik. "Karena kekasih Jena yang tak lain adalah anak dari wali kota akan berkunjung," jelasnya dengan angkuh.  Tatapannya beralih pada Jena yang masih memperhatikan mereka dengan tangan terlipat di d**a. "Benar begitu, Jena?"  "Tentu saja benar. Karena aku hanya cocok menjalin kasih dengan pria yang memiliki status tinggi." Jena menyeringai menatap Yara jijik. "Memangnya dia yang hanya akan mendapatkan pria dari kelas bawah?" imbuhnya.  Sarah tertawa kecil kemudian berujar, "iya, jika dia memiliki kesempatan untuk menikah."  "Tentu saja tidak akan pernah. Karena dia akan selamanya berada dalam genggaman kita," ujar Jena menyetujui. "Ya sudah mari kita pergi dan tinggalkan gadis bodoh ini di sini," ujarnya yang disetujui Sarah.  Yara menatap kepergian kedua kakak tirinya dengan air mata yang mengalir deras di pipi mulus bak porselen tersebut.  Menghapus air matanya,  gadis cantik bertubuh mungil itu berjalan pelan menghampiri meja makan dan menghela napas berat melihat meja makan yang berantakan. Tatapan gadis cantik itu beralih menatap piring kosong di atas meja sedangkan isinya sengaja di taburkan dua orang kakaknya di lantai.  Yara tersenyum miris karena seperti biasanya ia hanya akan makan nasi tanpa lauk sedangkan bahan makanan di dalam kulkas tidak bisa ia sentuh tanpa diketahui Jena dan Sarah.  Kedua gadis iblis itu akan mengamuk jika tahu Yara memasak bahan di kulkas untuk dirinya sendiri.  Yara tahu ini adalah jenis penyiksaan yang akan ia terima setiap harinya. Tidak hanya fisik tapi juga mentalnya selalu di siksa Jena dan Sarah. Hal tersebut berlangsung saat ia berusia 13 tahun sampai saat ini ia berusia 19 tahun.  Tidak ada pendidikan formal baginya sejak ia berusia 13 tahun di mana usia itu sang ayah meninggalkannya untuk selamanya.  Usai membersihkan tempat makan dan dapur, Yara beralih membersihkan rumah dan mencuci pakaian milik Jena serta Sarah.  Gadis  cantik itu tidak mengeluh tentang hidup karena setiap detik dalam hembusan napasnya ia selalu bersyukur akan karunia Tuhan untuk dirinya. Menatap sekeliling ruangan yang sudah rapi dan tidak terlihat kotoran sedikit pun, Yara akhirnya menghela napas lega karena setelah ini ia bisa masuk ke dalam ruang rahasia yang tersembunyi di balik tembok tepat di tempat ia menjemur baju.  Ruang rahasia berisi buku-buku pelajaran atau bisnis lengkap di dalamnya membuat Yara yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal harus belajar otodidak agar ia tidak akan bodoh seumur hidupnya.  Selama ini tidak ada yang tahu ruang rahasia ini selain ia dan orang tuanya, karena  Jena dan Sarah tidak akan pernah menyadari adanya ruang tersebut.  Terlebih lagi di dalam ruangan bukan hanya berisi buku pelajaran dan bisnis tapi juga buku-buku kedokteran juga lengkap.  Selama beberapa jam Yara membaca beberapa buku di tangannya hingga ia tersentak ketika mendengar suara alarm yang berasal dari lampu ruangan yang berkedip. Cepat-cepat Yara bangkit meletakkan buku di atas lantai dan berjalan keluar sambil berpikir kedatangan kakaknya yang lebih cepat dari biasanya.  Saat ini jam masih menunjukkan pukul 3 sore dan biasanya Jena dan Sarah akan tiba di rumah ketika tengah malam.  "Yara!"  "Iya, Kak?"  Jena menatap tajam Yara kemudian tanpa kata, ia menyerahkan plastik di tangannya dengan kasar pada Yara membuat gadis itu sedikit gelagapan. "Kau masak semua ini dan pastikan rasanya harus enak. Iika tidak--" Jena menyeringai menatap Yara dengan pandangan merendahkan. "Aku akan menggulitimu dan membakar kulit jelek ini hingga menjadi abu. Paham?" sentaknya dengan ancaman menyeramkan.  Yara dengan takut mengangguk sementara tubuhnya bergetar ketakutan akan ancaman Jena. Yara tahu jika Jena tidak pernah  main-main dengan ancamannya.  "Dasar bodoh!"  Tanpa perasaan usai mendorong kepala Yara ke belakang, Jena melangkah pergi dengan santai seolah ia tidak pernah melakukan perbuatan tercela meninggalkan Yara yang pasrah menerima nasib.                              Yara tak bisa membantu tapi menghela napas lelah karena tubuhnya dipaksa untuk bekerja satu hari penuh seperti ini.  Mengusap peluh di dahinya, gadis cantik itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang terletak di sudut ruangan tak jauh dari kamarnya.  Sementara itu di ruang utama, Jena tengah menerima tamu dari pihak calon suaminya yang terdiri dari ibu dan pria yang menjadi kekasihnya beberapa bulan  lalu. Pria bernama Ernest itu menatap sang kekasih dengan mata yang bersinar penuh kekaguman. "Kau cantik sekali malam ini," puji Ernest tersenyum lebar, membuat Jena menunduk dengan rona merah yang menghiasi wajahnya.  "Tentu saja aku harus mendapatkan menantu yang cantik dan berpendidikan," celetuk ibu Ernest arogan. "Terima kasih, Nyonya. Kau terlihat sangat cantik jika terlihat dari jarak sedekat ini," puji Jena terlihat tulus. Sementara senyumannya memancarkan aura keanggunan dan kelembutan yang sudah ia latih sejak kecil.  Emma mendengkus dan mengangguk angkuh. Tipikal orang kaya yang menganggap rendah orang lain.  "Rumah kalian bagus juga," komentar Emma sembari memerhatikan keadaan rumah.  Terlihat beberapa furniture berkelas di mulai dari almari, sofa, dan beberapa lukisan terkenal seperti Davincy, Monalisa, serta beberapa lukisan yang tidak di kenal oleh Emma terpajang di ruang tamu.  "Iya, Nyonya. Itu adalah koleksi ayahku ketika beliau masih hidup." Jena menghela napas sedih seolah mengingat almarhum orang tuanya adalah sesuatu yang menyakitkan. "Aku masih menyimpan koleksi beliau karena aku tidak ingin menghilangkan kenangan dari ayah."  Padahal sebenarnya ia sangat menyayangkan jika harus menjual atau meletakkan lukisan tersebut di dalam gudang. Jelas itu karena harga lukisan tersebut sangat mahal sekaligus untuk memamerkan koleksi mahal pada tamu yang datang.  Emma mengangguk angkuh. Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah yang terlihat sepi.  "Kau tinggal sendiri di rumah ini?" tanyanya disambut senyum kecil Jena.  "Tidak, Nyonya. Aku tinggal berdua dengan adikku dan dia mungkin masih di dapur untuk membuat makan malam."  Tak lama berselang, Sarah keluar dengan apron merah yang terpasang di tubuh tingginya. "Jena,  makan malam sudah siap," ujar Sarah memberitahu. Kemudian Sarah tersenyum menatap Emma dan membungkuk tubuhnya sopan.  "Selamat malam, Nyonya. Perkenalkan aku Sarah, adik Jena. Senang bertemu denganmu," ujarnya memperkenalkan diri. Gadis itu menunjukkan sikap sopan dan terhormat yang sangat disukai Emma. Emma memang terlalu gila akan rasa hormat dan dia akan cemberut tidak suka ketika seseorang yang memiliki status lebih rendah darinya tidak menunjuk rasa hormat padanya.  "Kau sangat bagus dalam bersikap. Kelak jika kau mempertahankan sikap ini, aku bisa menjodohkanmu dengan anak dari salah satu temanku," ucap Emma angkuh. Emma memiliki banyak teman sosialita yang berasal dari kalangan atas. Tidak akan sulit baginya untuk menemukan seorang pria kaya. "Terima kasih, Nyonya."  Sarah sekali lagi mengangguk kemudian meminta mereka semua yang berada di ruang tamu untuk menuju ruang makan.  Emma dan Ernest mengikuti arah yang ditunjuk kedua bersaudari itu sembari memperhatikan keadaan dan interior rumah yang memang berkelas.  "Mengapa kalian tidak memiliki asisten rumah tangga?" Emma bertanya heran tanpa melirik Jena yang melangkah di belakangnya.  "Kami sudah terbiasa hidup mandiri sedari kecil dan yah--" Jena mengangkat bahunya dengan senyum pasrah. "Kami membersihkan rumah dan memasak dengan membagi tugas masing-masing," imbuhnya membuat Emma mengangguk paham.  "Bagaimana, Mom? Bukankah ini yang dinamakan menantu idaman?" bisik Ernest pada ibunya. Matanya melirik Jena dengan senang.  "Tentu saja ini salah satu kriteria menantu idaman mom selain harus berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga kaya," sahut Emma acuh tak acuh.  Sampainya di ruang makan, Sarah dengan cepat menarik kursi untuk Emma duduk dan Ernest memperlakukan hal yang sama pada Jena.  Emma memandang hidangan yang tersedia di atas meja dan mengangguk puas dengan hidangan mewah yang tersaji. Mengambil sendok dan garpu, Emma dengan santai mencicipi satu persatu makanan di dalam piring dan sekali lagi wanita paruh baya itu tersenyum puas dengan rasa yang sangat pas di lidah.  "Ini sangat nikmat," pujinya tulus. "Dari mana kalian bisa memiliki keahlian memasak ini?" tanyanya penasaran.  Jena mengisi setiap piring orang-orang di dalam ruangan sambil menjawab, "kami belajar otodidak di internet dan meski hasilnya tidak seenak di restoran tapi ini yang biasa kami makan. Karena tidak ada pilihan lain. Nyonya, kau tahu seenak apa pun makanan di luar rumah lebih enak masakan sendiri." Jena tersenyum lembut berusaha merendahkan dirinya agar sang calon mertua bisa memiliki nilai plus untuk dirinya.  "Selain itu, jika kita memasak sendiri kita akan tahu kebersihannya," sambung Sarah dengan wajah berseri-seri. Dirinya merasa besar kepala karena masakan Yara yang ia akui sebagai milik mereka di puji oleh wanita berkelas semacam Emma.  Mereka memulai santapan malam  dengan keadaan hening karena memang itu merupakan kebiasaan dari Emma, ibu Ernest.  Semantara Yara yang berada di kamarnya dengan hati-hati melangkah keluar sembari mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan agar tidak ada yang melihatnya.  Yara berniat pergi ke bagian tempat menjemur pakaian untuk mengambil selimut yang ia jemur dan lupa untuk di angkat. Jangan salahkan Yara yang ceroboh, tapi salahkan saja dua kakak beradik yang membuatnya repot hingga lupa akan jemurannya.  Usai mengambil beberapa helai pakaian dan selimut miliknya, Yara bergegas dengan berhati-hati agar tidak ada yang melihatnya.  Sosok Yara dengan cepat menghilang di bawah tatapan seseorang yang memang menyadari kehadiran Yara sejak awal.  Sosok tersebut menyeringai dan berbalik pergi meninggalkan keheningan malam dengan suara Jena yang masih berbincang usai menyantap makan malam bersama Ernest, Emma, dan Sarah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K
bc

A Secret Proposal

read
376.3K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Bastard My Ex Husband

read
382.9K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
569.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook