4.

2169 Words
Bell POV Semua murid satu sekolah datang ngerumuniku yang masih diam terpaku bak patung. Ada yang memberi selamat ada juga yang bertanya-tanya, apa hubunganku dan Arsen sebenarnya, padahal selama ini seluruh siswa di sekolah tau, kalau aku dan dia tidak pernah bertegur sapa ataupun memiliki hubungan baik-baik. Kita selalu seperti musuh. Aku tidak menyukai kesombongannya dan dia sepertinya tidak menyukai sifat bossy-ku. Kalau begini, jadi aku yang malu. Benar-benar merasa dipermalukan. Bagai m******t ludahku sendiri. Aku yang selalu menjelek-jelekkannya, kini menjadi kekasihnya. Ketiga temanku itu pun segera menarik tanganku keluar dari kerumunan. "Wawancaranya besok aja ya! Sekarang kita mau minjam Bell dulu!" pamit Daffa pada yang lain, sedangkan Jerry dan Romeo menarikku ke ruang kosong dekat gudang sekolah. Aku tidak menghiraukan ucapan Jerry dan Romeo karena terlalu larut dalam hipotesisku. Mungkinkah semua ini menjadi kesempatannya untuk mempermalukanku? Atau dia diam-diam menyukaiku? Kalau yang terjadi adalah hipotesis kedua, maka itu adalah hal yang sangat tak terbayangkan sekaligus menggelikan. "Errghh..." erangku kegelian karena membayangkan seseorang seperti Arsen menyukaiku. Bukankah ia seperti psycho jika seperti itu? Menyukai secara diam-diam, terobsesi, dan aku justru masuk ke perangkapnya sebelum ia membuat perangkap. "Lo sebenarnya dengerin kita ga sih?!" kesal Jerry yang menyadarkanku dari hipotesis terhadap penerimaan pernyataan cinta oleh Arsen. "Sorry.. Sorry. Kalian ngomong apa tadi?" tanyaku menatap mereka bergantian. "Maaf gara-gara gue ama si o'on ini lo jadi kayak gini. Gue itu awalnya yakin banget kalo lo bakal ditolak. Tapi malah diterima.." ucap Daffa merangkul Jerry yang kebingungan dengan panggilan "Si O'on" yang dimaksudkan oleh Daffa. "Ya gue juga nyangkanya gitu.." jawabku. "Si O'on siapa Daf?" tanyanya yang langsung mendapatkan jitakan dari Romeo. "Ya, lo lah. Siapa lagi?" jawab Romeo tetap menjitak sekaligus mengketeki Jerry. "Duh... Duh.. Duh.." keluh Jerry sambil berusaha melepaskan diri dari jepitan Romeo. "Udah, Yo. Kasian.." leraiku. Biasanya aku akan tertawa dan ikut menjahili Jerry. Tapi untuk saat ini, aku masih tidak bisa melepaskan pikiranku dari alasan mengapa dia menerimaku. "Tumben, lo bela gue.." ucap Jerry sambil merapikan seragam dan rambutnya. "Bersyukur lo. Malah begitu. Hu!" sahut Daffa seakan-akan melayangkan bogem kepada Jerry. "Aneh ga sih dia nerima terus sikapnya kayak tadi?" tanyaku tanpa melihat mereka. Dugaan-dugaan dan hipotesis tadi kembali memenuhi ruang pikiran dan imajinasiku. "Aneh." jawab Romeo singkat. "Iya aneh. Masalah dia segala pake skinship kayak gitu. Kayaknya mau ngerjain lo deh.." terang Daffa yang memberikan pencerahan dalam hipotesisku. "Hmm.. Masuk akal. Tapi bisa aja dia emang suka sama Bell." ucap Jerry yang juga sedang menerka-nerka. "Ga gantle lah. Kalau suka bilang, bukan tiba-tiba kayak gitu.. " cela Romeo. "Gimana mau bilang, Bell aja kayak singa betina lagi hamil. Dikit-dikit marah.." gumam Daffa yang masih dapat kudengar dengan jelas. "Wah parah Bell, lo dikatain.." ucap Jerry berusaha memanas-manasiku. "Ha!! Udah-udah. Pusing gue. Mau cabut duluan. Entar gue coba ngomong sama dia kalau tadi itu dare doang." ucapku lalu berjalan meninggalkan mereka. "Mau kemana lo?!" teriak Romeo. Aku membalikkan badan dan menggerakkan bibirku seolah berbicara "UKS". Kali ini bukan untuk bolos, tapi memang mau istirahat. Sekalian kasih obat ke sudut bibirku yang sakitnya kambuh lagi. Mungkin efek waktu teriak tadi. Aku juga pusing dan merasa sedikit mual, karena terlalu memikirkan kenapa dia menerimaku. Terbayangkan juga menjadi kekasihnya, bertemu dengannya setiap hari, jam, menit, detik. Erggghh! Serius, geli. Aku membuka pintu UKS yang seperti biasa selalu sepi. Aku berjalan santai membuka lemari kaca tempat obat-obatan tersimpan. Aku mengambil betadine dan kapas untuk luka di sudut bibirku ini. Tak perlulah alkohol atau salap atau obat apapun itu, ini pun cukup. Aku naik ke salah satu kasur yang ada dan duduk di situ. Betadine yang tadi kuambil, aku teteskan ke kapas, lalu aku usap-usap pelan di sudut bibirku. Sedikit perih tetapi masih bisa ku tahan tanpa harus meringis. Saat aku sedang asik mengobati lukaku, aku mendengar ada suara orang ngorok di ranjang sebelah. Aku pun baru sadar, kalau ranjang di sebelahku memang tertutup tirainya. Karena penasaran, aku turun dari ranjang uks yang ku tempati dan menyibak tirai itu. "Loh? Arsen.." gumamku saat menemukan laki-laki yang beberapa menit lalu menjadi 'Pacar'-ku. "Huh, ngga rela banget dia jadi pacar gue." batinku. Dia sedang tertidur dengan mulut sedikit terbuka dan lengannya ia jadikan penutup mata. Ternyata the most wanted sepertinya pun tidur ngorok. Apa jadinya kalau satu sekolah tau ya? Hahahaha Pasti reputasinya turun drastis. Beruntung aja aku sedang baik hari ini. Alias sedang malas untuk menjahili orang-orang. Kalau engga udah aku video-kan terus sebar mungkin. Tapi untuk apa dia tidur saat jam pelajaran berlangsung? Apa dia bolos? Bukannya kelas 12 sedang ada kelas intensif ya? Hal mengejutkan lainnya, murid terpintar di sekolah, juga bisa bolos jam pelajaran. Aku tidak melanjutkan untuk melihatnya tidur. Tidak bermanfaat. Keenakan yang ada dia diliatin seperti itu. Aku menutup tirai pembatas itu dan kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda, mengobati bibirku. Dengan perlahan kapas yang sudah ku tetesi betadine tadi, aku tempelkan ke sudut bibirku. Gila!! Pedih banget! Srrekk! "Arghh!" pekikku kaget plus sakit. Jelas sakit, karena tirai yang tiba-tiba terbuka membuat tanganku reflek menekan lukaku. "Bisa ga buat orang kaget ga?!" kesalku yang  menatapnya tajam dan dia hanya diam dengan wajah datarnya. Dia berjalan mendekat ke ranjangku dan pemikiran mengenai hipotesis tadi sekali lagi memenuhi pikiranku. Tatapan tajamku berubah menjadi kaku dan sedikit panik. Apa dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyiksaku? "Bukan gitu ngobatinnya." ucapnya datar. Benar-benar datar. Aku masih menatapnya tak percaya. Bukan gitu gimana maksudnya? Arsen tiba-tiba saja merebut paksa kapas  yang masih aku tempelkan di sudut bibirku, membuatku meringis perih. Parah nih cowok! Main sentak aja. 'kan mulutku jadi tambah sakit. Dia membuang kapas yang tadi dia rebut secara paksa dariku. Lalu ia mengambil kapas yang baru dan meneteskan alkohol di situ. Dengan hati-hati dia tekan-tekan kapas itu ke sudut bibirku. Sumpah! Engga kerasa sakit. "Nih! Lakuin sendiri." ucapnya memberiku kapas itu. Dia kembali merebahkan tubuhnya lagi di ranjang sebelah. Bukannya melanjutkan untuk megobati luka, aku malah membuang kapas itu. "Kenapa lo buang?" tanya nya dengan mata tertutup. "Suka-suka gue lah. Toh mulut gue udah ngga sakit lagi.." jawabku dengan nada suara jutek. "Terserah." gumamnya lalu merubah posisi tidurnya membelakangiku. Suasana UKS kembali sepi. Aku hanya diam dan menatap punggungnya. Sedangkan dia seperinya sudah tertidur lagi, buktinya dengkuran itu kembali terdengar.  Tunggu-tunggu, kenapa aku jadi memerhatikan ia tidur? Kenapa juga aku hanya diam di sini? Kenapa aku engga balik ke kelas aja? Tapi rasanya ada hal yang harus aku bicarakan dengan orang di ranjang sebelah itu. Tapi apa ya? Aku lupa. "Lo mau ngomong apa?" celetuknya tiba-tiba masih dengan posisi yang sama. Astaga orang ini benar-benar mengagetkan. "Ngga ada." jawabku datar. "Ada. Tapi lo lupa." sanggahnya. Dia bangun dari posisi tidurnya lalu mengacak rambutnya. Kalau kalian mengira aku akan terkesima dengan wajah dan suara bangun tidurnya, kalian salah besar. Aku  tidak terkesima sama sekali melihatnya. Malah ilfeel melihat orang suka tebar pesona sepertinya. Maka dari itu aku tidak mau menjadi pacarnya. "OH IYA! KAN GUE MAU  NGEJELASIN KALAU TADI ACARA TEMBAK-TEMBAKAN CUMAN TRUTH OR DARE!" batinku berteriak ketika aku berhasil mengingat apa yang akan aku sampaikan padanya. "So?" tanya nya sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku baru sadar kalau ia sudah mengubah posisi duduknya menjadi menghadapku. "So apa? Somai?" jawabku sedikit melenceng. Aku tidak terlalu suka suasana serius. "Jadi?! Lo mau ngomong apa?" tanyanya yang terdengar kesal bagiku. Ck, baru dibercandain segini saja dia sudah kesal. Benar-benar tidak akan pernah cocok denganku. Aku pun memposisikan dudukku menjadi menghadapnya dan langsung mengatakan apa yang harusnya aku jelaskan padanya. "Cuman mau bilang aja kalo gue ngga serius nembak lo tadi. Cuman ngelaksanain dare doang, jangan lo anggap serius. Toh gue juga ngga suka ama lo.." terangku sekaligus mempertegas bagaimana perasaanku padanya. Responnya hanya tersenyum tidak jelas lalu turun dari ranjangnya. Aku masih menatapnya menunggu jawaban atau kata "iya" darinya. Namun, ia malah berjalan menuju pintu uks dan membukanya. Sebelum ia keluar, ia justru mengatakan hal yang membuat kepalaku pening. "Apapun alasan lo, lo tetap pacar gue" Blam! Pintu uks tertutup dengan keras, sekeras kepala Arsen. Batu banget sih. Apa dia itu udah gila ya? Jelas-jelas aku sudah bilang aku tidak memiliki perasaan apa-apa padanya. Aku engga suka sama dia. Terus kenapa jadi maksain gini sih? s**l! Ternyata engga mudah untuk bisa lepas dari dia. Aku hanya bisa mengacak rambutku frustasi. Iyalah frustasi, kalo kayak gini bakal kacau balau deh. "Jadi nyesel gue milih dare." kesalku dalam hati. Aku pun beranjak dari ranjang dan keluar dari uks. Aku mengeluarkan handphone-ku dari saku dan mengirim pesan kepada Romeo untuk mengambil tasku, sekaligus memintanya untuk memberitau guru dipelajaran selanjutnya. Saat aku akan menekan tombol kirim, sebuah notifikasi dari nomor tak dikenal menyita perhatianku. From : +628xxxxxxxx Jangan bolos. "Siapa nih? Ngga jelas banget! Sok ngatur. Hidup lo dulu lo benerin baru hidup orang!" gumamku lalu menghapus pesan dari nomor tak dikenal itu. Aku kembali pada roomchat Romeo dan memencet tombol kirim yang tertunda tadi. Kebetulan juga dia sedang online, jadi dia langsung membalas pesanku. From : Romeong Lo ke kelas aja. Lagi kosong. Kagak ada guru. To : Romeong Tolong beresin barang gue. Gue mau pulang aja. Lagi ngga mood. From : Romeong Ya udah gue tunggu depan kelas. Memang sahabat yang paling baik. Pengertian dan tidak pernah menolak atau berkata tidak. Romeolah yang selalu ada kapanpun aku membutuhkan seseorang. Walau terkadang dia sensitif dan terlalu serius, tetapi dia tidak pernah marah sedikitpun padaku. Dengan cepat, aku melangkahkan kaki ke kelas. Sumpah, sudah engga sabar banget buat pulang ke rumah, lalu rebahan di kasur empukku, dan tidur siang. Takut dimarahin mama papa? Tidak akan pernah terjadi untuk hari ini. Di rumah saat ini hanya ada Bibi. Jadi, semua aman dan tenang. Aku mendekati Romeo sedang bersandar pada pintu kelas dengan tangan kanannya memegang tasku. Dia tersenyum. "Nih tas lo." ucap Romeo lalu mmenyodorkaku sebuah tas ransel hitam yang merupakan tas kesayanganku. Alias ini adalah satu-satunya tas sekolahku. Bagiku, tidak ada tas 2 atau 3 atau tas lain, jika 1 tas saja masih bagus. "Thanks ya." ucapku lalu menggendong tas ranselku di pundak kiri. Romeo hanya mengangguk dan  kembali masuk ke dalam kelas. Aku merapikan rambutku lalu berjalan menuju pagar depan. Ya, Kali ini aku sedang tidak mood untuk memanjat pagar seperti biasanya, jadi aku memilih untuk lewat pagar depan. Walau sebenarnya agak repot sih kalau lewat pagar depan, karena kita harus berhadapan dan berdebat dulu dengan Pak Slamet. Tapi ya, yaudah deh dari pada engga jadi pulang. Kan engga lucu. Lagi pula, aku sudah terbiasa membujuk Pak Slamet. Sudah menjadi cees kental. "Eh! Mau ke mana?" cegat pak Slamet waktu aku mau membuka pagar sekolah. Aku menatapnya sambil memperlihatkan deretan gigi putihku yang rapih, lalu kembali fokus pada pagar sekolah. "Ya pulanglah Pak. Emangnya mau ngapain lagi?" jawabku santai sambil terus berusaha ngebuka pagar. Sedikit macet karena pagar sekolahku sudah sedikit berkarat. "Susah banget sih Pak ngebukanya. Tolong saya kenapa sih pak, daripada diem aja kayak gitu.. " seruku dan dijawab dengan helaan nafas olehnya. "Saya sih mau aja bantu. Tapi kalo dimarahin guru gimana? Bisa dipecat saya.." jawabnya yang sudah berdiri di sampingku. Tatapannya seperti ingin membantu tetapi juga tak ingin terkena masalah. Mungkin dia sedikit trauma, karena pernah hampir dipecat hanya untuk membantuku bolos. "Bilang aja saya sakit. Kalau ga percaya, bisa di cek ke uks tadi saya abis pake alkohol, betadine, sama kapas. Terus bapak bisa tanya Romeo atau Arsen, kalau saya memang sakit dan dari UKS tadi." jelasku berusaha bernegosiasi dengan Pak Slamet. Dia mengerutkan keningnya seakan bingung dengan jawabanku. Memangnya ada yang salah? "Kenapa Pak?" tanyaku yang menatapnya bingung juga. "Tadi, neng bilang tanya Arsen. Bukannya Arsen, yang kelas 12 itu, yang pinter? Hubungannya dengan neng apa?" tanya Pak Slamet balik. Aku menghela nafas dan mengetuk kepalaku pelan. Bisa-bisanya aku menyebutkan namanya. "Ga ada hubungan apa-apa, Pak. Tadi kebetulan dia ada di UKS juga. Buat saksi kalau saya beneran sakit." terangku sesuai fakta yang ada. Pak Slamet mengangguk lalu membukakan pagar. "Jangan bilang kalo saya ngelepasin kamu ya.. " ucapnya sebelum mengunci pagar itu kembali. Aku mengangkat kedua jempolku dan tersenyum ke Pak Slamet. Memang satpam paling the best deh. Baru saja aku berjalan beberapa langkah dari sekolah. Sepasang tangan kokoh mencegatku. Menarik tanganku dan membuatku berbalik ke arahnya. "Belom jam pulang." ucap seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Wajahnya memang seperti tidak asing untukku, tetapi aku pernah liat dimana ya? Ah, siapapun dia, yang pasti dia sudah lancang mencegat-cegatku. "Lo siapa? Sok ngatur banget!" jawabku ketus. Aku menatapnya tajam dan melepaskan tanganku dari genggamannya. Biarin deh dicap jadi cewek galak. Dia aja lancang, main narik-narik tangan orang lain. "Lo lupa sama gue? Coba lo inget-inget lagi.." jawabnya yang bagiku sok misterius. Kalau memang dia kenal aku, tinggal bilang saja.  To the point. Dia siapa. Dan aku kenal dia di mana. Bukan malah membuat teka-teki seperti ini. "Ngga penting banget sih lo! Ngebuang waktu gue aja. Kalau mau main teka-teki noh, Pak Slamet di pos satpam!" seruku lalu kembali melanjutkan langkahku. Kenal denganku? Tapi tidak pakai seragam, apa dia anak baru? Tapi tidak terlihat seperti seusiaku. Argh! Please, jangan berhipotesis lagi otakku yang cerdas. "Anya! Gue Ivander! Abang kelas favorit lo waktu SD!" teriaknya menghentikan langkahku. Aku berbalik menatapnya. Dia tersenyum dan memelukku erat. "I miss you, little girl.." bisiknya membuatku diam tak berkutik. Masih tidak percaya. Dia Ivander, cinta pertamaku. Ada disini sekarang. To be continue.. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD