3.

2389 Words
Author POV "Pagi Bang! Pagi Pap.. eh Papa Mama mana?" tanya Bell yang baru saja turun dari kamarnya. Ia menarik kursi di depan Angga yang sedang menyantap roti bakar coklat. "Papa udah berangkat tadi pagi, ada meeting mendadak di kantor. Kalo mama lagi ikut mami seminar di Tanggerang." jelas Angga. Bell hanya mengangguk dan tersenyum senang. Jika begitu, dia bisa berangkat sekolah seperti biasanya. Dengan gayanya. "Tuh, bubur lo udah dibuatin Mama. Katanya biar mulut lo ga nambah sakit, nyuapnya dikit-dikit. Jadi, jangan banyak ngayal, cepetan. Lo itu berangkatnya sama gue." "Berangkat bareng lo? Ogah!" jawab Bell lalu memakan buburnya sedikit demi sedikit. "Udah deh, jangan rewel. Ini Mama sama Papa yang nyuruh. Gue gamau kena masalah kayak dulu lagi, bohong nganterin lo. Eh, ada aja musibah gue dapet." tegas Angga sedangkan Bell hanya tertawa dan mengangguk menurut saja pada sang kakak. Lagi pula hari itu, dia yang meminta kepada kakaknya untuk berbohong saja soal mengantarnya ke sekolah. Alhasil, justru ban mobil Angga bocor dan Bell disenggol motor sampai jatuh ke got. Setelah Bell menyelesaikan sarapannya. Mereka pun pergi menuju sekolah Bell. "Cepet turun, gue udah telat nih. Dosennya galak. " ucap Angga lalu membukakan pintu Bell dari dalam. Ia juga mendorong-dorong adiknya itu agar cepat turun dari mobilnya. "Ya elah, ngga lo suruh gue juga bakal turun. Ck!" ketus Bell. Tanpa babibu lagi, begitu Bell turun dari mobil, Angga langsung menutup pintu dan menjalankan mobilnya meninggalkan sekolah Bell. Sedangkan Bell berjalan dengan malas ke kelasnya. Tidak biasanya dia datang disaat sekolah masih sepi seperti ini. Rasanya, seerti bukan dirinya. Dia menghela nafasnya lalu meletakkan tasnya di atas meja dan pergi ke kantin sekolah. Lagi pula ini masih ada setengah jam sebelum masuk kelas. "Yo, bro!" teriak Bell melambaikan tangannya ke kumpulan laki-laki yang duduk di tengah-tengah kantin. "Yo!" sahut mereka kompak, lalu menggeser duduknya, memberikan ruang untuk Bell juga. Bell pun bersalaman dan berpelukan ala anak laki-laki zaman sekarang dengan ketiga sahabatnya itu. "Kebentur apaan lo kemaren? Sampe datang awal kayak gini?" tanya salah satu temannya itu yang bernama Daffa. "Oh, gue tau. Pasti lo kebentur bantal 'kan waktu lo lagi tidur" celetuk teman Bell yang lain, Jerry. "Gaje lo!" jawab Bell lalu menyentil dahi Jerry, membuat si pemilik dahi tertawa. "Mumpung masih ada waktu 20 menit lagi nih, gimana kalo lo ikut kita main truth or dare? Udah lama banget lo ga ikut kita main itu. Gimana?" ajak Romeo. "Iya Bell, join ga?" jawab Jerry antusias. Daffa pun ikut menatap harap agar Bell mau ikut bermain. "Ngga-ngga! Ngapain main permainan yang kayak gitu? Udah ngga jaman kali.." tolak Bell yang tidak memperdulikan bujukan-bujukan sahabatnya. Ia justru lebih fokus pada game yang ada pada gedgetnya. "Ah payah!" ejek Jerry sambil memutar-mutar botol di atas meja. "Ngga jaman gimana maksud lo?" tanya Daffa, mulai melirik-lirik Romeo dan Jerry untuk bekerja sama memanas-manasi Bell. "Ya ngga jaman aja. Ga ada alasan. " jawab Bell. "Bilang aja lo takut kan? Ah! Cemen lo, ngga asik ni.. " ujar Jerry. "Siapa bilang gue takut?!" sahut Bell tidak terima namun masih santai. "Emang lo takut, kan?" Romeo ikut memanas-manasi Bell agar ia mau ikut. Ini adalah tips untuk kalian yang ingin mendapatkan kata "mau" atau "iya" dari Bell. Ejek dan ancam saja dirinya. Bell yang terpancing pun meletakkan gadgetnya dengan kasar. "Udah! Jadi main ngga? 10 menit lagi masuk nih.." ucap Daffa menengahi, ia merebut botol dari tangan Jerry. "Udah cepat putar botolnya!" jawab Bell tegas. Ketiga sahabatnya itu saling tersenyum puas. Akting mereka untuk mengejek Bell membuahkan hasil yang setimpal. Botol air mineral kosong itu pun di putar oleh Daffa. Botol itu terus berputar dengan kencang dan semakin lama semakin melambat. Bell yang tak ingin dirinya mendapat giliran memandang serius ke arah botol tersebut sambil berdoa dalam hatinya "Please jangan gue.. Please.. " batinnya. Botol itu berputar melewati Bell dan akhirnya berhenti. Arah tutup botol itu ternyata mengarah ke Daffa. Bell pun bernafas lega lalu mengganti ekspresi wajahnya menjadi tersenyum mengejek Daffa. "Truth or dare?" tanya Jerry antusias. Daffa menghela nafasnya malas dan bersandar pada sandaran kursinya. "Truth" jawab Daffa yang dibalas dengan gelak tawa oleh sahabatnya. "Daf.. Daf.. Cupu banget sih milih truth. Pantes lo kalah saing sama Si Tampan. Mental lo aja cupu." ejek Bell yang disetujui oleh Romeo dan Jerry. "Yee.. Apa salahnya? Kan namanya juga truth or dare. Milih Truth ga salah dong. Kecuali, dare or dare, gue milih truth, itu cupu.. " elaknya tak mau salah. "Yaudah, nyali kecil mah beda.. Hahahaha! " timpal Romeo membuat botol yang dijadikan alat penunjuk nasib itu mendarat tepat di kepala Romeo. "k*****t lu!" kesal Daffa. "Yaudah, gue yang nanya aja deh. Lama lo semua. Sebenarnya lo masih sayang ga sih sama mantan lo?" tanya Jerry penasaran. "Mantan yang mana? Mantan gue banyak. " jawab Daffa menyombongkan dirinya. "Sombong banget mentang-mentang item manis kayak kecap. Ya mantan terakhir lo, Si Rani." sahut Jerry. Bell dan Romeo ikut menatap Daffa penasaran. Lantaran baru Ranilah perempuan yang mengakhiri hubungannya duluan pada Daffa. "Nggalah. Seorang Daffa ga akan masih mikirin dan sayang sama mantan." jawab Daffa enteng. "Playboy lu! Belom aja kena karma.. Huu" celetuk Jerry lalu memukul botol itu ke kepala Daffa. "Dih, kok gue di getok sih?!" kesal Daffa. Jerry hanya mengangkat bahunya dan memutar kembali botol itu. Keempat orang itu kembali memasang wajah serius. Memperhatikan kemanakah arah botol itu berhenti. Botol itu melambat sepertinya akan berhenti ke arah Jerry. "Jerry ni Jerry... " celetuk Bell bermaksud mengejek. Tapi siapa sangka justru botol tersebut masih memiliki tenaga untuk berputar sedikit. Sehingga justru berhenti tepat ke arah Bell. "Hahahahaha sukurin lu!  Kena, kan! Makanya jangan ngejek dulu.. Wlee.. " sahut Jerry menjulurkan lidahnya pada Bell. Bell hanya mendengus kesal dan mengambil botol tersebut. "Truth or dare?" tanya Romeo. "Gue mah gantle, ga kayak yang ono. Dare! " jawab Bell mantap. Romeo, Daffa dan Jerry pun nampak saling berbisik satu sama lain. Berunding untuk memberikan tantangan pada sahabat perempuan satu-satunya itu. "Heh! Aneh-aneh awas aja lu pada!" tegur Bell yang hanya bisa melihat mereka penasaran. "Tenang aja ga aneh-aneh ni.. " sahut Daffa menenangkan setelah mereka selesai berunding. Tampak Daffa dan Jerry antusias, namun, Romeo tidak terlalu puas dengan hasil diskusinya. "Ok, jadi nanti jam istirahat gue sama Jerry bakal ngumpulin anak satu sekolah ini di lapangan. Terus nanti tugas lo, nembak Arsen Si Tampan itu di depan semua anak satu sekolah. Gimana? Cukup menantangkan?" tanya Daffa. Bell yang mendengar tugasnya itu hanya terkekeh. "Menantang dari mana? Itu mah kecil. Lu pada mau mempermalukan gue kan? Yang ada juga tu cowo malu karena ditengah lapangan, jadi pusat perhatian orang-orang." jawabnya enteng dan ketiga temannya itu hanya mengangguk mendengar penuturan Bell. Tett!tett!tett! "Yuk, cabut. Udah bel.." ucap Romeo. Mereka pun menyudahi permainan mereka dan berjalan menuju kelas. -Istirahat- Bell's POV Sudah lebih dari 5 menit aku bersandar pada dinding dekat pintu kelas XII IPA - 1 yang masih tertutup.  Apa sebegitu rajinnya belajar mereka sampai lupa waktu istirahat? Aku tidak habis pikir. Aku tau ini adalah kelas IPA paling unggulan di sekolah, tetapi haruskah sampai menyita waktu untuk beristirahat hanya untuk belajar? Aku mencoba mengetuk pintu kelas itu bermaksud agar guru yang sedang mengajar di dalam sadar, kalau ini sudah lewat 5 menit dari waktu istirahat. Mungkin saja, saking sibuknya mengerjakan soal, bel istirahat sampai tak terdengar. Namun, sudah berkali-kali diketuk tidak ada sedikitpun jawaban dari dalam sana. Tak ada satupun suara yang terdengar. Sangat sepi. "Ini sebenarnya ada orang ga sih kelasnya?" ucapku membatin karena curiga kalau sebenarnya daritadi tidak ada siswa di dalam kelas ini. Aku pun memberanikan diri untuk membuka sedikit pintu kelas dan mengintip ke dalam.  "Hmm.. Pantes aja sepi. Isinya cuman cowok sok itu doang. Kalo tau kayak gini mah gue ngga bakal capek-capek nunggu" omelku lalu masuk begitu saja ke dalam kelas. Tidak peduli jika ini kelas seniorku dan aku tidak sopan masuk begitu saja. Bagiku, kelas hanyalah sebuah kelas. Selama kamu menjadi siswa di sekolah ini, masuk ke kelas manapun tidak ada yang salah. "Masuk ke kelas orang pake etika." tegurnya datar sambil mengotak-atik rubik 3x3. Aku tidak langsung menjawab teguran itu dan berjalan mendekat ke arahnya. Dia sama sekali tidak memperhatikanku dan justru semakin cepat jari-jarinya memutar rubik itu agar setiap warna kembali ke posisi semula. "Ga pake etika? Gue ngetuk-ngetuk daritadi, tapi ga ada yang jawab. Padahal ada orang di dalamnya.. " jawabku yang sudah berdiri di sampingnya. Dia tetap tidak menoleh sedikit pun dari rubiknya. Benar-benar sombong. Percuma saja wajahmu tampan, tapi sombong. "Kalau ga dijawab ya berarti lo ga dipersilahkan masuk." jawabnya lagi. Datar.  Tak bernada. To the point. Benar-benar individualis. Heran, kenapa perempuan-perempuan suka banget sih laki-laki modelan begini.  Arogan dan dingin. Pacaran sama dia atau tembok tidak ada bedanya mungkin. Ih, amit-amit deh punya pacar model begini. "Ada perlu apa ke kelas gue?" tanyanya menyadarkan lamunanku. Fokus Bell, sadar. Hanya mengerjakan tantangan dari Daffa. Habis itu beres. "Gue ada perlu sama lo. Bisa ikut gue sekarang?" jawabku sebaik mungkin. Namun, dia tidak merespon sama sekali. Sedikitpun tidak. Tetap diam, fokus dengan rubriknya. Memang banyak gaya ini orang, aku mengajaknya dengan baik-baik. Sopan. Tidak marah-marah. Kelewatan. Macem-macem kayaknya dengan Bell. Belum tau aja. Emosiku mulai memanas. Kalau menunggu respon darinya, sama saja aku harus melewatkan kesempatan untuk menyelesaikan tantangan. Tidak ada cara lain, selain memaksanya. Aku merebut rubik tersebut dari tangannya dan  melempar itu ke sembarang arah. Dia berdiri dan menatapku tajam. Dia kira aku bakalan takut apa? Maaf, tetapi kamu yang memilih cara ini. Aku sudah mengajak dengan cara baik-baik. Dengan sekuat tenaga, aku menarik tangannya. Namun, dia sama sekali tidak bergerak dari posisinya. Ternyata tenaganya kuat juga. Bahkan, lebih kuat dariku. s**l! "Mau lo apa, hah?! Mau cari masalah dengan gue?!" bentaknya sambil mencengkram pergelangan tanganku.  Aku meringis reflek karena cengkramannya cukup kuat. "Kan udah gue bilang. Gue ada urusan sama lo. Ada. Perlu. Tolong bedain antara ada perlu sama cari masalah ya!" jawabku membela diri lalu melepaskan cengkramannya paksa. "Terserah." jawabnya singkat lalu mengambil rubiknya yang tadi kubuang. "Ya udah, jadi gimana?" tanyaku lagi memastikan. Apakah dia tetap kekeh tidak ingin ikut denganku atau mau. Dia sama sekali tidak menjawab maupun memberikan respon untuk sekedar mengangguk atau menggeleng, tetapi dia justru berjalan keluar kelas mendahuluiku. "Ck,  mau kemana sih dia. Kalau mau nge-iyain ajakan gue kan bisa ngangguk kek, ngegeleng." gumamku kesal lalu mengikutinya. "Woi, tunggu." panggilku yang membuatnya berhenti dan berbalik ke arahku. "Apa?" jawabnya singkat. Erghh!! Ingin ku cakar rasanya wajah datar di depanku ini. Menyebalkan. Kepalaku sampai berdenyut-denyut rasanya menahan marah karena orang ini. Aku menatapnya dengan mata dan senyum yang lebar. Layaknya, kunti yang tersenyum. "Gue gatau sekarang ini lo mau kemana. Tapi, please ikut gue sebentar aja, ya.. " jawabku lalu mencengkram tangannya sambil tetap memasang ekspresi wajah melotot dan tersenyum. Aku menggandeng tangannya menuju ke lapangan dan kali ini dia mengikutiku tanpa menahan atau melawan. Kuakui, membujuknya cukup sulit. Harus memasang wajah layaknya psikopat dulu baru dia menurut. Ternyata lapangan sudah dipenuhi oleh anak-anak sekolah ini, dari junior, senior juga seangkatanku. Ada yang tidak turun ke lapangan juga, tetapi tetap melihat dari balkon lantai atas. Anak-anak di sekolahku memang mudah diajak untuk melihat hal-hal berbahan gosip seperti ini. Mereka sangat senang mengurusi kehidupan orang lain. Kulihat semuanya sedang protes pada Daffa dan Jerry karena aku tak kunjung datang juga. Kedua sahabatku itu berusaha menenangkan amarah dari mereka yang merasa waktunya terbuang untuk berjemur di lapangan seperti ikan asin. Kasian. "Nah tuh mereka!" teriak Jerry antusias ketika melihatku berjalan dari koridor menuju lapangan. Bocah tengil itu selalu saja heboh kalau udah menyangkut hal-hal bodoh seperti ini. "Kasi jalan! Kasi jalan!" bisik siswa siswi sekolah ini memberiku jalan yang mempermudah aku dan laki-laki ini melewati kerumunan itu tanpa harus bersempit-sempitan. Ketika sudah sampai di tengah lapangan. Aku pun memposisikan diriku berdiri di depannya. Sedangkan dia, menatapku tajam seakan tidak suka dibawa ke tengah kerumunan ini. "To the point." ucapnya singkat dan menatapku penuh tanya. Sepertinya dia bingung kenapa aku membawanya ke sini. Tanpa basa basi lagi, aku memasang senyum selembut mungkin dan menatapnya serius. Sebenarnya hal seperti ini sedikit menjijikkan untuk dilakukan, tetapi demi formalitas dan agar terlihat sungguh-sungguh menyatakan cinta, aku pun menggenggam kedua tangannya yang membuat mereka seketika hening tak bersuara. Aku sedikit terkejut karena tangannya sangat dingin. Sumpah, tangannya benar-benar dingin! Pantas saja di ujung namanya ada Cold-Cold gitu. Ternyata karena telapak tangannya sedingin ini. Padahal tadi rasanya, tidak sedingin ini pada pergelangan tangannya. Eh, sadar Bell. Kembali ke tujuan awal. Mau tangannya dingin kek, panas kek, bukan urusanmu. Cukup selesaikan saja ini. "Ekhem." dehemku berusaha menetralkan pikiran dan suara. Dia tetap pada ekspresi dan tatapan tajamnya. Mengintimidasiku untuk secepat mungkin menyelesaikan ini. Detak jantungku tiba-tiba saja meningkat ketika mataku bertemu dengan mata tajamnya. Rasanya aliran darahku mengalir ke seluruh tubuh dengan sangat cepat. Aku menelan ludahku dan memejamkan mataku agar tidak menatapnya. Berharap detakan jantungku kembali normal seperti sebelum ini. "Jadilah pacar gue, Adelardo Arsenio Cold!" teriakku sangat keras sambil tetap menutup mata. Saking kerasnya teriakanku, mungkin sampai ujung kantin pun bisa mendengarnya. Mungkin. Aku yang masih memejamkan mataku, dapat mendengar dengan jelas suara jeritan dari kerumunan itu seakan terkejut. Ada apa sih? Belum sempat aku membuka mataku. Tiba-tiba, aku merasakan tanganku sedikit terangkat dan sesuatu yang lembab juga kenyal mendarat di punggung tanganku. Kali ini, aku mendengar jeritan dari sahabatku, Daffa, Romeo, dan Jerry. "Hah?! Apa ini?! Ini tangan gue lagi dicium apa gimana?!" batinku penasaran. Degupan jantungku semakin kuat ketika aku merasakan hembusan nafasnya di depan wajahku. Mau apa dia?! Aku yang penasaran langsung membuka mataku. Wajah itu, sangat dekat dengan wajahku. Aku shock. Aku hanya bisa diam dan mengerjapkan mataku berkali-kali. Dia tersenyum tipis dan mengusap puncak kepalaku pelan. Apa dia sakit jiwa? Tadi marah dan kesal. Sekarang tiba-tiba jadi begini. Apa jangan-jangan waktu aku memejamkan mata, aku ketiduran ya? Pingsan terus bermimpi. Mimpi kan ini? Tidak mungkin jadi seperti ini. Aku mengangkat kedua tanganku untuk mengusap wajahku tetapi justru kedua tanganku ia tarik mendekat ke arahnya, membuatku sedikit berbenturan dengan dadanya. Tak hanya itu, Dia memeluk pinggangku erat, menghimpit kedua tanganku yang menempel di dadanya, dan mengecup keningku selama 3 detik. Rasanya aku benar-benar menjadi patung saat ini. Untuk berteriak menolak pun rahangku kaku. Ini tidak terdefinisikan. "Gue terima lo." jawabnya datar dan berlalu pergi. Anak-anak kembali riuh dan kebingungan. Ku yakin mereka pun sama shock-nya denganku. Aku yang masih kaku pun terjatuh ketika ia melepaskan pelukannya begitu saja, meninggalkanku yang masih belum bisa mencerna apa yang barusan terjadi di lapangan. 'Ini diluar rencana gue!' To Be Continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD