2.

2092 Words
Author POV Setelah tertidur cukup lama di unit kesehatan sekolah, dia menepati janjinya untuk menemui Bu Dona. Tidak ada perdebatan ataupun penolakan dari Bell atas hukuman dan omelan yang dilontarkan oleh gurunya itu. Jiwanya belum sepenuhnya terkumpul, jadi apa yang diomongkan oleh Bu Dona pun sebenarnya tak begitu ia mengerti. Intinya adalah ia harus meminta maaf pada siswa tadi dan menulis surat pernyataan bahwa ia tidak akan berkelahi di sekolah lagi. Hukuman yang mudah. Saat ini, Bell sedang menekan beberapa tombol di handphonenya untuk menelpon salah satu temannya. Bell berencana untuk pulang lebih dulu karena benar-benar sudah tidak menemukan moodnya di sini. Percuma juga jika ia melanjutkan untuk berkumpul sebentar dengan teman-temannya atau bermain basket di lapangan, tidak akan ada yang ia dengarkan. "Halo?" sahut Romeo. "Lo di mana? Tas gue sama lo, kan?" "Iya, tas lo ama gue. Sekarang gue lagi di kelas." PIP! Pembicaraan itu dihentikan secara sepihak oleh Bell. Dia sedang malas untuk mengeluarkan kata-kata sekarang, karena bibirnya sedang sakit. Lagipula informasi yang ia butuhkan sudah jelas. Temannya itu sedang ada di parkiran. Dia pun segera menghampiri temannya yang sedang duduk di atas motor. "Cepet banget.." ucap Romeo bermaksud berbasa-basi. "Tas gue mana?" tanya Bell to the point. Sebagai orang yang sudah cukup lama mengenal Bell, dia dengan mudah menyadari mood kalau mood Bell sudah sangat buruk. Tidak akan bisa di ajak bercanda atau basa basi. Jadi, ia pun langsung memberikan tasnya. "Muka lo, ngga lo obatin? Perlu kita anter aja ke rumah?" tanya temannya yang lain, Daffa, Ketika melihat wajah Bell yang masih lebam. "Ngga perlu. Nanti juga sembuh sendiri. Ya udah Rom, Daf,  Jer, gue cabut duluan. " jawab Bell sambil melakukan tos dengan 3 sahabatnya itu dan langsung berlalu keluar sekolah. "Bell.. Bell" gumam Romeo sambil menggelengkan kepalanya. Sekarang Bell sedang berjalan kaki menuju rumahnya yang bisa dibilang cukup jauh dari sekolahnya itu. Mungkin bagi sebagian besar orang akan lebih memilih untuk menggunakan kendaraan daripada jalan kaki. Apalagi ini dikawasan Ibukota yang panas dan ramai nya minta ampun. Ditambah lagi banyaknya berita tentang kasus pencopetan dan begal, yang pastinya membuat sebagian orang akan lebih memilih kendaraan daripada berjalan kaki. Bell yang sudah sampai di depan komplek perumahan rumahnya itu, tidak langsung melanjutkan perjalanan menuju rumahnya, ia malah lebih memilih untuk duduk di taman depan di dekat gerbang kompleknya. Dia duduk di bawah pohon rindang di taman itu. Menyandarkan kepalanya, memejamkan matanya, sambil menikmati hembusan angin sejuk. Dia memejamkan matanya sambil menyentuh sudut bibirnya yang berdarah akibat perkelahian tadi pagi di sekolah. "Anya? Lo ngapain di situ?!" teriak seorang laki-laki dari kejauhan. Suara yang tak asing terdengar oleh Bell. Dia hapal betul suara siapa ini. Bell yang merasa dipanggil pun beranjak dari bawah pohon dan berjalan mendekat ke arah mobil mewah berwarna hitam itu. Laki-laki yang ada di dalam mobil itupun kaget ketika melihat wajah Bell yang babak belur. "Muka lo kenapa Nya?! Pasti berantem lagi kan?!" tanya laki-laki itu dengan nada marah lalu segera keluar dari mobil dan menghampiri Bell. "Itu lo tau." jawab Bell ketus dan langsung masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu adalah kakaknya. Angga. Sang kakak yang sudah tidak mengerti lagi dengan sikap adiknya itu hanya bisa memijat pelipisnya. "Ayo pulang! Gue udah capek ini!" teriak adiknya itu dari dalam mobil. Angga pun segera masuk dan menjalankan mobilnya. Saat sampai di rumah, Bell langsung keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah tanpa melepas sepatunya lebih dulu. Jangankan sepatu, salampun tak ia ucapkan.Angga yang geram dengan tingkah adiknya itu langsung keluar dari mobil dan menyusul adiknya. "Ya ampun, sayang. Muka kamu kenapa?" tanya sang mama, Zinia. "Biasalah ma, berantem. Kayak ngga kenal dia aja. Anak bungsu mamakan singa betina. " sela Angga sedikit mengejek. "Udah berapa kali sih mama bilangin. Jangan berantem lagi, Anya! Jangan buat mama tambah pusing dong karena ulah kamu itu!" bentak Zinia. "Iya, maaf. Kali ini hukumannya ga sampai harus mama dateng lagi ke sana. Sesuai janjiku sama mama. " jawab Bell yang memiliki panggilan Anya dirumah itu. "Yasudah, tetapi kesalahan kamu itu tetap saja tidak bisa dibenarkan. Jadi, kamu ke kamar sekarang. Jangan keluar sebelum makan malam. " tegas Zinia yang berhasil membuat Bell membelakakkan matanya, sedangkan Angga tersenyum puas. Jatah makan siangnya akan bertambah menjadi 2 kali lipat. "Tapi ma, makan siangnya?" tanya Bell. "Ngga ada makan siang buat kamu. Itu hukumannya. Sudah sana masuk kamar." ucap mamanya itu lalu beranjak dari ruang tengah. Zinia sangat tau anak gadisnya itu tidak bisa terpisah lama-lama dari makanan maka dari itu ia memilih untuk menghukumnya seperti itu. "Mama.." ucap Bell memelas. "Udah deh Anyaku sayang, ngga bakalan mempan juga. Ngebujuk mama tu susah. Apalagi salah lo fatal. Pecicilan sih. " ujar Angga terkekeh. "Bukannya bantuin gue malah ketawa! Seneng lo?" Angga hanya tersenyum dan mengulum tawanya. Baginya ini adalah keseruan tersendiri. Memanas-manasi amarah Bell. "Seneng lah. Jatah makan siang gue jadi 2 kali lipat hari ini.. " jawab Angga lalu tertawa lepas. "Abang, jangan gitu ke adeknya. Sudah kamu ganti baju dan renungi kesalahanmu. Angga langsung makan ya, mama sudah siapin dimeja. " sahut Zinia menengahi. Kedua anaknya ini harus segera dilerai jika sudah ejek-ejekan seperti tadi. Kalau tidak, bisa jadi mereka justru berbaku hantam karena terbawa ejekan satu sama lain. "whatever!" Bell yang malas dengan kakaknya itu pun memilih untuknaik ke atas dan masuk ke kamarnya. "Ck! Untung gue udah nyimpan banyak cemilian. Coba kalau ngga? Mati kelaperan gue." ucap Bell lalu mengambil sebungkus Sari Roti yang ia simpan di laci nakasnya. Terkadang rasa laparnya tidak mengenal waktu dan sering kali bersamaan dengan rasa malasnya untuk ke bawah mengambil makanan. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menyimpan beberapa persediaan makanan. "Aw!" pekiknya saat menganga untuk memakan roti tersebut. Mood makannya turun seketika, walaupun perutnya sudah menjerit menderita. "Argh! Percuma kalo gini nyimpan banyak cemilan, tetep aja ngga bisa makannya!" kesalnya langsung melempar rotinya itu ke atas meja. Kruukk! "Aduh, mana perut laper lagi. Belom makan dari pagi!" kesalnya lagi. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan memilih untuk bermain social medianya di laptop. Namun, dewi fortuna benar-benar tidak berpihak padanya. Sepertinya semua orang sedang menguji kesabarannya hari ini. Nyaris seluruh timeline social medianya menampilkan gambar dan video makanan yang sangat menggiurkan. "Ah! Kenapa timeline mesti penuh dengan gambar makanan kayak gini, sih?!" gumamnya. Dia menutup laptopnya begitu saja dan memilih untuk memejamkan matanya. Dia terus berguling ke sana kemari tapi tetap saja tidak bisa tidur. Perutnya terus berbunyi dari tadi. Perutnya juga semakin sakit. Dengan nekat dia pun mengambil roti itu dan memakannya. "Gue ngga peduli deh, mau bengkak atau malah tambah parah nih luka, gue ngga peduli. Yang penting makan dan ngga jadi mati kelaparan!" tekatnya membatin dan mulai menggigit roti itu. Sedikit demi sedikit roti itu pun habis di makannya. Walaupun sekarang bibirnya terasa sangat sakit, tapi setidaknya perutnya tidak sakit lagi. Jadi, dia bisa tidur sekarang. Entahlah, apakah dia bisa bicara dan makan saat makan malam nanti atau tidak. Ia tidak peduli. Yang sekarang sedang dipikirkannya adalah tidur dan bermimpi indah lalu bangun tepat saatnya jam makan malam. Siang kini telah berganti jadi malam. Waktu pun sudah menunjukkan saatnya makan malam. Namun, Bell masih tetap terlelap dalam tidurnya. Mungkin, karena emosinya benar-benar terkuras hari ini, sehingga ia pun tidur bagaikan orang tak sadarkan diri. Berkali-kali Zinia maupun Abra memanggil anak bungsu mereka itu. Tetapi sama sekali tak ada jawaban.  Hoa.. "Aw!" pekiknya ketika merasakan sakit pada sudut bibirnya semakin menjadi akibat ia menguap terlalu lebar. 'Kenapa gue mesti nguap sih? Mana makin sakit lagi nih mulut!' kesalnya dalam hati. "Woi gembel! Di panggil mama tuh, disuruh makan.." ucap Angga yang sedang bersandar di ambang pintu kamar Bell. Tadinya ia berniat masuk dan menyeret adiknya itu hingga ke meja makan. Namun, adiknya sudah bangun lebih dulu sebelum ia masuk. "Gu.." ucap Bell gantung. Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena bibirnya yang bertambah sakit itu. "Gu apaan?" tanya Angga lagi dan hanya dibalas gelengan oleh Bell. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan berlari menuju ruang makan. Angga yang mengerti kalau Bell sedang menutupi rasa sakitnya hanya menghela nafas dan mengikuti langkah Bell ke meja makan, dimana Abra dan Zinia sudah siap untuk menyantap makan malam bersama 2 anak mereka. Saat Bell menarik kursi duduk dihadapan papanya, saat itu juga Abra menghela nafasnya panjang. Lagi dan lagi, wajah putri sematawayangnya babak belur. "Muka kamu kenapa lagi, Nya?" tanya papanya, Abra dengan tegas. Bell hanya mengangkat bahunya dan mengalihkan pandangan ke arah meja makan yang masih kosong. Bukan bermaksud kurang ajar pada orang tua, tetapi ia jauh lebih sadar akan kondisi bibirnya yang sakit. Maka dari itu, Bell pun memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan itu. "Dia berantem lagi di sekolah Pa.." celetuk Angga. Nah, lagi pula ia memiliki juru bicara jika disaat-saat seperti ini. "Udah Papa duga." gumam papanya itu sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. Abra tidak habis pikir dengan kelakuan anak bungsunya itu. Sudah sering Abra mendapat teguran dari sekolah tentang kelakuan Bell yang sungguh membuat Abra pusing. Belum lagi nilai Bell yang tidak bisa dibilang bagus alias hancur lebur. Tetapi sekolah sangat tidak rela jika harus mengeluarkan Bell dari sekolah. Bagaimanapun juga Bell adalah atlet kebanggaan sekolah. Kalau saja anaknya itu tidak memiliki prestasi, mungkin melihat putrinya sekolah hanya angan-angan untuk Abra. Kalau Angga yang seperti itu mungkin dia maklum, tetapi Bell? Dia tidak pernah habis pikir, kenapa begitu keras watak anak bungsunya ini. Bahkan Papinya Bell (kakek Bell) pun keheranan melihat kelakuan cucu perempuan satu-satunya itu. Bahkan mami (nenek Bell) sampai bertanya kepada Zinia, apa yang ia inginkan ketika mengandung Bell, karena terlalu terkejut melihat tingkah cucunya yang jauh dari kata anggun. Namun, walau begitu, Bell tetap saja menjadi kesayangan nenek dan kakeknya. Padahal mereka semua berharapnya Bell akan tumbuh menjadi perempuan yang sopan dan elegan, juga yang pastinya berperilaku seperti perempuan kebanyakan. Tetapi sepertinya Tuhan menganugrahi keluarga ini dengan versi yang lebih baik dari seorang Bell feminim. Bell yang pecicilan tidak begitu buruk dan justru sering menjadi penghibur dalam keluarga. Tak lama kemudian, makanan pun sudah tersaji dengan lengkap di meja. Saat semua orang sedang menikmati makanan mereka, Bell justru hanya menatap piringnya kosong. Dia sadar kalau bibirnya sekarang tidak bisa menganga dengan lebar dan itu membuat dirinya tidak bisa makan dengan banyak. Bahkan bibirnya itu sudah terasa sakit walau hanya bergerak sedikit. "Kenapa ngga makan sayang?" tanya mamanya. Bell hanya menggeleng. Dia memilih untuk meminum air putih yang ada di meja. Dia sangat haus saat ini, jadi mau tidak mau dia harus menahan rasa sakit itu. "Minum air aja udah sesakit itu. Gimana lagi kalau makan? Pasti sakit banget. Kasian.." ucap Angga disela-sela makannya. "Adiknya lagi kesakitan kok malah diejek sih, Ga?" Bela Zinia. Bell yang merasa sedikit senang karena dibela pun memberikan senyuman kemenangannya ke Angga. "Gausah senyum-senyum ntar makin sakit tu bibir. Makanya lain kali jangan berantem lagi. Ngga bisa makan 'kan jadinya?" ucap Angga lalu mengetuk kepala Bell pelan menggunakan sendok Bell. "Udah udah. Anya kamu makan sop ini aja. Wortel sama kentangnya biar mama potongin kecil-kecil.." Bell mengangguk. Zinia mengambilkan kuah sop ayam untuk Bell. Zinia juga memotong wortel dan kentang menjadi ukuran yang lebih kecil. Dengan hati-hati ia menyuapi anak bungsunya itu. Walau ia kesal dengan tingkah putrinya, tetapi ia juga tidak mau putrinya sakit karena kelaparan. Perlahan tapi pasti sop itu pun habis. "Jangan berantem lagi ya. Besok mama siapin bubur aja kalau masih sakit bibirnya. " ucapnya lalu beranjak sambil membawa piring-piring kotor. Bell menghela nafas panjang. 'Kalo kayak gini, bakal jadi patung deh gue besok di sekolah' batinnya. "Besok papa yang antar sekolah." Abra mengelus kepala Bell lalu mengecupnya dan beranjak dari meja makan. Saat Bell juga mau beranjak dari kursinya, tangannya dicekat oleh Angga. "Biar gue obatin lukanya. Bibi!" teriak  Angga. "Iya, den. Ada apa?" "Tolong ambil kotak P3K ya, Bi.. " jawab Angga. Bibi mengangguk dan pergi untuk mengambil kotak P3K. "Ini Den.. " ucap bibi menyodorkan kotak dengan tanda tambah berwarna merah di depannya. "Makasih ya bi.." jawab Angga dengan senyuman manisnya, bibi pun mengangguk dan beranjak pergi. Angga membuka kotak itu dan mengambil kapas juga alkohol. Ia juga menyurahkan sedikit alkohol itu ke kapas. Dengan sangat hati-hati, Angga mengobati luka adik nakalnya ini. Sesekali Bell meringis karena pedih di lukanya saat terkena alkohol. Angga sebenarnya tidak tega mendengar suara ringisan adiknya, tetapi ini semua dilakukan agar adiknya cepat sembuh. Angga lanjut mengambil kapas dan memberikan betadine. Lalu ia menempelkannya ke kening dan pipi Bell dan memberikan sedikit plester agar kapas itu tidak lepas. "Nah, akhirnya selesai juga. Besok pagi plaster yang ada di pipi boleh dilepas. Tapi yang di kening ngga usah. Soalnya itu sedikit parah dan benjol. Luka yang disudut bibir lo itu besok udah ngga bakal sesakit ini lagi. Jadi mungkin besok lo udah bisa ngomong sama makan, tapi harus tetap hati-hati soalnya belum terlalu sembuh." jelas bang Angga panjang lebar. Bell mengangguk dan beranjak menuju kamarnya. To Be Continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD