Kamu tahu kenapa aku suka dengan Kanza? Dan apa yang paling membuatku tertarik dengannya?
Jawabannya cuma satu. Dia tidak banyak bicara meski banyak masalah pasti muncul dalam hidupnya. Aku respect dengan sikap dinginnya meski sangat menyulitkan perasaanku. Karena sosok seperti Kanza takkan pernah membuatku terganggu, begitupun jadinya aku akan berusaha untuk tetap menyukainya dari jauh tanpa mengganggunya sama sekali. Meski sangat sulit untuk melakukan itu.
Bulan ini penuh harapan. Bulan kelahiranku yang meskipun tak pernah kutunggu-tunggu, tapi sering menimbulkan berbagai kebahagiaan kecil. Salah satunya adalah lagu yang ia nyanyikan di atas panggung. Lagu biasa yang terkesan lawas, jadul, dan lucu di telingaku tapi memiliki sedikit makna tersirat. Meski aku tidak tahu apakah itu ditujukam untuk urusannya di kehidupan nyatanya dibawah panggung atau tidak. Yang jelas, lagu itu jadi sangat ikonik di telingaku terhadap dia. Senyumnya, tawanya, keisengannya, meski semua itu tidak pernah ia tunjukkan untukku, tetap saja tampak sangat manis.
Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang muncul di pertengahan kisah hidupnya. Seorang Altha yang menolak seseorang yang sudah datang malah datang untuk seseorang yang tak pernah mengharapkan kehadirannya. Betapa randomnya Tuhan menganugerahkan cinta dan pilihan. Padahal aku bisa saja menerima Bian setahun yang lalu, tapi kenapa justru aku lebih memilih Kanza dengan yakin padahal Kanza tidak pernah melakukan apapun?
Tapi gak masalah buatku, aku bahagia dengan begini. Aku tidak menyesal sama sekali. Aku tidak akan menyesal meskipun nantinya Kanza tidak diberikan padaku oleh Tuhan karena pasti dia dianugerahkan seseorang yang lebih baik dari Altha supaya Kanza jauh lebih bahagia.
Cinta itu bahagia. Jika membuat sedih, itu namanya kabar duka. Kita semua pasti pernah pergi dan berkelana, tanpa sebuah tujuan jelas. Hanya pergi untuk kembali pulang. Dan dunia adalah perjalanan itu sendiri, dimana kita terus berjalan atau berlari tanpa tujuan paling jelas selain untuk kembali pulang. Dan pada perjalanan kita masing-masing, pasti kita bertemu dengan orang-orang yang juga sedang dalam perjalanan sama seperti kita dengan membawa tujuan sementara mereka. Dan jika kita bertemu seorang partner baru dalam perjalanan, maka kita akan berjalan beriringan agar perjalanan pulang terasa indah dan berarti.
Dan aku sangat ingin menjadi partnermu, begitupun aku ingin kamu menjadi partnerku. Melalui segala waktu dan ruang dalam perjalanan hidup, menggapai semua tujuan sementara kita dengan kebersamaan, saling membantu dan melengkapi hingga jalan pulang dibuka oleh Tuhan dan salah satu dari kita harus mengakhiri perjalanan ini.
Namun, bisakah? Dan mampukah kita?
Ini sangat lucu. Untuk apa aku mempertanyakan ini sementara kamu saja tak pernah mengharapkan kehadiranku di sisimu. Betapa besarnya harapan semu yang aku buat sendiri. Tapi tak apa, takkan ada yang bisa mengalahkan kekuatan ribuan doa yang dikirimkan pada Tuhan dengan seluruh pengharapan. Jika Tuhan tak memberikanmu padaku maka Ia akan gantikan yang lebih baik meski belum tentu aku bisa menerimanya seperti aku sangat ingin menerimamu.
Bulan yang spesial ini dan lagu yang istimewa, belum sempurna tanpa kata-kata yang bisa tersampaikan. Maka aku memutuskan membuat notes dalam beberapa foto dengan latar putih. Setelah membuatnya dan ingin mengirimkannya, tiba-tiba saja keraguan menyelimuti.
Bagaimana jika kamu tidak suka?
Bagaimana jika nyatanya kamu akan terganggu?
Aku malu.
Satu-satunya tempatku meminta saran saat ini hanya dua orang teman terbaikku sekaligus sahabatku, Marsha dan Sabil. Tapi sayangnya Marsha sedang sibuk dengan serentetan ujian yang akan ia lakukan untuk menyelesaikan semesternya karena program akselerasi yang dia ikuti.
“Bil. Sabil,” panggilku.
“Apa, Tha?” jawabnya.
“Sibuk gak?”
“Nggak kok, kenapa beb?”
“Ini, aku bikin ini. Menurut kamu, aku kirim ke Kanza atau nggak?”
Sabil merebut ponselku. “Serius kamu mau ngirim ini?!”
Aku mengangguk. “Tapi takut. Kamu aja gih yang ngirimin, aku takut banget dia cuma baca doang atau ngebalesnya gak enak dibaca.”
“Bener nih? Aku kirim abis itu aku arsipkan aja kali, ya?”
“Bebas deh… terserah kamu.”
Setelah itu aku melihat Sabil yang sedang mengutak-atik handphone-ku. Berharap-harap cemas karena takut akan langsung dibaca oleh Kanza. Sama sekali gak kebayang gimana malunya aku kalau ketemu lagi sama dia.
“Ceklis satu doang, Tha. Palingan nanti sore atau nanti malem dibaca.”
Aku menghela napas. Yah, setidaknya ada jeda yang panjang.
∞∞∞∞∞
Sebenarnya aku tidak terlalu ingat dengan apa yang terjadi sore itu, hanya saja yang jelas adalah Kanza hanya membaca pesanku saja tanpa membalas sama sekali. Lalu beberapa minggu setelahnya, aku kembali terganggu dengan respon sebenarnya dari dia. Dan aku mengirimkan pesan langsung saat itu juga sambil berharap-harap cemas (lagi).
Aku memang sangat payah jika dihadapkan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan Kanza. Apapun bentuknya, itu semua terasa menakutkan sekaligus menarik dalam waktu bersamaan. Aku cemas karena takut dia terganggu dan kesal, tapi aku senang karena bisa berinteraksi dengannya.
Lalu terkirimlah pesan pertanyaan yang terdengar agak bodoh di telingaku.
12 Maret
Kanza, maaf ganggu. Tapi gue masih nunggu respon lu atas text yg gua kirim di foto-foto itu
Beberapa lama tak ada respon sama sekali, lalu sekitar dua jam kemudian barulah muncul sebuah pesan balasan.
Mbb, maaf karena gak respon, sebenernya waktu pertama baca gua lagi dalam mood ga enak, ga tau seneng atau sedih setelah bacanya, tapi makasih karena udah berusaha kasih kalimat yg mungkin untuk menghibur gua dan maaf kalo udh buat lu nunggu respon dari gua..
Kalo boleh tau, setelah bacanya lu ngerasa seneng kenapa? Atau sedih kenapa?
Kalo itu sepertinya ga bisa dikasih tau, soalnya sedikit menyangkut privasi gua..
Ok, makasih krn akhirnya lu mau respon. Lu terganggu?
Iya, makasih juga atas kalimatnya
Jujur waktu itu agak terganggu
Maaf, ya
Sekarang masih terganggu?
Iya gpp, soalnya kaget juga tiba-tiba lu ngirim foto itu
Sekarang udah ngga
Maaf ya ngagetin :v
Makasih yaa
Iyaa, sama sama
Haah… untung aja dia mau bales chat gak penting dariku. Kalau tidak habislah harga diri yang selama ini kubangun susah payah! Lagian kenapa juga sih laki-laki sesempurna Kanza harus memiliki hati yang sedingin dan sekeras es balok? Mempersulit kisah cintaku saja. Lagipula kenapa juga ya aku menyukai dia? Padahal lelaki seperti dia masih bisa ditemui di tempat lain meski tidak banyak dan juga jarang. Tapi benar-benar, deh! kekurangan dia itu hanya hatinya yang sangat sulit untuk didapatkan dan diluluhkan. Ingin sekali aku menangis saking senangnya.
Aku sendiri sadar, aku bukanlah gadis cantik dengan uang banyak yang mampu membeli skincare untuk kebutuhan rutin, dan juga bukanlah gadis dengan otak yang begitu cemerlang meski memiliki IQ 144 di skala Weischler, tapi nilai-nilaiku di sekolah sangat jarang mendapat nilai bagus. Tapi aku sangat aktif di beberapa kegiatan organisasi yang membuatku paham mengenai cara memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Terakhir kali aku memiliki nilai-nilai bagus dan langganan rangking 1 itu di SMP. Entah mengapa semenjak masuk SMA daya tangkapku ketika belajar menurun secara drastis. Meskipun setidaknya aku masih memiliki motivasi untuk tetap terus sekolah dan meraih gelar pendidikan setinggi yang kubisa. Dan menyukai Kanza di masa SMA ini sungguh-sungguh terasa seperti beban sekaligus hiburan dari jenuhnya berusaha memahami pelajaran yang sulit di sekolah. Bantuan Sabil untukku dan dukungannya sangat-sangat membantu. Begitupun Marsha yang nggak lelah juga untuk memberiku ribuan saran agar tidak salah langkah.
Aku bangga dengan kedua sahabatku. Meskipun aku sedang kecewa karena aku sudah mengetahui kebusukan Bian yang menerima kembali permohonan Qarin untuk saling berbaikan dan balikan. Aku kecewa bukan cemburu karena cinta. Sumpah! Hanya saja masih menganggap Bian sebagai teman yang sangat berharga.
Tapi entahlah, bisa saja itu semua berbalik seutuhnya jika aku benar-benar muak dengan semua ini.