Bab 4: Axel

1230 Words
Yang gua tau, selama enam bulan itu, mereka berdua punya hubungan. Hubungan yang terlewat basi kalau dibilang cuma temen. Dan gua tahu hal itu H-2 pertandingan gua, dan semua mulai terasa begitu cepat berlalu sejak saat itu. Sebenernya gua udah deketin Qarin dari lama, jauh sebelum hari itu. Tapi karena gua tahu hubungan mereka, gua bilang ke Qarin kalau gua mau mundur. Bukan tanpa alasan, Bian juga temen gua, gua tahu gimana rasanya suka sama seseorang yang dekat, dan juga gua gak mau ribut perihal remeh semacam ini. Gua kira ucapan gua ini bisa melegakan dia, tapi ternyata nggak sama sekali. Di hari pertandingan gua, dia seperti memberi harapan dan kesempatan buat gua untuk masuk lebih dalam ke dunianya. Kekalahan gua hari itu bener-bener gak kerasa lagi kecewanya cuma gara-gara kalimat manisnya. “Xel, please jangan pergi. Lu serius mau jaga jarak dari gue?” tanya dia dengan raut wajah memelas dan berharap. “Gak salah lu ngasih gue harapan?” gua berusaha memastikan. Gua gak mau ada keributan uma gara-gara hal sesepele ini. Dia menggeleng. Gue menghela napas, memikirkan ada apa yang sebenarnya terjadi sampai dia harus datang dengan kondisi seperti ini, padahal gua udah benar-benar memutuskan buat menjaga jarak dengan dia. Gua melirik ke tribun belakang yang posisinya lebih tinggi dari barisan tribun gua sekarang, disana ada Bian yang terlihat memandang ke arah gua dan Qarin. “Lagi ada apa sama Bian? Bian di belakang sana, lho. Lagi ngeliat juga ke arah sini.” Dia merengek, “Gue lagi ada masalah. Please, jangan tinggalin gue.” “Yaudah, yaudah. Jangan nangis, dong. Ntar pulangnya gak ada yang mau nganter, lho!” ujarku dengan nada menakut-nakuti. “Ih, yaudah kan ada abang gojek atau grab. Gak minta lu nganterin gue kok!” ujarnya. “Lah, iya. Gojek sama grab aja gak mau nganter lu, apalagi gue.” gue berusaha menimpali supaya dia semakin ketakutan. “Lah kok gitu?” tanyanya keheranan. “Makanya jangan nangis! Kalo nangis ntar dikira anak kunti mau dianter ke kuburan gara-gara pucet terus berantakan, hahahahaha…” Buagh! Yak s**l emang gue becandainnya bukannya dapet ketawa lepas yang ada dapet sling bag melayang. Kurang asem. Mulai darisana-lah hubungan Qarin dan Bian berakhir, karena bagi gua, ini kesempatan yang ditawarkan dan gak seharusnya gua sia-siakan. Dan setelah hari itu, gua tahu banget kalau Bian nggak berhenti galau, dan nunjukkin semua itu lewat story w******p-nya. Yah gak jauh dari sindir-sindiran remahan-lah. Dan gua tau pasti kalau dia mulai curhat-curhat sama Altha. Gue gak tahu dia ngomongin keburukan gua atau nggak selama dia cerita sama Altha, semoga aja nggak meski Altha banyak banget nulis kalimat-kalimat yang bikin gua tersindir selama lagi ada obrolan di grup. Tapi hari-hari gua dan Qarin lebih baik dari yang gua bayangin, kita lunch bareng selama liburan singkat yang disebabkan ujian kelas 12 selama satu minggu penuh. Setelah hari-hari singkat yang terlewati dengan baik, tiba-tiba saja dia minta ketemuan. Kita ketemu di McDonald karena itu titik pertengahan yang mendekati rumah masing-masing, secara dia gak mau gua jemput. Setelah masuk dan menemukan meja tempat dia duduk, gua langsung jalan ke arah dia dengan ekspresi yang gua usahakan untuk terlihat normal dan sumringah meskipun gua cukup curiga. Gua tahu semalem dia lagi badmood karena Bian, dan gua gak berhasil menghibur dia dan mengerti dia. By the way, gua sama sekali gak membatasi interaksi dia sama Bian karena alasan yang dia ucapkan ke gua masalah tugas sekolah dan pelajaran, secara mereka sekelas, jadi gua rasa gua gak bisa menghalangi hal semacam itu. Gua duduk di depan dia, dan langsung menyapa, “Hai! Ada apa nih tiba-tiba ngajak ketemu?” “Hai, gua mau bilang sesuatu.” jawabnya. “Apa tuh?” “Kayaknya gue mau netral aja, deh.” Ucapnya. “Maksud lo?” tanya gua keheranan. “Ya… Gua mau netral aja diantara lu sama Bian.” Jelasnya. “Kenapa? Bukannya kalo lu begitu yang ada semuanya sakit hati? Mending lu pilih salah satu aja. Jadi cukup satu orang aja yang sakit hatinya.” Dia tertegun. Seperti berpikir. Gua berusaha memberi dia waktu yang cukup untuk berpikir sekarang juga, jadi gua pergi untuk memesan sprite dan apple pie. Gua juga jadi mikir, sebenernya dia ini maunya gimana sih? Netral dia bilang? Setelah tahu isi hati gua sama Bian dia mau main-main atau gimana? Apa motivasi dia sampai berpikiran kayak gitu? Setelah gua menyelesaikan pembayaran di kasir, gua balik lagi ke meja dan Qarin keliatan masih termenung. Tapi gua yakin dia sebenernya udah tau jawaban dia apa. Gua duduk lagi di depan dia sambil menempatkan apple pie dan segelas sprite di atas meja, dan sebelum gua minum, gua tanya dulu ke dia. “Gimana? Udah tahu mau pilih siapa?” “Well… kayaknya gue harus minta maaf deh, sama lo.” Jawabnya. “Kenapa?” “Kayaknya gua rasa lebih baik gua balikan sama Bian. Dia bisa lebih peka ke gua. Gua gak bermaksud bilang lu gak peka, Xel. Tapi ya, dia lebih dulu kenal gua. Dan lu juga yang minta gua untuk pilih salah satu. Jadi ini pilihan gua. Gua minta maaf.” Setelah itu, dia memakai tas selempangnya dan beranjak dari kursinya. Dia berdiri dan meminta maaf. “Gue serius minta maaf banget, dan gue gak bisa nemenin lu sampai selesai makan. Gue pamit duluan, hati-hati nanti di jalan.” Lalu langkahnya mengantar dia ke pinggir jalan raya dan menaiki angkutan umum. Ya, gua juga berharap dia baik-baik aja di jalan sampai rumah. tapi kalau jalan dia balik lagi sama gua, semoga terhambat terus. ∞∞∞∞∞ Dan ya, semenjak itu mereka berdua akur lagi. Dan Altha yang seharusnya sudah damai lagi sama Bian, ternyata berantem lagi. Dan Altha memilih untuk pergi. Nasibnya hampir mirip, bedanya Altha gak punya perasaan apa-apa ke Bian. Karena sebelum gua sama Qarin selesai, Qarin udah mulai chatting lagi sama Bian dengan alasannya karena pelajaran sekolah sama tugas, gua gak mau mengekang dia. Karena kalau gua mengekang, berarti gua harus bisa menggantikan posisi Bian yang sangat membantu Qarin buat belajar. Tapi ternyata disanalah jalan bagi mereka untuk balikan, seolah memperbaiki kesalahan masing-masing dan saling bertemu kembali, gua jadi merasa dikhianati. Dan soal Bian yang mengungkit-ungkit tentang uang yang dikeluarin selama dia sama Qarin menurut gua hal yang gak pantes diucapin sama laki-laki. Karena menurut gua, ya kalo punya cewek emang harus keluar duit. Selama cewek gua seneng dan mau gua beliin atau bayarin ini-itu, kenapa nggak? Dan kalo akhirnya putus, gak perlu diungkit-ungkit lagi karena belum tentu bisa balik juga itu duit. Dalam kata lain ya gua sebagai laki-laki ya malu juga dia bersikap kayak gitu. Dan heran kenapa Qarin masih mau-maunya balikan. Tapi yang namanya hati manusia ya emang gak ada yang tahu isinya gimana. Bisa berubah-ubah kapan aja, dimana aja, sesuai situasi dan kondisi yang berlaku. Untuk sekarang gua bener-bener gak mau peduli lagi sama pasangan yang baru balikan itu. Yang jelas kalau sampai salah satu ngeluhin partnernya, intinya jangan datang ke gua dan nyari solusi. Bahkan kalaupun Qarin datang lagi karena butuh bantuan lagi, gua gak akan semudah dulu untuk menerima dia. Karena hakikatnya rasa sakit adalah mengajarkan manusia dari suatu kesalahan. Dan gua gak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Meskipun gua sadar bahwa gua suka sama Qarin, tapi bukan berarti gua meneruskan kebodohan gua untuk tetap menerimanya seperti dulu. Gua sempet ngobrol banyak bareng Altha soal ini, dan gua cukup lega karena ternyata dia gak berpikiran negatif tentang gua gara-gara omongan atau curhatan Bian, dia klarifikasi ke gua sambil ngobrol santai, cerita-cerita. Dan gua rasa dia juga mengambil keputusan yang hampir sama kayak gua, yaitu dia gak bakal dengan mudahnya menerima Bian kembali ke dalam cerita hidupnya dan mengulangi kesalahan yang sama. Itu sama aja meneruskan suatu kebodohan padahal dia tau mana pilihan paling cerdas yang bisa dia ambil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD