Bab 1: Qarin

3287 Words
"Qarin cantik, Qarin imut. Qarin cerdas, Qarin pasti bisa.” Aku menyemangati diri sendiri sebelum membuka buku materi yang akan dijadikan bahan ulangan besok lusa. Aku selalu cemas sebelum ulangan harian ataupun ujian akhir. Tidak. Bahkan setiap kali mendapat tugas aku sering kesulitan mengerjakannya jika tanpa bantuan. Isi kelasku kali ini agak sedikit menyiksa karena mayoritas mereka orang-orang yang terbiasa bekerja kotor. Bukan maksudku bekerja membajak sawah atau bercocok tanam, mereka selalu mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan soal ulangan dan ujian ataupun tugas. Qarin lelah dengan semua yang ada di kelas ini kecuali satu. Bian. Dia satu-satunya orang yang berusaha membantuku menyelesaikan masalah. Aku dan Bian satu kelas tahun ini. Dan dia seperti malaikat utusan Tuhan yang ditugaskan menemaniku di kelas ini. Ah, tapi sepertinya itu kekeliruan yang dilebih-lebihkan. Lebih tepatnya, aku saat itu sengaja terlalu jujur mengenai keluhan-keluhanku pada Bian. Aku sangat berharap Bian mau membantu dan lama-lama dekat denganku. Aku tahu sejak tahun lalu bahwa Bian dan Altha berteman baik. Mereka cukup dekat katanya. Voila! Aku yang sekelas dengan Bian tahun ini. Selain itu, aku dan Bian satu kelas dengan seseorang yang sejak tahun lalu disukai oleh Altha. Lelaki yang membuat Altha menolak sosok Bian yang baik luar biasa. Padahal lelaki itu sangat-sangat dingin. Lelaki itu baik, namun buruk dalam merespon hal-hal sensitif seperti perasaan lebih yang muncul dalam hati. Altha pernah bilang padaku, seolah ia ‘menitipkan’ lelaki ini padaku. Sebuah kesempatan besar sebenarnya untukku agar bisa mendekati lelaki ini saja. Secara, lelaki ini sebenarnya secara visual memang menarik. Sungguh tampan (aku tidak melebih-lebihkan), bertubuh tinggi proporsional, dan memiliki bakat dalam musik (ya setidaknya dia memiliki bakat yang memukau meski tidak pandai dalam belajar). Aku dan Altha akrab sejak awal tahun ajaran yang lalu. Aku tahu banyak sekali hal mengenai Altha. Aku tahu siapa orang pertama yang mendekati Altha, dan berakhir (hampir) jadian denganku. Aku tidak habis pikir mengapa Altha sungguh aneh. Menyukai lelaki yang tidak memberi respon padanya sama sekali, dan mengabaikan orang yang sudah sukarela datang menawarkan perlindungan. Seperti Bian. Aku tahu, Bian menyukai Altha. Aku tahu dengan pasti mengapa Bian menyukai Altha dan rela menjadi ‘mak comblang’ bagi Altha dan lelaki yang disukainya. Bian bilang ia akan ikut bahagia jika Altha bahagia meski bukan karena Bian. Sebuta itu jatuh cinta, nyatanya. Tapi ternyata, di September ini, aku sadar. Ini sudah beberapa bulan setelah aku menjalin pertemanan yang cukup dekat dengan Bian. Dan aku sudah tidak pernah lagi mengobrol dengan Altha. Secara online maupun tatap muka. Biasanya kami membicarakan hal-hal penting hingga hal yang sama sekali tidak perlu dibahas. Aku menatap buku Fisika di depanku lalu membuka ponsel. Membuka ruang obrolan dengan Bian dan memulai sapaan. Baru saja sapaan, status Bian langsung Online. Aku tersenyum. Ini terasa seperti les online privat. Les online privat dengan guru yang sudah aku kenali dengan cukup baik, setiap hari bertemu di kelas, teman bicara juga, dan yang pasti dia mampu membuat aku nyaman untuk terus berada di dekatnya. Tapi sayangnya, butuh waktu cukup lama untuk bisa mendapatkan hati Bian seutuhnya, karena kenyataan yang aku ketahui dengan pasti adalah bahwa Bian menyukai teman dekatku. Namanya Altha. Semua hal yang ada pada Altha cukup membuat aku iri, meski dia selalu mengaku bahwa dia tidak cantik sama sekali, tapi orang bilang, dia punya karakter dan ciri khas tersendiri. Pesona yang berbeda namun mampu memikat beberapa orang. Salah satunya adalah Bian. Dan aku cukup bersyukur saat ini karena tahun ajaran ini, aku ditempatkan di satu kelas yang sama dengan Bian. Aku akui, aku memang kesulitan menjalani program belajar. Kegiatan belajar di kelas tidak cukup untukku, namun aku tidak suka bimbel – aku sudah pernah mencoba bimbel online maupun offline, dan itu semua sama sekali tidak membantu. Serentetan tugas dan remedial akan datang menghantui hari-hari sekolah, tapi aku juga benci untuk libur terlalu lama dan berada di rumah yang sesak. Sesak dengan omelan bunda dan jeritan tangis anak kecil perempuan yang selalu kupanggil adik. Membosankan. Maka, semua fantasiku yang bisa menjadi nyata hanya ada di sekolah. Aku cukup suka membaca novel teenlit atau teenfiction. Menceritakan drama-drama romantis ala anak sekolah yang penuh dengan gelombang dan gejolak. Aku jadi berusaha, bagaimana caranya supaya kisahku di sekolah bisa terwujud dengan indahnya seperti di buku-buku yang aku baca. Tapi sayangnya, lagi-lagi justru yang merasakan gejolak-gejolakk tersebut adalah Altha, dan aku sebagai perantara. Kuberi tahu, lelaki yang diincar oleh Altha hingga dia mengabaikan perasaan Bian ada di kelasku juga. Namanya unik dan indah, sama seperti pemiliknya. Alfi Kanza. Panggilannya Kanza, untuk seorang laki-laki berumur 17 tahun di kelas ini dengan postur tubuh tinggi ideal dan wajah yang cukup rupawan, memainkan senar gitar dan menggetarkannya untuk membuat nada-nada indah mengarungi seluruh udara di sekitarnya lalu membuai semua orang dalam alunan musiknya. Kanza yang humoris dan impulsif, namun memiliki sisi misterius tersendiri dan memancarkan aura misterius yang khas dari punggungnya. Betapa sempurna kedengarannya sosok Kanza, bukan? Aku tahu juga beberapa bulan lalu dari Altha sendiri bahwa dia foto bersama dengan Kanza – meski katanya tidak hanya berdua, tapi mereka mengambil foto tersebut di momen yang indah. Hari penampilan pertama dari Kanza dan kawan-kawannya di atas panggung pentas seni sekolah, membawakan satu lagu  yang cukup memukau. Permainan gitar yang keren dan memikat, meski terlihat tidak peduli dengan penonton, tapi aku bisa tahu kemana arah bola matanya sering melirik selama dia berada di atas panggung. Dan aku tidak sebodoh itu untuk tidak yakin bahwa tatapan yang dilayangkan Kanza berulang kali itu ke arah Altha yang berdiri menonton penampilannya dari pinggir lapangan dan agak jauh dari panggung. “Bian, besok hari Sabtu. Sorenya bisa ajarin gue materi matematika peminatan hari selasa kemarin gak?” aku bertanya pada Bian sambil membereskan buku-buku diatas meja. “Bisa. Sama siapa aja?” tanya Bian. “Gue gak mau ya, kalau kita cuma berdua. Setidaknya lu cari temen sesama cewek. Biar gua coba ajak Remi nanti.” lanjut Bian. “Yaudah, kalau lu bareng Remi, gue ajak Dara aja,” jawabku. “Oiya, gue nitip beberapa buku paket gue di loker lu, dong. Loker gue dibawah, ribet banget.” rengekku sambil berharap Bian meminjamkan kunci beserta lokernya yang memiliki posisi yang cukup tinggi dan tidak merepotkanku dengan mengharuskan diri untuk berjongkok dan memasukkan barang-barang ke dalamnya. Bian merogoh sakunya, lalu setengah melemparkan kunci lokernya yang digantungi aksesoris simpel sebagai penanda. Aku menangkap kunci tersebut dan sedikit mengangkatnya dengan tanganku. “Gue numpang dulu ya, Bi.” Bian mengangguk, lalu berjalan keluar kelas lebih dulu sambil menggendong tas ranselnya dengan sebelah pundak. Lalu kulihat dia membenarkan posisi tangannya untuk menggendong tas diatas kedua pundaknya sambil menyusuri lorong dan berbelok ke tangga di sebelah kiri.  Aku mengakui bahwa Bian sosok yang manis. Ditambah dia bisa memberi pengertian dan perhatian untuk orang lain. Tapi setiap kali aku memikirkan hal itu, aku akan semakin tersulut dan kesal dengan Altha. Betapa tidak bersyukurnya perempuan itu. Sudah mendapatkan Bian yang mudah memberi hatinya untuk Altha, Altha justru menginginkan sosok lain. Terlebih, sosok itu adalah teman Bian sendiri. Padahal aku tahu pasti, bahwa Altha dan Bian lebih dulu saling kenal dibanding Altha kenal dengan Kanza. Kedekatanku dengan Bian semakin maju sejak bulan September. Melewati hari-hari terberat di sekolah bersama, menyelesaikan banyak bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, bahkan mengisi waktu luang dan jam-jam kosong di kelas bersama. Topik pembicaraan yang hampir tak ada pernah ada habisnya, atau hanya sekedar berdebat mengenai materi yang baru disampaikan guru. Lalu semakin lama aku mengenal dan dekat dengan Bian, semakin terasa bahwa hati ini masih juga belum mampu menata dengan baik isinya. Aku sadar betul bahwa Bian masih menjaga komunikasinya bersama Altha dengan cukup baik. Bahkan di setiap kali aku sedang cerita dengan Bian, entah curhat atau sekedar melucu di depannya, jika saat itu ia sedang mengobrol dengan Altha dalam ruang obrolannya, penuturanku bisa saja takkan sampai didengar olehnya. “Bi, jadi menurut lu, gue harus gimana?” tanyaku setelah selesai menuturkan ceritaku. “Ah? Soal yang mana?” tatapan Bian masih terarah ke ponselnya dan jari-jarinya masih asyik menari diatasnya, mengetik sesuatu. “Lu gak dengerin cerita gue, Bi?” “Denger, Rin. Tapi kan lu cerita panjang banget,” jawabnya. “Lagian menurut gue gak ada yang salah sama cerita lu.” lanjutnya. “Oh gitu? Gue selama ini dideketin sama Axel, tuh bukan masalah di mata lu, Bi?” aku mulai protes dan jengah dengan sikap Bian yang seperti ini. “Ya emang kenapa? Axel suka sama lu, Rin. Udah jelas, ‘kan? Terus kenapa lagi? Lu jadinya tinggal milih terima atau tolak aja bukan?” sahut Bian. Jemarinya masih juga menari diatas ponselnya seperti disihir untuk tidak pernah berhenti dan menyimpan atensinya untukku sekarang. “BIAN!” Kulihat dia terbelalak. Dan detik itu juga dia baru berhenti mengetikkan sesuatu dan mematikan ponselnya. “Gue bentak dulu, ya, supaya lu mau dengerin gue dan berhenti texting Altha?!” aku masih belum bisa menguasai emosi yang ada di dalam diri dan nada bicaraku masih di level yang tinggi. “Kenapa lu jadi gini, sih, Rin? Yang butuh gue saat ini gak cuma lu, Rin. Gue mohon pengertian lu,” ucap Bian. “Tapi bisa gak sih, lu dengerin gue dengan seksama? Gue butuh juga saran lu,” nada bicaraku mulai merendah dan terdengar seperti ingin menangis. Aku berusaha menahannya dan melanjutkan bicara. “Altha itu gak ada perasaan apa-apa sama lu, Bi. Kenapa lu masih aja berusaha sekeras itu sih?” tanyaku. “Rin, lu tahu sendiri gue suka sama Altha. Dia juga masih berhubungan baik sama gue dan gak bikin suasana satu sama lain jadi canggung. Jadi buat apa gue ngejauhin dia sekarang?” tanya Bian. “Bi, lu sendiri juga tahu siapa orang yang disukai Altha ‘kan? Kenapa masih bersikap kayak orang bodoh sih?” tanyaku setengah berbisik. Bian terpaku. Diam seribu bahasa. “Gue gak suka lu deket sama gue tapi juga deket sama Altha. Gue iri banget sama Altha.” Setelah mengucapkan itu, gue keluar dari kelas menuju kantin. Berharap mendapatkan sesuatu yang bisa mendinginkan kepala sekaligus menahan isakan tangis yang hampir tidak bisa aku tahan. Semua hal yang gua inginkan, semua hal yang gua suka selalu aja ada bayang-bayang Altha disana. Seolah semua urusan gue yang gue punya ada urusannya sama Altha juga. Aku gak pernah bisa jadi yang nomor satu sebelum Altha. Selalu saja di nomor dua-kan dan posisiku menjadi orang ketiga. Kamu pikir aku mau menjalani ini semua? Kamu kira aku senang menjalani semua hal yang kurang ajar seperti ini? Aku hanya terpaksa menjalani semua yang terjadi padaku karena tidak akan ada jalan lainnya untukku.   Kenapa hampir semua keinginan aku di sekolah ini di renggut sama Altha? ∞∞∞∞∞ “Rin, kenapa sih sampe sekarang masih ngambek sama gue cuma gara-gara Altha? Sebelumnya lu gak gini, lho.” Bian menghentikan langkahku di lorong depan kelas. Padahal ini masih pagi, tapi kalimat yang terlontar dari mulut Bian barusan benar-benar merusak mood-ku hari ini. “Ya kalo gue gak suka lu deket sama dia apa harus lebih jelas lagi alasannya?” Bian menghela napas. “Lu iri sama dia karena apa sih?” tanya Bian. “Selama ini lu gak sadar? Gue rasa semua kebahagiaan yang gue mau tuh ada semua di Altha, Bi. Seolah semua hal yang gue mau justru Altha yang dapetin, bukan gue!” Aku setengah berteriak menuturkan semua rasa yang mengganjal karena menahan tangis. Bian tersentak dan melemparkan tatapan heran ke arahku. “Bukan harusnya lu yang belajar bersyukur jadi diri sendiri? Kalau Altha selalu bahagia dan bisa dapetin semua, Altha gak bakal sekeras itu berusaha dapetin hatinya Kanza yang gak pernah jelas ada buat siapa!” Aku tertegun. Tapi egoku jauh lebih tinggi dan lebih sulit dikontrol dari pernah aku kira. Karena soal keinginan Altha akan Kanza jauh berbeda dari semua keinginanku yang Altha dapatkan. Aku melanjutkan langkahku untuk masuk ke dalam kelas yang masih cukup sepi pagi itu. Mood-ku benar-benar lebur, Bian kalau sudah menyebalkan benar-benar membuat kesal dan sakit hati. Tapi memang cukup aneh juga karena pada nyatanya aku akan mudah memaafkan dia lagi. Memaafkan dia atas kesalahan serupa untuk kesekian kalinya. “Biar lu gak marah lagi, besok siang gue mau ajak lu nonton di bioskop. Mau?” Tiba-tiba aja Bian ada di depan meja aku. Mendengar tawaran yang cukup menyenangkan dan bersifat moodbooster, aku langsung menganggukkan kepala tanpa banyak berpikir. Padahal baru aja dua hari yang lalu aku gak sengaja nyeletuk kalau aku mau nonton film romance yang baru aja rilis. Bian bisa peka kalo dipaksa, nih. “Yaudah, besok gue tunggu di bioskop jam 1, ya. Jangan telat.” Lanjut Bian. “Hm,” jawabku. “Ayo keluar, gue mau pulang. Gue anter ke kelas Altha mau? Ada rapat kan abis ini?” Ohiya! Aku hampir lupa sama rapat panitia Ujian Kenaikan Tingkat yang mau diadain sebentar lagi untuk ekskul silat. “Ayo!” sahutku sambil meraih tas yang ada di samping bangkuku. Tapi tiba-tiba saja, seseorang mengetuk ruang obrolan di w******p. Dengan kontak bernama ‘Axel’. Iya, dia Axel. Mantan teman sekelas Altha yang suka denganku. Dia juga satu ekskul denganku sejak tahun kemarin. Tapi akhir-akhir ini aku baru tahu kalau dia menyimpan rasa untukku. Namun sayangnya, posisiku sekarang sangat tidak mendukung untuk merespon perasaan Axel. Axel: Rin, ikut rapat kan? Ini gue jawab apa kagak ya? pikirku. Iya. Otw nih Axel: Oke Jujur saja, Axel jauh lebih perhatian dibanding Bian. Karena perhatian Axel tidak dibagikan ke orang lain selain aku. Itu satu-satunya keinginanku, menjadi satu-satunya bagi seseorang. Bian benar-benar tidak sanggup berbuat begitu saat ini. Dia memberi banyak kepercayaannya untukku, tapi perhatiannya masih terbagi untuk orang lain–untuk Altha. Axel secara fisik memang bukan bentuk yang diinginkan banyak perempuan pada umumnya, sih. Tapi sejauh yang akhir-akhir ini aku tahu, dia sedang melakukan suatu program untuk memperbaiki penampilannya. Mulai dari workout, pola makan, kebiasaan, dan lain-lain. Banyak yang dia ubah akhir-akhir ini, dan hasilnya cukup memuaskan. Bulan depan Axel akan turun ke event pertandingan dengan sistem prestasi, otomatis jadwal latihannya bertambah dan semakin ketat, ditambah keharusannya untuk menurunkan berat badannya untuk masuk ke kelas kategori tandingnya untuk memenuhi kualifikasi peserta. Dan frekuensi obrolanku dengan Axel semakin besar–meski tidak sebesar frekuensi obrolanku dengan Bian dalam sehari. Namun setidaknya, dapat terhitung paling minimal satu kali dalam sehari kami mengobrol. Menanyakan hal-hal dekat yang kadang tidak terlalu penting. Ah, satu lagi, selain perkembangan Axel yang cukup pesat di ekskul, dia juga orang yang mudah belajar. Seperti contohnya, gitar. Dia bisa memainkan beberapa lagu setelah belajar gitar secara otodidak hanya selama 2 bulan. Bukan hal spesial sebenarnya, banyak orang yang bisa begitu, tapi terkadang hal-hal tersebut bisa dibilang cukup memikat, bukan? Dan itu yang bisa ada pada diri Axel. Aku juga yakin bahwa tahun ajaran selanjutnya dia pasti berpenampilan jauh berbeda dari saat ini. “Bian, gue mau pinjem jaket lu dong. Boleh gak?” “Kenapa emang? Kedinginan?” Dia malah nanya balik. “Gak enak badan aja. Terus ini keliatannya mulai mendung. Takutnya ntar pulang kemaleman. Boleh gak?” tanyaku lagi. “Iya, boleh. ambil aja di loker. Kuncinya kan ada di lu.” “Thanks!” ujarku sambil berbalik ke kelas mengambil jaket Bian di loker. Kulihat Bian hanya mengangguk sebelum aku pergi kembali ke kelas. Hari itu, sekolah terasa berlalu dengan baik tanpa halangan, aku mulai berbaikan dan kembali akrab dengan Bian. Bian menjawab pesan-pesanku dengan cepat, yang artinya dia tidak sedang mengobrol dengan orang lain selain aku. Kalau kalian bertanya kenapa aku bisa bersikap begini dan apakah aku pernah merasa bersalah karena menjalani hal-hal seperti ini, jawabannya tidak. Karena Bian dan Altha tidak pernah benar-benar menjalin hubungan. Mereka tidak pernah jadian sama sekali dan aku tahu pasti bahwa perasaan Bian bertepuk sebelah tangan selama Kanza masih hidup di sekitar Altha. Besoknya aku tetap menonton film dengan Bian, berjalan cukup lancar dan aku tidak mengeluarkan banyak uang karena tiket menontonnya dibayar Bian. Baik kayak gini kalo lagi jinak, gimana aku gak baper coba? Aneh-aneh aja Altha nolak cowok sebaik ini demi cowok sedingin gunung es kayak Kanza. Bahkan aku diantar pulang sama Bian sampai depan pagar. Meski cuma naik motor, tapi masih mending dia mau nganter aku pulang, iya gak sih? ∞∞∞∞∞ Hari demi hari berlalu, dan aku tahu. Bian sudah tidak lagi bicara dengan Altha. Rupanya aku semakin berharga baginya, begitu yang kurasakan. Lalu tidak ada lagi pertengkaran yang harus terjadi pada kami berdua. Hari-hari berlalu mendekati hari pertandingan Axel dan semua orang terasa semakin antusias. Dan entah kenapa, Axel tiba-tiba memutuskan untuk mundur atas perasaannya padaku. “Rin, gue mundur, ya. Gue rasa seharusnya cukup ada Bian untuk lu.” Aku sadar, memang sejauh ini aku hanya mengabaikan perasaannya. Hanya berusaha menerima tanpa membalas meski hanya sedikit. Lalu sekarang dia memutuskan mundur semestinya adalah suatu hal yang wajar. Tapi kenapa aku merasa hampa semenjak kepergiannya? Aku merasa ada ruang kosong di hatiku. Yang biasanya hangat, kini terasa redup dan mendingin. Aku mulai bertanya-tanya apakah semestinya selama ini adalah Axel dan bukan Bian? Axel menyatakan mengalah atas diriku dua hari sebelum pertandingannya, dan aku rasa itu sulit. Aku benar-benar takut bebannya untuk merelakanku dengan Bian akan sangat berat sedangkan dia harus berjuang untuk pertandingannya membawa nama tim. Pertandingan hari pertama Axel berlangsung hari senin, yang berarti dia semestinya membutuhkan surat dispensasi. Sore itu, setelah bel pulang berbunyi dan semua anak berhamburan keluar kelas, sebagian besar anggota ekskul silat berencana untuk datang ke GOR tempat tim ekskul kami tanding. Bian gak bisa datang sore ini, dan aku pergi berdua dengan Anna menggunakan angkutan umum. Agak sulit karena ada area yang tidak dilewati oleh angkutan umum ke arah GOR, dan kita berdua berangkat terlalu sore, alhasil gak ada lagi yang bisa diajak berangkat bareng. Ketika aku dan Anna sampai di area terakhir menuju GOR, aku memutuskan untuk menghubungi Altha dan meminta dua orang cowok jemput kita berdua naik motor. Gua sama Ann udah hampir sampe, tapi gak ada ojek Ada yang bisa jemput ga? Altha: Gatau bntr Altha: Nala sama Rara mau tanding. Pasa sibuk bantuin Oh yauda Mau gak mau, kita berdua jalan kaki lumayan jauh buat sampai ke GOR. Aku udah lupa juga kita berdua ngobrolin apa selama jalan kesana. Tapi Ann tipikal yang cukup mudah bergaul dan banyak bicara, jadi selama berjalan kaki kesana nggak terlalu terasa membosankan. Ketika sampai, arena pertandingannya cukup ramai dan sepertinya menegangkan. Pertandingan prestasi benar-benar menegangkan sebenarnya. Dan sangat banyak atlet-atlet yang sudah mahir berpartisipasi dalam ajang seperti ini. Sebenarnya, jadwal tanding Axel masih jauh – bahkan namanya tidak ada di jadwal tanding hari ini. Tapi aku sengaja datang supaya besok tidak terlalu canggung atau banyak bertanya soal hari pertama. Aku lihat Altha sedang berdiri di pinggir tangga menghadap ke arena pertandingan. Terlihat di seberang sana ada Nala yang sedang bertanding. Dan Altha tidak berdiri sendirian, Altha berdiri di samping Mada dan bersorak menyemangati Nala. Untuk beberapa tendangan telak yang diberi Nala, dan tiga kali bantingan sempurna yang dilakukannya, Nala menang dan lolos ke pertandingan selanjutnya. Baru satu langkahnya menuju semifinal sedangkan untuk mencapainya, Nala harus memenangi dua pertandingan. Tidak jauh dari itu, Altha pamit pulang lebih dulu. Ya, memang sudah sore dan mendung diluar. Aku juga memutuskan untuk pulang. Semoga saja besok pagi, aku diizinkan lagi untuk datang kesini. Aku bosan dengan Bian. Biarkan kali ini aku menjadikan Axel tujuanku. ∞∞∞∞∞ “Xel, please jangan pergi.” Seketika raut wajahnya berubah. “Gak salah lu ngasih gue harapan?” Hei, memangnya suatu kesalahan dan ketidaktepatan untukku jika memberi harapan? protesku dalam hati. Aku menggeleng. Axel menghela napas. “Lagi ada apa sama Bian? Bian di belakang sana, lho. Lagi ngeliat juga ke arah sini.” “Gue lagi ada masalah. Please, jangan tinggalin gue.” Aku berusaha memohon. Ya, permohonanku adalah sebenar-benarnya yang kurasakan. Kehampaan ketika dia bilang bahwa dia memutuskan untuk mundur karena aku memiliki Bian, padahal sebenarnya aku tidak pernah benar-benar memilikinya. Sorry, Bi. Gue jenuh banget sama lo. ∞∞∞∞∞               Al, mungkin lu emang segitu bencinya sama gue, sampai semua yg gue lakukan lu anggap negatif. Gini ya, gua gak bermaksud jauhin lu. Gue emang rada cuek sama lu karena ya, gue rasa kita sama-sama udah punya tempat nyaman kan? Dan gue emang sempat cemburu soal kedekatan lu sama Bian, tapi cemburu gue sebatas karena gue takut kehilangan. Gue emang dari awal udah feeling kalau lu berdua itu jodoh, makanya gue selalu minder sendiri. Kalau emang ada masalah sama gue, gausah sindir gue. walaupun gue gak respon tapi gue juga punya otak buat mikir. Kalaupun lu belum bisa maafin gue, gak apa-apa. Gue minta maaf kalau gue emang jahat sama lu, terserah lu mau maafin gue atau gak. Makasih. (sent)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD