JILATAN 87

1101 Words
Kenyataan yang dilihatnya mengguncang Lathi. Sebenarnya dia tidak begitu berharap bahwa orang mati dan organnya dicabut satu-satu bisa hidup lagi seperti Dila yang dilihatnya sekarang. Lathi adalah gadis pemberani. Dia tidak takut dengan monster apalagi hantu. Tapi melihat langsung Dila yang sudah merona lagi pipinya, membuatnya gemetaran. Mengerti Gugun, Pak Hendra hampir saja menekan nomor telepon rekannya lalu dia urungkan. Dia melihat Gugun begitu bahagia bisa bersama Dila lagi. kenyataan yang dilihat Pak Hendra juga mengguncang jiwa dan raganya. Efeknya lebih dahsyat dari yang menimpa Lathi. Pak Hendra tercengang, bengong begitu lama sampai tak sadar bahwa Gugun sudah membimbing Dila berjalan masuk ke kamarnya. Gugun minta bantuan Lathi untuk menemaninya memakaikan baju. Lathi juga perlu waktu ketika Gugun memanggilnya. “Lathi… bantu aku di kamar ya?” sebut Gugun lirih. Lathi yang melihat bentukan tubuh Dila tadi sebelum Gugun menyelimuti Dila pakai jaket, sekilas membandingkan dengan miliknya. Dia gugup, jari yang tadi malam dia gunakan untuk mencolok kemaluan Dila bergetar. Lathi terdorong refleks menghirup jari telunjuk dan tengahnya itu. Tidak ada bau apa-apa. Lathi tersadar ketika Gugun memanggilnya lagi. “Lathi, ayo,” pinta Gugun, dia sudah mengajak Dila berdiri. Dila sendiri belum bisa bicara. Pandangannya masih kosong. Saat datang tadi tubuh tanpa busananya penuh kotoran. Bercak darah dari kamar jenazah masih ketat membungkus tubuhnya. Bahkan garis bekas sayatan di dadanya masih tampak meski Lathi yakin sudah tertutup sempurna. Lathi penasaran, apakah di dalamnya sungguh ada organ? Lathi bergerak. “Oh iya, Gugun, maaf,” kikuknya. Lathi membantu Gugun merangkulkan tangan ke Dila supaya bisa dituntun berjalan. Gerak kaki Dila tak karuan, dia menyeret-nyeret kakinya dan patah-patah. Akhirnya Gugun mengangkat tubuh Dila dan membopongnya. Jaket Gugun jatuh, menampakkan lagi tubuh polos Dila yang penuh bercak darah. Harus Lathi akui, bila dilihat secara dekat, tubuh Dila sangat bagus. Apalagi buah dadanya. Lathi sangat gemas. Pucuknya mencuat kemerahmudaan gelap. Lathi mengusir bayangan melanturnya itu dan memungut jaket Gugun dan memasangnya kembali ke tubuh Dila. Gugun membaringkan Dila di tempat tidurnya. “Lathi, siapkan air hangat seember dan waslap yang banyak, atau handuk, atau apalah,” pinta Gugun. Lathi mengangguk. “Siap, Gugun.” Di ruang tamu, Pak Hendra akhirnya tersadar, dia menjatuhkan badannya untuk duduk di sofa. Tatapannya kosong mengarah ke bekas b****g Dila di sofa.  Kerutan sofa kulitnya membekas. Kepalanya jadi pusing. Dia tak lagi punya pegangan pada kenyataan. Keajaiban yang disaksikan sungguh keterlaluan. Tangannya gemetaran. Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah reaksi yang sudah lama tak dialaminya semenjak pertama kali dulu sekali dia melihat tubuh manusia tercerai berai akibat dilindas kereta api. Dia tahu, gemetar berlebihan tanpa muntah ini jauh lebih buruk dari yang dulu pernah dialaminya. Bagaimana bisa? Gugun yang terluka parah sampai lehernya robek dan dadanya penuh cakar entah makhluk apa di studio band, bisa menutup lagi luka-lukanya dalam satu malam. Lalu Dila yang nyata-nyata sudah disaksikannya tewas dan sudah dibedah di kamar jenazah, dan tadi pagi pihak rumah sakit ribut karena jenazahnya hilang, eh hidup kembali dan sekarang ada di rumahnya. “Ini mimpi,” Pak Hendra menyangkal realitas yang didapatinya. Pak Hendra mulai mencubit tangannya, menampar wajahnya, meninju keningnya, menjotos dadanya. Semua terasa sakit. Bahkan sampai saat ini, dia masih yakin kalau ini mimpi. Mimpi yang kelewat nyata sampai-sampai menyertakan sensasi sakit. Pak Hendra meraih pistol di sabuknya. Mengecek isi pelurunya. Lalu mematikan kunci aman. Dia mengokangnya. Lalu mengarahkan moncong ke mulutnya. Jika mati dengan cara mengejutkan dalam mimpi, dia pikir itu akan membangunkannya di sisi lain realitas. Realitas yang sesungguhnya. Realitas yang normal. Lathi yang baru selesai membawakan seember air hangat beserta handuk, menggeletakkan ember itu di lorong batas antara ruang tamu dengan kamar Gugun. Lathi berlari untuk mencegah Pak Hendra melakukan tindakan fatal. Lathi bergerak perlahan dan hati-hati, gerakannya cepat tapi tidak menapak dan menimbulkan bunyi atau getaran. Dia berhasil melucuti pistol Pak Hendra. Pak Hendra kaget. Dia menganga sampai meneteskan air liur. Lathi menendang pistol sampai masuk kolong sofa. “Pak Hendra, tolong jangan buat Gugun bersedih,” pinta Lathi. Pak Hendra menangis. “Katakan Lathi, ini hanya mimpi.” “Tidak Pak Hendra, ini kenyataan.” Lathi sedikitnya paham dengan yang dialami Pak Hendra. Ini terlalu berlebihan bagi manusia biasa seperti Pak Hendra. “Pak Hendra istirahat dulu ya. Nanti ketika bangun, apa pun yang Pak Hendra lihat, itu adalah kenyataan. Realita yang mesti diterima.” Pak Hendra mengangguk, dia menurut saat Lathi membimbingnya untuk berbaring. Dia memejamkan mata, mengatur napas dan seketika terlelap. Dia terlalu lelah. Lathi kembali lagi ke kamar Gugun. Dia meletakkan embernya dekat tempat tidur di samping Gugun yang lagi menemani Dila. Dila sendiri masih menatap kosong ke langit-langit. Lathi memerhatikan d**a Dila naik turun tanda bernapas. Itu artinya di dalam tubuh Dila ada paru-parunya. Gugun yang sembab mundur untuk membiarkan Lathi membersihkan tubuh Dila. Lathi mencelupkan waslap ke air hangat, memerasnya, lalu mulai mengusap Dila mulai dari wajah. Wajah Dila kini dia sadari kelihatan cantik. Lathi heran kenapa dia membencinya dulu. Lathi dengan lembut membersihkan area leher jenjang Dila. Rasanya Lathi ingin mengecup leher itu. Dia ingat bagaimana Gugun menjelajahi leher itu dengan penuh hasrat. Lathi menarik napas, mengendalikan gejolak ganjil dalam dirinya. Ini tidak boleh diteruskan, entah apa pun itu. Gugun tidak bisa menunggu diam. Dia mencelupkan handuk juga ke air hangat dan membantu membersihkan bagian kaki. Dengan adanya Gugun ikut membantunya, Lathi jadi bisa mengalihkan pikirannya dari hasrat yang tidak-tidak. Apakah mungkin gejolak hasrat ganjil ini terbit karena rasa bersalah? Lathi berusaha menekan gejolak ganjil di balik d**a dan dekat pusarnya ketika menyeka kotoran dari belahan d**a Dila. Lalu dengan hati-hati juga dia menyeka bagian s**********n Dila. Jangan sampai dia keceplosan jahil memasukkan tangannya ke lubang itu. Gugun sudah selesai membersihkan kaki Dila dari ujung jari sampai paha. Lathi kemudian memiringkan tubuh Dila supaya bisa membersihkan tubuh bagian belakangnya. Melihat punggung yang mulus itu Lathi jadi berdegup kencang. Rupanya bagian punggung bisa juga membangkitkan hasrat ganjil ini. Lathi semakin sulit bernapas kalau begini. Lathi sudah cukup dewasa untuk mengerti urusan persebadanan. Dia jadi ingat waktu kecil pernah tak sengaja menyaksikan Sekaryani dan Manjani beradu tubuh, mulut, dan lidah. Apakah itu yang sedang terjadi padanya sekarang ini? Pemicu untuk melakukan itu. Tubuh Dila sudah selesai diseka kotorannya. Sekarang dia bisa dibawa ke kamar mandi. Lathi tadi sudah menyiapkan kolam mandi untuk Dila. Airnya sudah dicampur sabun. Aroma tubuh Dila tadi masih menyisakan aroma mayat. Gugun membopong Dila ke kamar mandi. Dia membiarkan Lathi melakukan tugasnya. Gugun menunggu di luar. Dila sudah berendam. Matanya masih menatap lurus kosong. Lathi mulai meneteskan cairan sampo ke rambut Dila dan menggosok-gosoknya. Lathi kaget ketika akhirnya Dila menengok. Tatapannya tajam ke Lathi. “Aku tahu apa yang kau lakukan,” kata Dila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD