JILATAN 88

1017 Words
Sastro bengong seketika. Padahal dia baru saja mengeluarkan koper itu. Tangannya belum siap untuk mencengkeram erat-erat. Dia bahkan tidak kedengaran bagaimana Bik Muyah misuh-misuh tak karuan. “Dancok dancok picek matane!” Bik Muyah menginjak-injak trotoar. Sekuriti depan pintu bank itu mendekat. Bik Muyah minta tolong ke sekuriti. “Tolong kejar itu maling!” Sekuriti bingung. “Tapi.. tapi, saya lagi tugas jaga.” Sastro mendengar derum motor itu. Mereka memang secepat kilat. Sastro seketika sadar. Dia menoleh ke kiri, motor jambret itu sudah seratus meter jauhnya. Sastro melempar tasnya ke Bik Muyah, dia kemudian tancap langkah seribu. “Berhenti kalian!” Sastro memungut batu sebesar mangga. “Hentikan mereka, hentikan, jambret!” Orang-orang yang ada di halte, menoleh, mereka baru paham ketika ada dua orang di atas satu motor membawa koper hitam. Salah satu penunggu halte mengambil batu dan melempar ke jambret. Tapi tidak kena. Bik Muyah tidak mau ketinggalan, dia ikut mengejar Sastro. Sekuriti yang bingung dan tidak enak dengan protes Bik Muyah, akhirnya mengikuti. Bik Muyah lari dengan canggung karena harus mengangkat jariknya. Sastro yang terbiasa berlari pagi, kecepatannya stabil. Para penunggu halte ikutan berseru membantu Sastro, “tangkap mereka, jegal mereka, jambret itu!” seru mereka sambil menunjuk. Para jambret mendekati tempat para supir angkot ngetem. Supir yang mendengar peringatan dari para penunggu halte, mencoba menghadang jambret itu, tapi dengan lihai jambret itu melewati mereka. Sastro menggenggam batu itu, dia pernah jadi juara lembar cakram. Dia memanfaatkan momentumnya saat berlari, badan memutar, lengan mengambil ancang-ancang, hiakkk, dia lempar batu itu berharap dapat menjaga jarak seratus meter. Sayangnya tidak kena. Justru mengenai kaca jendela angkot. Si supir misuh-misuh, tapi tidak lanjut marah karena melihat upaya Sastro mengejar jambret. Bik Muyah yang teramat kesal, menjumput daun dari taman di pinggir trotoar. Dia menjampi-jampi rumput itu demi bisa mengaktifkan kutukannya. “Keserempet truk jambret!” Seketika seperti ada kilatan yang membutakan mata sedetik. Sekuriti linglung, dia berhenti berlari, pusing, ngos-ngosan. Sementara Sastro malah terjerembab akar melintang dari taman di sebelah trotoar. Dia berguling-guling, kepalanya terantuk batu. Orang di halte menolongnya. Para supir angkot dan halte berikutnya pada menoleh ke kiri, dua ratus di depan terdengar suara begitu keras. Tabrakan. Awal panjang sebuah bunyi decit rem, pasti menyusul tabrakan. Yang ditabrak sampai ringsek dan tulang-tulang patah dan tengkorak lumat adalah dua jambret itu. Buru-buru semua orang menyerbu tempat kejadian. Di sebuah prapatan. Sepasang jambret itu tadi tidak mengindahkan lampu merah. Saat ditabrak dari samping, koper hitam milik Bik Muyah terlempar ke udara, terbuka, uang dua ratus juta berhambur ke jalanan. Itu yang membuat orang menyerbu ke sana. Bik Muyah kewalahan, akhirnya dia copot saja jariknya biarlah memperlihatkan paha dan betisnya yang peyot dan sempak dari kain yang dibebat ke pinggul. Larinya jadi lebih cepat. Dia menoleh ke belakang dan minta tolong sekuriti untuk ikut mengejarnya. Saat melewati Sastro yang pingsan, “Hei, bangun anak muda, jangan bilang ini akal-akalanmu!” dia menampar Sastro. Sekuriti sudah menyusul. Dia lalu berlari bersama Bik Muyah ke lokasi. Sekuriti membunyikan peluit panjang. Orang-orang tidak peduli, mereka berebutan memungut uang Bik Muyah. “k*****t, aku tidak lagi bermurah hati. Jangan ambil duitku kalian semua binatang!” seru Bik Muyah. Sekuriti menerjang kerumunan. Dia mencari koper Bik Muyah. Bik Muyah mengerahkan kesaktiannya, dia mencakar-cakar orang yang menyenggolnya. Bahkan ketika dia tidak diindahkan, Bik Muyah menjumput otak pecah si jambret dan dicipratkan ke muka orang-orang. Otomatis mereka mundur. “Ini duitku, kalian j*****m! Jangan ambil lagi!” Bik Muyah menerima koper yang bisa diselamatkan isinya sebagian oleh sekuriti. Bik Muyah keluar dari kerumunan sambil mengutuk dan menunjuk. Dia diantar oleh sekuriti ke halte tempat Sastro pingsan. “Lain kali hati-hati, Bik,” pesan sekuriti. “Iya ya, terima kasih. Nih imbalannya,” Bik Muyah mengambil sepuluh lembar merah untuk si sekuriti. Sekuriti menerimanya sambil berlutut, sangat bersyukur. Dia seperti orang-orang yang lagi di acara realiti kedapatan durian runtuh. Sekuriti itu jadi semangat. Bik Muyah sekarang bermurah hati. Dia menyaksikan tadi orang-orang di halte membantunya, maka dia bagikan selembar-selembar uang ratus ribu kepada mereka. Sastro akhirnya melek, dia linglung, kepalanya berdarah. Sekuriti membopongnya, “nanti saya bantu obati lukanya. Ayo sekarang kita ke bank, nanti saya bantu untuk menyimpan uang sebanyak itu biar aman.” Bik Muyah tersenyum. Dia memakai  lagi jariknya yang tadi dia sampirkan ke leher. Dia sungguh tak peduli dengan tatapan orang-orang yang antara ingin meledek tapi urung karena sudah dikasih duit sama Bik Muyah. Sampai di bank, semua membicarakan apa yang baru saja terjadi. Orang-orang yang lagi mengantri di sana tadi menyaksikan siaran langsung dari sosial media orang di halte. Mereka berdiri dan bertepuk tangan untuk Bik Muyah karena begitu berani dan kuat. Meski mereka menyayangkan kecelakaan yang terjadi. Tapi mereka anggap itu setimpal, duo jambret itu pantas menerimanya. Sementara Sastro diobati oleh petugas kebersihan di bank itu, sekuriti menemani Bik Muyah ke salah satu layanan konsumen untuk membuatkan tabungan simpanan yang dapat dengan mudah dia ambil di mana-mana. Total yang tersisa dari peristiwa amburadul tadi sekitar seratus lima puluh juta. Masih lumayan. “Aman kan duit saya di sini?” tanya Bik Muyah ke mbak pelayan konsumen. Mbak-mbak itu tersenyum mengangguk. “Aman seratus persen, Bik,” jawabnya. “Seratus persen itu berapa?” “Seratus persen itu mutlak, Bik.” “Oke kalau begitu.” Sastro sudah mendingan. Dia menemui Bik Muyah yang sudah duduk santai di sofa khusus nasabah prioritas. “Sudah beres, Bik?” tanya Sastro. “Ya sudah. Otakmu tidak konslet kan?” tanya Bik Muyah. Sastro tergelak, “Aman, Bik. Oke, sekarang biar gampang kita ke mana-mana. Kita beli motor.” Bik Muyah berpikir sejenak. “Oke oke, yang bener lho ya. Awas kalau ketemu jambret lagi. bisa-bisa saya yakin kalau kamu komplotan jambret itu.” Sastro menelan ludah. Dia yakin, kecelakaan yang menimpa duo jambret adalah kutukan dari Bik Muyah. Sastro mengulurkan tangan untuk membantu Bik Muyah berdiri. Mereka pun keluar diantar oleh sekuriti dan mbak-mbak pelayan konsumen tadi. “Hati-hati, Bik!” Di dekat bank itu ada dealer motor. Sastro mengarahkan Bik Muyah ke sana. Demi kenyamanan pencarian Lathi, Sastro sudah mengincar motor yang gendutan. Motor segala umat yang lagi pengin dilihat mampu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD