JILATAN 95

1097 Words
Bik Muyah senang karena sebentar lagi pencariannya terhadap Lathi akan menemui jalan terang. Tidak masalah kalau dia harus ke kantor polisi. Selama ini Bik Muyah skeptis terhadap mereka karena hanya membela kepentingan orang berduit. Ralat, gerak mereka akan lebih cepat kalau berurusan dengan orang berduit. Dengan adanya Sastro ini akan jadi lebih mudah karena Bik Muyah tidak punya dokumen kependudukan. Dia tidak tercatat di sistem. Dia akan berdalih kalau ditanya nanti, kalau dokumennya hilang kelahap banjir dan dia lupa nama lengkapnya. Nama orangtuanya. Nama keluarganya. Tanggal lahirnya. Toh tampang Bik Muyah tampak seperti orang kelahiran jauh sebelum Indonesia merdeka. “Gadis kadal? Yang membuat banjir darah di pasar ini?” tanya Lamtoro, bingung. Bik Muyah mengangguk. Sastro di sampingnya memberi tatapan bertanya yang cemas. “Dia anak yang lagi kucari.” “Ada urusan apa Bibik dengan gadis celaka itu?” “Ibu kandungnya mau ketemu.” Lamtoro membelalak. Kalau gadisnya saja sudah semengerikan itu bagaimana dengan ibunya. Bik Muyah paham atas kengerian tiba-tiba Lamtoro. “Kau tidak usah khawatir. Gadis itu memang nyentrik dan bisa berakhir fatal. Tapi itu karena dia belum bisa mengendalikan apa yang dia punya.” “Apa yang dia punya?” tanya Lamtoro. “Kau akan tahu nanti bila bertemu langsung dengannya dan kalau dia berkenan untuk menjelaskan dirinya padamu.” “Untuk apa aku mau membantu Bibik?” Bik Muyah mendengus. “Kau butuh duit kan?” Lamtoro meragu. Memang benar dia butuh duit. Selama ini dia percaya bahwa untuk bertahan hidup dia mesti punya duit. Kalau tidak, ya hasilnya bakal ngutang, dan ngutang perlu duit untuk dilunasi. Dia tidak nekat untuk mencuri. Dia sudah melihat akibatnya langsung saat teman temannya yang preman nekat pernah mencuri di sebuah toko emas. Mereka mampus dihajar massa. “Nanti kuberi kau dua puluh juta kalau kau bantu bibik cari gadis itu sampai ketemu.” “Saya gimana, Bik?” tanya Sastro, angkat tangan. “Kau kan butuhnya petualangan. Bukan duit. Lagian kau sudah pegang duit jadulku kan?” semprot Bik Muyah. Sastro menyengir. Lamtoro mendesah panjang. “Baik, saya ikut,” katanya akhirnya. “Nah begitu dong,” Bik Muyah menepuk-nepuk pundak Lamtoro. “Kalau saya tidak di sini, pasti kau masih dikejar-kejar mandormu dan orang-orang pasar. Duit yang saya kasih sudah menyelesaikan masalahmu toh? Ingat, saya tidak ngutangin kamu.” “Terima kasih banyak, Bik,” Lamtoro menyambut tangan Bik Muyah dan mencium punggungnya. Lamtoro kemudian bersiap-siap untuk membereskan barang-barangnya di dalam kios numpang itu. Sastro membantunya sementara Bik Muyah berbaring santai sambil mengunyah sirih. Lamtoro mencopot semua petunjuknya di dinding dan membuntalnya masuk ke kantong plastik. Sastro kemudian menampungnya ke dalam tas. Mereka berdua bekerja sama menggeser-geser lemari etalase. Setelah selesai Lamtoro menurunkan pintu rolling dari luar lalu menggeletakkan gembok dan kuncinya. “Kalian lapar?” tanya Bik Muyah. Sastro dan Lamtoro menoleh, mengangguk. “Ayo kita cari angkringan.” Mereka bertiga meninggalkan pasar dengan berbonceng tiga di motor. Dingin malam menerpa wajah mereka. Sastro agak kedinginan. Lamtoro yang membawa motor. Rencananya setelah dari angkringan mereka akan menyewa kamar hotel untuk tidur pulas dan layak. Pagi-pagi mereka akan menuju kantor polisi. Di tempat angkringan Bik Muyah memperoleh informasi tambahan. Para pengunjung dan pemilik angkringan terlibat obrolan ngalor ngidul yang berujung pada obrolan tentang kelamin, lalu ada satu orang yang mengungkit kejadian di tempat-tempat lokalisasi terdekat tersembunyi, bahwa para lelaki hidung belang ada yang putus kelaminnya digigit oleh kadal aneh. Sastro membisik ke Bik Muyah, “Itu Lathi, bukan Bik yang diomongin?” Itu peristiwa sebulanan lalu dan terjadi setiap malam selama dua minggu. Orang-orang sampai ogah berkunjung lagi ke lokalisasi. Sudah begitu gadis-gadis penghibur malam ada yang kabur. Mucikarinya ditemukan mati dengan leher robek dan ada kulit-kulit kadal di sekujur tubuhnya. Kejadiannya seperti mucikari itu berada di tempat yang salah sewaktu ada kadal yang lagi ganti kulit. Bik Muyah mengangguk samar. Lamtoro lagi asyik menyantap nasi kucingnya dengan sate-sate jeroan, minumnya wedang jahe. Kepolisian yang mengurus kejadian-kejadian janggal itu kantornya kebetulan sama seperti yang akan Bik Muyah datangi. Selesai makan mereka jalan lagi, lewat jalan kecil yang tidak dipantau polisi lalu lintas. Sastro mencari penginapan terdekat dari ponselnya. Menggunakan KTP Sastro mereka akhirnya bisa menyewa satu kamar untuk ditempati bertiga. Sastro dan Lamtoro bergantian mandi sampai segar. Bik Muyah terakhir, dia berendam lama di air panas. Bik Muyah rileks akhirnya tubuhnya terkena air. Ini caranya untuk terhubung dengan alam lagi. melihat apakah ada kerusakan dalam dirinya yang tak natural lagi. kalau ada, dia akan bersemadi menyelam sambil memejamkan mata dan menahan napas. Itu membutuhkan waktu sampai satu jam. Bik Muyah bisa menahan napas selama itu. Dalam semadi di airnya itu Bik Muyah mencoba terhubung dengan gubuk hutannya. Dia khawatir dengan ibu Lathi. Dua jam belakangan ini dia merasakan ada firasat buruk mengetuk-ngetuk kesadarannya. Mengingat bahwa Ibu Lathi punya kekuatan yang sama, Bik Muyah mencoba meyakinkan dirinya kalau ibu Lathi akan baik-baik saja di sana. Sayangnya jaraknya terlalu jauh. Airnya juga bukan air yang sama dengan air di hutan Ndoroalas. Air di tempat ini sudah air bawaan dari korporat. Tidak murni lagi. Bik Muyah mengutuk, sia-sia saja dia berendam semadi selama empat puluh lima menit tadi. Sastro dan Lamtoro sudah tertidur pulas di tempat tidur. Tempat tidur di kamar itu ada dua. Bik Muyah merasa jengah tidur di kasur empuk. Yang dia lakukan jadinya adalah menggelar seprai di lantai lalu membujur santai. Matanya akhirnya memejam setelah dia melantunkan sebuah tembang penenang jiwa. Sebelum langit pagi merekah, Bik Muyah sudah bangun dan membuat wedang dari termos yang disediakan kamar hotel. Sastro dan Lamtoro baru bangun ketika Bik Muyah membuka jendela hotel. Sinar matahari menyilaukan mereka. Bik Muyah menunggu mereka mandi. Mereka harus segera berangkat. Setelah sarapan yang disediakan hotel mereka habiskan, berangkatlah mereka ke kantor polisi. Jaraknya sekitar satu jam dari tempat mereka. Lamtoro yang sudah hapal jalan mencari lika-liku gang yang bisa mengantarkannya tanpa kepantau polisi lalu lintas. Menjelang sampai ke kantor polisi, Sastro turun dulu biar tidak ditilang. Dia menyusul jalan kaki. Entah kenapa Lamtoro merasa gugup. Padahal dia bukan kriminal. Sastro sudah sampai dan bertiga mereka masuk ke lobi kantor polisi. Sastro dengan lancar menanyai petugas polisi sampai dia diarahkan ke suatu meja. Petugas itu memegang KTP Sastro. Sastro mengajak Bik Muyah untuk duduk di depan polisi yang dituju. “Ke mana Lamtoro?” tanya Sastro, melihat bahwa Lamtoro sudah tidak di samping Bik Muyah. “Cari angin,” jawab Bik Muyah. Selanjutnya mereka ditanya-tanyai oleh polisi mengenai maksud kedatangan mereka. Bik Muyah menjelaskan jujur tapi tanpa dilengkapi keterangan bahwa gadis bernama Lathi ini punya kekuatang gaib berbahaya. “Nama anaknya tadi, Lathi betul ya?” tanya polisi. Bik Muyah mengangguk. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD