JILATAN 96

1088 Words
“Wajahnya seperti apa?” tanya petugas itu untuk meyakinkan. Dia sendiri pernah dengar selentingan kabar ada saksi dari peristiwa banjir darah di pasar itu yang besoknya tidak lagi ada di daftar saksi. “Duh, saya tidak punya fotonya,” kata Bik Muyah. Sastro juga sudah mencari video-video yang beredar tentang banjir darah dan kejadian ada orang ditabrak truk tapi tidak kenapa-kenapa, malah lari kencang. Tapi semua itu tidak memuat dengan jelas wajah Lathi. “Sama sekali?” tanya si petugas yang punya label nama di seragamnya yaitu Jabar. “Tidak sama sekali,” jawab Bik Muyah. “Lathi ini siapanya bibik ya?” tanya lagi Jabar. “Kan tadi saya bilang, dia itu anak yang saya temukan dan tampung sebentar di rumah saya. Waktu itu dia sudah siap pergi karena sudah sehat maka saya ijinkan. Nah, kemarin ibu kandungnya datang nyariin. Minta bantuan ke saya buat nyari.” “Baik, kenapa bukan ibunya saja yang mencari?” Jabar penasaran. “Kamu itu dengerin cerita saya yang panjang tadi tidak siiih?” Bik Muyah geregetan sampai pengin nyubit telinga Jabar. “Hanya mengonfirmasi lagi saja, Bik. Saya takut salah nulis laporan,” kilah Jabar. “Ibunya kan sakit. Sekarang lagi di tempat saya,” kata Bik Muyah tak sabar. “Lalu, nak Sastro ini, siapanya Bibik?” “Adooohhh, bawel sekali sih kau. Mau kujitak?” Bik Muyah sudah berdiri dan menyingsingkan lengannya. “Tenang, Bik, tenang,” pinta Sastro. “Saya ketemu Bik Muyah di jalan, Pak. Saya hanya ingin membantu mengantarkan.” “Oke, baiklah. Tidak ada hubungan apa-apa ya. Baik, Bik Muyah masih ingat wajah Lathi ini?” Bik Muyah mengangguk sebal. “Kenapa memangnya?” “Ya kalau Bibik tidak punya foto, saya akan panggilkan tukang gambar biar membuat sketsa wajah Lathi. Biar gampang buat kita mencarinya.” “Ya ya, oke, silakan.” Jabar menelepon rekannya untuk memanggilkan si tukang gambar. Sastro celingukan, mencari keberadaan Lamtoro. Tidak kelihatan dari tempatnya duduk. Sekitar lima belas menit kemudian si tukang gambar datang. Yang datang adalah perempuan berpenampilan urakan. Celana jins robek-robek dan pakai kemeja flanel. Rambutnya dikuncir jabrik. “Silakan dimulai, Bik. Saya tanya, lalu jelaskan deskripsi bentuk wajahnya ya,” kata si tukang gambar yang bernama Sindi. Proses menjelaskan dan menggambar itu memakan waktu satu jam. Bik Muyah suka sebal ketika dipaksa untuk mengingat, tapi dia susah menjelaskan. Sastro mengantuk, dia pamit sebentar untuk beli kopi di warung dekat kantor polisi sekalian mencari keberadaan Lamtoro. Sambil minum kopi di warung kecil, Sastro tanya ke pemiliknya apakah melihat sosok seperti Lamtoro. Si pemilik warung menggeleng. Dia tidak melihat ada orang seperti itu sejak tadi. Pada waktu Sastro kembali ke dalam, si tukang gambar Sindi dalam tahap menyelesaikan sketsanya. Sindi menyerahkannya ke Bik Muyah. Bik Muyah mengamatinya, dia mengangguk-angguk. Sastro mengamatinya juga, lalu mengamati lagi bergantian dengan wajah Sindi. “Loh, Bik, itu kan seperti mbaknya.” Bik Muyah juga baru sadar, dia mengecek lagi. “Loh, iya, hehe,” dia meringis. Sindi juga baru ngeh, dia merebut kembali sketsanya dan melihatnya. Dia mendesah kecapekan. “Duh, Bik, saya tadi lagi makan siang, trus dipaksa datang ke sini. Dan bibik main-main sama saya?” Bik Muyah meringis lama. “Tapi tapi… memang mirip. Cuma di bagian ini…” Bik Muyah menunjuk hidung, alis, bibir, telinga, “ada beda.” Sindi menarik napas, menguat-nguatkan dirinya supaya lebih sabar. “Baik, baik, mari kita ulang.” Sastro menepuk jidatnya. “Tolong lebih konsentrasi ya, Bik. Nih saya bawakan teh manis,” kata Sastro. Bik Muyah langsung merebutnya dan menenggak habis. Sindi meliriknya, geleng-geleng, antara geli dan sebal. Bik Muyah mengkeretakkan punggungnya. Bunyinya sangat kencang sampai para polisi yang lain menoleh dan jadi ikut-ikutan mengkeretakkan punggung. Sederetan bunyi krak seperti koor kelegaan ditempa stres. Sindi yang terakhir membunyikan. Sindi memulai lagi membuat sketsa sesuai arahan Bik Muyah. Dalam waktu lima belas menit selesai. “Nah, begini sudah mirip?” tanya Sindi. Bik Muyah kagum. “Nah ini dia, ini sangat Lathi. Nah, kau pernah lihat gadis ini?” tanya Bik Muyah. Sindi menggeleng. Dia mengambil sketsa itu, difotokopinya lalu salinanya diserahkan ke Jabar. Sindi langsung ngacir tanpa pamit. “Pernah lihat kau?” tanya Bik Muyah ke Jabar. Jabar mengusap dagunya melihat sketsa itu. “Tunggu sebentar ya,” Jabar kelihatan mengetik di komputer padahal dia lagi mengecek skor gamenya di internet. Sekitar lima belas menit dia pura-pura membolak-balik dokumen dan mencari-cari berkas. “Ya, sepertinya saya pernah melihat. Tunggu sebentar.” Jabar bangkit dari mejanya dan menuju ke sudut kantor mengeluarkan ponsel. Bik Muyah menunggu bosan. Sastro menggigiti kukunya. Jabar kembali lagi ke mejanya setelah lima belas menit mengobrol di ponsel. Itu pun kalau benar-benar menelepon orang. Soalnya tadi sambil merokok. “Oke, saya pernah melihat gadis ini di suatu rumah sakit. Gadis ini bersama rekan saya di departemen lain. Saya tadi sudah hubungi. Orangnya sebentar lagi akan datang, bibik bisa tunggu di situ ya.” “Di rumah sakit?” Bik Muyah jadi khawatir. “Ngapain dia?” “Nanti orang yang bersangkutan yang bakal jelasin yah, Bik. Sekarang saya mau urus kasus lain dulu,” pinta Jabar. Sastro meminta Bik Muyah untuk menurut saja. Dia mengajak Bik Muyah duduk di sofa panjang di ruang tunggu kantor polisi. “Lho, Lamtoro ke mana?” Bik Muyah baru sadar. “Sepertinya dia pergi, Bik, gak balik lagi ke kita.” “Wah, gak jadi mau duit dia berarti?” Bik Muyah menepuk jidat. Tak mengerti kelakuan Lamtoro. “Bisa dikasih buat saya saja, Bik,” Sastro berkelakar. Bik Muyah menoyor kepala Sastro. “Belajar oportunis dari Lamtoro kau ya?” Mereka menonton tivi sambil menunggu. “Bik, kalau Lathi ternyata tidak mau bibik ajak bagaimana?” tanya Sastro tiba-tiba. “Dia pasti mau. Dia harusnya penasaran dengan ibu kandungnya. Di dalam hatinya, bibik tahu dia pengin ketemu. Pengin nyari.” Sastro mengangguk. Itu masuk akal. Mendengar cerita dari Bik Muyah, Sastro jadi penasaran seperti apa penampakan ibunya Lathi. Katanya mereka bisa ganti kulit, ganti wujud dan wajah. Teringat ini, Sastro jadi khawatir, Lamtoro sudah tahu cerita Lathi. Bagaimana kalau dia entah bagaimana kenal dengan salah satu orang yang berkaitan dengan organisasi Kalong Ireng? Bisa gawat untuk keselamatan banyak orang. Mereka menunggu sekitar satu jam sampai ada pria paruh baya cukup tampan dan berwibawa datang ke arah mereka. Sastro seketika berdiri melihat kewibawaan itu. Dia menowel Bik Muyah. Bik Muyah cuek saja, lagi keasyikan nonton penyanyi dangdut di tivi. “Saya dengan Pak Hendra, ini betul Bik Muyah yang lagi mencari Lathi?” tanya Pak Hendra sopan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD