JILATAN 68

873 Words
Pukulan yang diterima tengkuk Lathi memang cukup keras dan bisa membuat gegar manusia biasa. Yang diterima Lathi tadi lebih ke sensasi kaget saja. Tidak terlalu sakit, meski sempat membuatnya oleng dan pandangannya menggelap. Sayangnya kelengahannya itu membuatnya jadi ditangkap oleh preman lantai tiga. Tempat Mat Buta berkuasa. Lathi sudah membuka mata dan sadar ketika dua tangannya dibekuk dan diseret paksa oleh dua preman kekar. Ketika ia meronta, tubuhnya langsung dicengkeram kuat dan diikat tangan dan kakinya, kemudian digendong semena-mena. Lathi tidak memaki mereka. Ia hendak mengikuti permainan ini. Ia sudah masuk kandang singa. Tak perlu takut, karena niatannya memang ingin masuk dan membunuh. Seorang preman bawahan memberitahu Mat Buta yang duduk di atas tumpukan karung beras disusun selayaknya singgasana. Ia dikipas-kipas oleh anak buahnya menggunakan robekan kardus. Lathi melihat empat orang sandera yang masih hidup terduduk ketakutan dalam kekang tali tambang di kursi besi. Satu sandera sudah tewas dengan peluru bersarang di pelipis kanan. Preman-preman ini tidak main-main. Mereka tidak asal gertak. Mereka tidak segan membunuh. Lathi perlu hati-hati. Lathi diikat di kursi besi yang dihadapkan langsung ke Mat Buta. Kekangan tali tambangnya tampak lebih kencang dari sandera yang lain. Para sandera lain matanya ditutup pakai kain. Mereka tengok-tengok demi mencari suara, ada sandera baru yang datang. "Mat Buta, gadis ini mengaku yang telah membunuh si Buluk." Lapor lagi salah satu anak buah preman. Lathi saat dipukul dari belakang tadi tidak sengaja menjatuhkan pisau Bik Muyah. Sial. Mat Buta turun dari singgasana karung berasnya. Ia meneliti wajah cantik Lathi. Ia menyunggingkan senyum. Entah apa artinya itu. Lathi mengawasinya tanpa ekspresi. "Sungguh, kau yang membunuh si Buluk?" "Kau pikir?" Lathi menantang. "Kupikir, gadis berwajah malaikat sepertimu tidak akan sejauh itu dalam bertindak." "Jangan tertipu oleh bungkus, bung." Mat Buta tertawa. "Dengarkan itu kawan-kawan sekalian. Yang barusan dikatakan gadis ini benar. Itu pelajaran dalam bertahan hidup. Jangan tertipu bungkus. Aku sudah sering tertipu bungkus mie goreng. Jadi jangan kau tertipu oleh muka malaikat." "Bisa juga kau." Lathi meludah. "Aku penasaran," Mat Buta hilir mudik di depan Lathi. "Apa yang mendorongmu hingga membunuh si Buluk?" Mat Buta menodongkan pisaunya di bawah dagu Lathi. Lathi bergeming saja, tidak merasa terancam dengan pisau lipat itu. "Karena pantas." Mat Buta bergeming cukup lama mendengar jawaban itu. "Apa kau Tuhan?" "Tidak, aku malaikat. Kau yang bilang sendiri tadi." "Kau cukup berani ya. Aku akui itu. Berani sekali masuk kandang macan." "Haha, bagiku, ini adalah kandang babi." Mat Buta kentara kesal mendengar penghinaan itu. Ia menyabet pisaunya ke pipi Lathi. Goresan luka membuka dan memuntahkan darah. Lathi masih bergeming. Sama sekali tak merasakan sakit. Wajah kiri Lathi berhiaskan darah. Lukanya belum menutup. Anak buah preman memaki, "Dasar jalang, berani-beraninya kau menghina kami!" "Ayo perkosa ramai-ramai, biar tahu rasa!" Mat Buta menoleh cepat ke anak buah preman yang usul pemerkosaan. Ia menunjuk preman kecil berambut sapu itu. Otomatis patuh, preman kecil itu menghampiri Mat Buta dengan lagak abdi. Tamparan keras mendarat ke pipi si preman kecil, membuat anak buah preman lain berdecak jeri. Preman kecil itu sempoyongan sampai tersungkur mencium kaki singgasana karung beras. Sepertinya pingsan. "Kita memang preman penguasa pasar. Tapi kelakuan kita bukanlah seperti binatang. Kita bukan babi. Kita bukan kolor ijo pemerkosa wanita. Jangan bikin citra kita makin buruk, dasar binatang!" Mat Buta membentak di kalimat terakhir. "Kalau aku tahu di antara kalian ada yang berani memerkosa siapa pun, aku potong k****l kalian!" Lathi terkekeh mendengar itu. "Sok moralis. Baru tahu aku ada babi moralis." Mat Buta memerah wajahnya. Kalau ada yang bisa melihat secara gaib, kepala Mat Buta keluar asapnya. Ia memberi kode penyiksaan kepada beberapa preman tangan kanannya. Mat Buta mengambil sesuatu dari tempat ia duduk di singgasana karung beras. Lathi sendiri tengah dilepas ikatannya. Untuk kemudian diikat lagi di sebuah tiang tempat pedagang menggantungkan dagangan baju. Pakaian atas Lathi dirobek paksa hingga menampakkan p******a matangnya. Lathi melihat dengan jijik kepada preman yang melotot melihat pemandangan indah buah pepaya bersampulkan kulit manusia. Lathi bahkan tidak peduli kulit pipinya yang masih terbuka mengeluarkan darah, kini darah itu membasuhi buah dadanya. Tetap saja mata preman tidak beralih walaupun buah d**a itu ternoda darah. Lathi dibuat membelakangi Mat Buta. Si bos preman bermata satu itu mengulurkan cambuk rantainya. Itu adalah alat untuk menyiksa penyusup dan pedagang yang tidak mau memberi upeti. "Kau salah, gadis sialan. Kau masuk ke kandang macan yang lapar. Lapar darah, ya. Lapar darah pembalasan. Jika memang kau yang membunuh si Buluk. Maka kau tidak memberi kami pilihan. Kau harus disiksa sampai mampus! Lebih sadis dari yang kau lakukan kepada si Buluk!" Mat Buta memecutkan cambuk rantainya ke punggung Lathi. Sekejap saja langsung muncul goresan serupa bentuk rantai berdarah di punggung Lathi. Mat Buta lakukan itu sampai seratus kali. Preman-preman yang lain bengong dan terheran. Dari pecutan pertama, Lathi sama sekali tidak memekik kesakitan. Justru tertawa. Padahal tubuhnya sudah penuh darah. Ia seperti sedang mengenakan gaun terbuat dari darah. "Semoga beruntung membuatku mati." Mat Buta sudah terengah, heran sekali. Ia maju dan menghunjamkan belatinya ke punggung Lathi. Menarik ke bawah sampai punggung Lathi menyerupai sundel bolong. Tetap saja Lathi tertawa, makin kencang. "Gilak, dia itu manusia atau bukan?" seru salah satu anak buah preman. Mat Buta tampak khawatir. Jangan-jangan ia sedang mengerjai anak setan. Khalayak ramai di luar gedung pasar tercengang menyaksikanbanjir darah luber dari lantai ketiga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD