JILATAN 67

1101 Words
Situasi di pasar sudah semakin mencekam. Para pedagang yang diusir paksa oleh preman berdiri di belakang barisan polisi berpakaian lengkap dengan perisai plastik dan helm pelindung. Pasar itu termasuk juga bangunan gedung seperti plaza. Tempat penjual baju dan peralatan rumah lainnya. Tempat itu juga dikuasai preman. Lapak-lapak dihancurkan, barang dagangan diacak-acak dan dilempar ke jalanan. Bahkan polisi ada yang melempar bom gas air mata, tapi preman tetap kolot tidak ada yang keluar. Situasi makin memanas ketika diketahui bahwa ada pedagang malang yang jadi sandera. Polisi yang melempar granat air mata itu menyesali tindakan mereka. Pedagang lain tak berhenti berteriak mengutuk preman. Jauh sebelum pasukan polisi datang di depan pasar itu terjadi semacam tawuran. Warga dan pedagang setempat yang tidak terima rumahnya digeledah satu per satu, melawan. Mereka akhirnya bosan ditindas terus oleh para beringasan itu. Sudah cukup bertahun-tahun hidup dalam cengkeraman begundal. Sudah cukup bertahun-tahun hidup dalam pemaksaan. Saatnya melawan. Jauh sebelum pasukan polisi datang, tawuran itu sudah mengakibatkan banjir darah. Preman-preman bersenjatakan golok, sementara warga bersenjatakan sekenanya. Batu, gunting rumput, cangkul, gergaji, gir motor, cambuk dari ikat pinggang, tameng dari wajan, sapu ijuk, dan lain-lain. Benda-benda itu tentu tidak sebanding dengan senjata tajam betulan seperti golok, celurit, bahkan ada preman yang membawa pedang. Walhasil belasan warga terkena tusukan dan sabetan benda tajam itu. Warga yang menjadi korban dibawa mundur oleh rekan yang lain. Warga barisan belakang tidak berhenti melempari batu. Sayang sekali dari serbuan batu itu ada juga yang mengenai warga sendiri. Lebih bahaya lagi ada preman yang bersenjatakan pistol rakit. Warga mundur dari perlawanan ketika mendengar letusan peluru. Mereka otomatis ngeri. Sejatinya mereka paham, peluru meletus dan bersarang di tubuh, bisa fatal, bisa mati instan daripada tersabet golok. Mereka mundur, harap-harap cemas menunggu bala bantuan datang. Tidak terlalu lama sebelum pasukan polisi datang, para jawara kampung yang akhirnya turun gunung beraksi. Mereka mengenakan pakaian pendekar mereka dan berbekalkan golok, ruyung, tongkat sakti, karambit dan belati berlari masuk ke area pasar. Mereka berniat menjatuhkan satu per satu preman lantai per lantai. Tapi nahas, warga yang menunggu di jalan menyaksikan jawara-jawara itu dilempar dari lantai tiga. Mendarat kepala duluan, moncrot mencium tanah. Tragis. Sirine terdengar kemudian sekitar setengah jam semenjak jawara kampung tewas nahas. Yang pertama dilakukan adalah mengevakuasi korban. Menyusul kemudian mobil ambulans datang dan mengangkut korban tewas. Ambulans yang lain berjaga di tempat untuk merawat yang terluka. Akibat huru hara ini, lalu lintas di sekitar menjadi macet parah. Sebab para pengemudi dan penumpang ikut turun dan pengin menyaksikan. Tak ketinggalan juga, para awak media yang haus ingin meliput. Huru hara ini layak untuk dikabarkan ke seluruh negeri. Lathi datang saat huru-hara ini telah berlangsung selama dua hari dua malam. Tak ada yang pulang. Tak ada yang meninggalkan area kerusuhan. Preman masih menguasai pasar dan menyandera lima orang pedagang. Itu berdasarkan pengakuan bos preman yang memiliki pistol. Warga mengenalnya dengan Mat Buta. Itu karena satu matanya hancur karena perkelahian maut di pasar tempo dulu waktu dia ingin melengserkan bos preman sebelumnya. Mat Buta bertarung seharian melawan bos preman waktu itu. Mat Buta dicolok matanya dengan obeng, tapi dia tak juga jatuh. Malah semakin gila melawan dan dengan karambit yang dipunyainya, Mat Buta menancapkan mata tajam senjata itu ke leher lalu ditarik sampai rahang si bos preman sebelumnya itu lepas. Pistol yang digenggamnya sekarang untuk mengancam sandera, adalah bekas milik bos preman yang dulu. Mat Buta mengumumkan bahwasanya dia menyandera lima orang menggunakan megafon. Suara memohon para sandera itu membuat pasukan polisi menahan diri agar tidak menyerbu. Mereka membentuk regu, untuk bergerak diam-diam dari sisi lain pasar. Tapi peringatan Mat Buta membuat gerakan itu dibatalkan. Satu peluru telah bersarang di kepala salah satu sandera. Situasi menjadi buntu. Bodoh namanya kalau menyerang tanpa perencanaan. Lathi memang ingin melenyapkan nyawa semua preman. Ia hadir di antara kerumunan warga. Ia meneliti situasi dan lokasi. Diam-diam dia menghilang, menyusuri pasar, mencari celah untuk bisa masuk ke dalam. Lathi mungkin berwujud baru. Tapi ingatannya masih ingatan Lathi yang dahulu. Ia ingat dahulu sewaktu masih sekolah SD, dapat memanjat dinding tanpa bantuan apa pun. Ia sudah lama tak mencoba itu. Apakah masih bisa? Ia hati-hati menyelinap di antara keramaian. Ia menghindari ke mana polisi pergi. Situasi semakin ramai saja. Beberapa warga melipir untuk diwawancarai media. Mereka senang-senang saja. Kesempatan wajah termuat di televisi, mana bisa dilewatkan. Ada juga ingatan yang ia harap dengan sangat dapat berfungsi kembali kali ini. Suatu kebisaannya yang lain. Yang kalau berfungsi, ia akan dengan mudah melenyapkan nyawa semua preman di sini. Ia menemukan tempat yang aman. Di sisi belakang pasar yang tidak didatangi siapa pun. Sebuah celah tembok ketemu tembok. Lathi menyelinap ke situ dan mulai menempelkan telapak tangannya ke dinding. Ia mengingat kembali dulu sewaktu kecil. "Sial, tidak bisa." Telapak tangannya tidak mau menempel ke dinding. Dulu ia bisa selayaknya cicak. Tapi kalau dilihat lagi, kondisi celah itu bisa dipanjat dengan cara biasa. Lathi ambil cara manual itu. Hati-hati ia memanjat, menumpukan tangan ke dua dinding yang slaing berhadapan. Di beberapa meter ke atas, ada lubang angin yang kiranya muat untuk dimasuki. Ia percepat gerakan. Lalu susah payah masuk melalui lubang angin itu. Lathi mendarat di lantai dua. Ia merunduk, berusaha agar tidak terlihat langsung oleh preman-preman yang berjaga. Gila, ini bukan lagi penjarahan. Lebih parah. Ini penghancuran. Semua dagangan dihancurkan. Dihambur-hamburkan ke lorong-lorong pasar. Lathi bergerak secara diam-diam, berlindung ke barang-barang yang bergeletakan. Mencari preman terdekat untuk dibinasakan. Pisau yang ia ambil dari rumah Bik Muyah sudah siap tergenggam. Lathi mengendap. Ia mendengar samar-samar suara rintihan memohon para sandera. Ada di lantai tiga. Di lantai dua ini Lathi hanya melihat enam orang preman berjaga sambil membawa golok. Mereka berada di balkon yang menghadap jalan. Mereka mengacungkan golok ke kerumunan sambil berteriak, "Ini bayaran atas kejahatan kalian membunuh teman kami dengan sadis!" Lathi mencoba memanfaatkan situasi ini. Enam preman itu tengah membelakangi Lathi. Ia tak terlihat. Dan dicermati lagi, lantai balkon itu cukup licin. Lathi mengambil ancang-ancang. Ada untungnya juga ia banyak menonton film aksi waktu di menara punya Bos Iwan Bagong. Ia mendapat inspirasi dalam bertindak. Lathi mengayunkan kakinya, berlari. Lalu meluncur di lantai yang licin sambil menyabetkan pisau ke pergelangan kaki enam preman yang berdiri berdekatan itu. Butuh lima detik bagi mereka menyadari apa yang terjadi. Pisau Lathi begitu tajam. Hal ini memberi Lathi kesempatan untuk bersembunyi lagi. Ia saksikan enam preman itu mulai limbung dan memegangi kaki. Darah keluar seperti kantong air tertusuk lidi. Mereka jatuh, tak bisa bangkit. Lathi keluar dari persembunyian dan menginjak muka salah satu preman yang berteriak paling kencang tadi. "Aku yang membunuh si Buluk dengan sadis." Bukk! Lathi dipukul dari belakang menggunakan balok kayu. Pingsan sesaat,ia diseret menuju lantai tiga oleh preman-preman lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD