JILATAN 4

1474 Words
Sepanjang perjalanan naik kereta dari kota G menuju stasiun desa W, Lathi tak bisa tidur. Perhatiannya tumpah ke pemandangan yang berkejaran di jendela kereta. Pun perjalanan cukup jauh ini adalah pengalaman pertama bagi Lathi.. Awan-awan yang berarakan membentuk aneka wujud senantiasa membuatnya takjub. Ia selalu menunjuk-nunjuk pohon yang lewat. "Di situ ada kadalnya!" katanya "Memang Lathi bisa lihat? Kan jauh?" tanya Sekaryani. Walau apa yang dikatakan Lathi tidak masuk akal, ia akan tetap meladeninya dengan sabar dan waras. "Tidak sih, Ma. Lathi tahu saja." "Lathi punya hubungan khusus dengan kadal-kadal ya?" "Punya, Ma." Sekaryani mengangguk dalam dan mengusap kepala Lathi dengan sayang. "Ingat ya, Lathi. Kamu bukan anak siluman kadal ya." "Bukan, Ma. Lathi kan anak Ma." Kelak kau akan tahu, nak, batin Sekaryani. Hal itu pula yang menjadi kekhawatiran Sekaryani saat ini. Sedari keberangkatan, ia mencari-cari alasan logis demi menjelaskan status Lathi kepada keluarganya yang suka ribet mengenai perkawinan. Lantas, berdebarlah hatinya sekarang ini sedari tadi. Sekaryani jadi gelisah, jemari sibuk mengetuk-ngetuk, bila tidak, tangan selalu mengganti barang pegangan. Lathi duduk dipangku olehnya. Pilihannya ada dua, antara memberitahu sebenarnya dengan risiko Lathi mendengar, sebab Lathi susah sekali lepas dari Sekaryani, dan anak itu menjadi sedih (kalau saja ia mengerti apa itu anak pungut), atau berbohong kalau Sekaryani sudah menikah di kota dan lalu cerai. Barang tentu bapaknya akan murka, merasa tidak dihormati sebab tidak diminta restu dan tidak menjadi wali. Pilihan kedua rasanya lebih merepotkan. Memang repot kalau menjadi bagian dari komunitas yang suka melebihkan perkara. Itulah mengapa ia merantau ke kota, ingin jauh-jauh dari sanak saudara yang rempong minta ampun. Ibunya, satu-satunya yang sedikit bisa mengerti, yang menjadi alasan ia mau kembali ke desa kali ini. Rindu kepada ibu selalu dapat tempat di hatinya. Menggerakkannya untuk pulang. Saat langit menggelap dan Sekaryani tersihir dalam lelap tidur duduk, Lathi sibuk bercengkerama dengan cicak-cicak yang merayap di langit-langit kereta, turun mendekati Lathi dan menjulurkan lidah menawarkan nyamuk atau laron mati. Lathi mencoba memakan nyamuk dan laron, namun dengan segera dipaksa memuntahkannya oleh Sekaryani yang sudah bangun dan kaget mendapati banyak cicak di jendela tempat duduk mereka. "Jangan makan nyamuk, nak. Kamu makannya nasi." "Maaf, Ma. Tadi dikasih." Cicak-cicak itu kabur seketika saat Sekaryani bangun. Mungkin memang kau Gadis Kadal, nak, Sekaryani tak mungkin tega mengatakan itu langsung. Tapi mau bagaimanapun, aku akan tetap merawatmu. Lathi kemudian disuapi bekal nasi dengan bakso goreng yang dibeli di stasiun kota G. Berjam-jam kemudian, walau sudah dininabobokan dalam buai, Lathi tidak mau tidur. Kelopak mata Lathi sudah tidak dua lapis lagi. Ia sudah seperti anak manusia biasa, kecuali lidahnya. Tak kuat terserang kantuk, Sekaryani lelap lagi bersama kegelisahan yang belum mampu ia jawab penawarnya. Mungkin esok kala fajar menjelang ia mendapat wangsit. Atau mungkin bakal didapat dari mimpi. Beberapa jam lagi mereka akan sampai di stasiun desa W, selama itu Lathi tetap terpaku pandangannya ke luar jendela, dalam hening. Sesekali ia mengeluarkan lidah untuk menggaruk pipi yang gatal. Orang yang duduk di sebelah Sekaryani mengucek mata untuk mengonfirmasi apa yang dilihatnya, namun makin dinanti makin Lathi tidak mengeluarkan lagi lidahnya. Orang itu kemudian menoleh ke arah lain, bergidik. Cicak-cicak kemudian datang berkumpul lagi demi menghibur Lathi. Ada bahasa yang tak bisa diterjemahkan melalui interaksi Lathi dengan para cicak. Bahasa yang menerangkan persahabatan. Tanpa pertentangan, tanpa tuntutan, hanya hiburan. Hiburan yang tanpa perlu ada kata-kata jelas terlontar. Interaksi yang belum mewujud bahasa lisan. Sebab Lathi mengizinkan, beberapa dari cicak itu masuk ke dalam jaket Lathi, ingin ikut ke mana ia pergi. Sesampainya di stasiun desa W, Manjani sudah menunggu di sana. Setelah ia diusir dari panti, ia pulang ke desa dan dijodohkan oleh orang tuanya. Manjani menurut saja. Setidaknya, ia tidak perlu kerja, suaminya adalah anak pengusaha beras. Hidupnya jadi aman. Manjani menjemput dengan membawa mobil dan disupiri oleh supir pribadi bernama Encep. Sekaryani dan Lathi sama bahagianya ketika berjumpa Manjani. Mereka berpelukan lama. Lathi kemudian digendong oleh Manjani sementara Sekaryani dan Encep membawa tas dan koper. Di situ Sekaryani mendapat jawaban atas gelisahnya. Ia melihat kedekatan Lathi dengan Manjani. Baiklah, ia akan menjelaskan dengan kejujuran. Saat ia melakukan itu, biarlah Lathi dimomong dulu oleh Manjani, melihat kebun singkong atau pergi ke sawah. Perjalanan dari stasiun ke rumah di desa W memakan waktu satu setengah jam. "Lathi masih ingat kan sama Manjani?" tanya Manjani, untuk kesekian kali setelah pertemuan tadi di stasiun. "Masih, Mayani." "Yang benar Manjani." "Manyani." Terus saja begitu sampai mobil sampai rumah. Mereka tiba saat sarapan baru selesai dimasak. Sekaryani bersujud salam kepada ibu dan bapak. "Bagaimana kabarmu, Sekar?" tanya ibunya. "Baik, Bu." Sekaryani memeluk dan mencium ibunya. "Kamu pulang bawa jodoh?" tanya bapaknya. Mengesalkan. "Kalau belum, anak juragan meubel masih ada. Kalau tidak, sama Kyai Yuwono, tapi jadi istri kedua, mau toh? Kan dia bekas pacarmu dulu waktu abege." Mengesalkan. "Loh, ini siapa? Anak kamu? Kamu sudah menikah toh di kota?" Sekaryani meminta Manjani untuk membawa Lathi menjauh. "Biar Sekaryani jelaskan dulu." Bapaknya berulang kali menginterupsi Sekaryani yang sedang menjelaskan secara runut, sehingga ia harus berkali-kali pula mengulang dari awal. Sang ibu sampai pusing juga dibuat oleh ulah bapaknya yang tak sabaran. Sampai sang ibu menegur dengan keplakan kepada si bapak, baru ia diam mendengarkan. "Ya sudah kalau begitu, Sekar. Yang penting kamu rawat anak itu dengan baik," kata ibunya. "Kalau begini, kamu harus segera cari suami. Bagaimana bapak mau jelaskan ke orang-orang? Kalau pada tahu kamu pulang bawa anak, mereka pikirannya bakal macam-macam. Atau begini saja, kita adakan kenduri dalam rangka kepulanganmu dari merantau, biar bapak jelaskan nanti di acara itu. Kamu bawa uang toh? Cukup buat ngundang satu desa?" Sekaryani menyabarkan diri. Ibunya yang membantu bela, "Tidak perlu semua itu, Pak. Biar ibu saja yang mengurusnya. Tidak perlu acara kenduri-kendurian." "Ya sudah. Bapak cuma usul. Kalau begitu sekarang bapak mau ke pak RT, mau lapor kedatangan kamu dan anakmu." Sekaryani memanggil Manjani yang membawa Lathi kembali ke rumah. Mereka melepas penat di kamar yang sudah ibu Sekaryani rapikan. Tanpa sepengetahuan Sekaryani dan Manjani, Lathi mengeluarkan beberapa cicak yang ikut dari kereta ke kamar. Lathi melepaskan mereka dan segera mereka berpencar merayapi dinding kamar dan berkumpul di dekat lampu. Mereka mendongak kepada Lathi. Ia tertawa menunjuk mereka. "Lidah Lathi masih bercabang ya," bisik Manjani kepada Sekaryani. "Iya, masih. Dan sepertinya sampai akhir hayatnya ia akan tetap begitu. Sudah pemberian Tuhan." Sekaryani menyimpan gelisah yang satu ini sendiri. Ia memikirkan apakah Lathi akan diterima di lingkungan barunya, desa W. "Semoga nasib Lathi lebih baik di desa ini ya." "Semoga." Mereka tentu mengingat ketidakadilan yang disuguhkan oleh yayasan mereka bekerja di kota G. Semoga itu tidak terjadi di desa W yang mengklaim diri sebagai desanya para alim. Bapak Sekaryani pulang menjelang sore dan sudah membawa Kyai Yuwono yang dibilang sebagai ulama paling ganteng yang pernah ada di desa datang ke rumah. Sekaryani mencium gelagat yang kurang menguntungkannya. Ia sudah lupa punya kehidupan personal selama merawat Lathi yang menuntut seluruh perhatiannya. Bahkan, ia cukup bahagia merawat Lathi saja tanpa perlu repot-repot jatuh ke arena kehidupan bernama jatuh cinta, apalagi berkeluarga. Kyai Yuwono yang ganteng putih tinggi memakai pakaian gamis panjang dan berjenggot lebat kehitaman itu datang dengan senyum ramah dan ucap salam. Bapak Sekaryani, yang bernama Pak Karyan, memaksa Sekaryani keluar kamar untuk meladeni Kyai Yuwono, untuk membuatkannya minum juga menemaninya mengobrol. "Pak, aku masih repot mengurus Lathi," alasannya. "Tinggal sebentar juga tidak apa-apa, kan?" Sekaryani terpaksa menuruti perkataan bapaknya, sebab kalau tidak, bapaknya mengancam untuk mengadakan kenduri dan Sekaryani yang akan disuruh menjelaskan status Lathi. Pada saat bapaknya dan Kyai Yuwono datang, ibunya sedang ada di kebun mengurus singkong. Manjani pun sudah pulang sebelum Ashar. "Apa kabar, Sekaryani?" mulai Kyai Yuwono, berdiri dan menjulurkan tangan untuk salam yang tak menyentuh jari. "Saya baik-baik saja." "Bagaimana, betah di kota?" pertanyaan basa-basi. "Kalau saya betah, saya tidak akan pulang, mas." "Oh, begitu. Untunglah kamu pulang ya. Saya jadi bisa ketemu kamu lagi. Kita dulu pernah dekat." "Oh, saya hampir tidak ingat." Kyai Yuwono mengedarkan senyum lebar yang dibuat-buat. Kemudian menyusul keheningan di antara mereka, sebab Kyai Yuwono tak ingin dicap terburu-buru ingin menyunting, juga Sekaryani yang malas meladeni. "Sudah dulu ya, kalau mau lanjut silakan dengan bapak. Saya mau urus anak dulu." Sekaryani bangkit tanpa menunggu balasan dari Kyai Yuwono. "Kamu punya anak?" pada saat Kyai Yuwono menanyakan itu, Sekaryani sudah masuk kamar. Pak Karyan kemudian memohon maaf kepada Kyai Yuwono. "Maaf ya, pak Kyai. Mungkin masih lelah anak saya itu." "Tidak apa-apa, Pak Karyan." "Ini kok banyak cicak ya tumben." Pak Karyan menengok langit-langit. Ada satu cicak yang jatuh ke kopyah Kyai Yuwono, dengan cepat ia menangkap cicak itu dan membunuhnya dengan cara memukulnya dengan kopyah hitam berkali-kali. "Cicak harus dibunuh, Pak." Pintu kamar Sekaryani menjeblak terbuka, membiarkan Lathiyang dengan geram berlari menuju ruang tamu dan menyerang Kyai Yuwono. Mencakar wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD