JILATAN 64

742 Words
"Cukup, Lathi, kau tak perlu membuktikannya kepada Bibik. Bibik percaya. Apalagi mengetahui bahwa kau baru saja bangkit kembali dari abu kematian. Pasti ada keajaiban yang lain. Lagipula, Bibik tak tega melihatnya." Itu dikatakan Bik Muyah sembari memohon kepada Lathi karena gadis cantik itu tanpa diminta, mengiris-iris lengannya dengan pisau. Darah yang mengalir kembali serta sayatan yang menutup kembali, membuat Bik Muyah ngeri sejadi-jadinya. Baru kali ini ia menyaksikan hal semacam itu. Bahkan Bik Muyah sebenarnya tak tahan mendengarkan ketika Lathi menceritakan ketika ia jatuh dari tanah tinggi dan lehernya terpuntir namun hari berikutnya lehernya sudah betul kembali. Ada semacam belaian maut yang membuatnya tak nyaman. Ketika cerita sampai di bagian Lathi menjadi sumber penyembuhan bagi semua orang, ini menyingkirkan rasa tak nyaman. Sudah tugas Bik Muyah untuk menolong orang yang menderita penyakit. Dan mengetahui ada obat manjur di atas segala obat yang pernah diraciknya, Bik Muyah terkesima. "Apakah darahmu masih dapat dipergunakan untuk menyembuhkan?" "Lathi kurang yakin, Bik. Terakhir kalinya, darah dalam tubuh Lathi berubah jadi kadal ganas." "Mungkin mengikuti suasana hatimu?" "Mungkin saja Bik. Tapi Lathi sangsi, khawatirnya, bukannya menyembuhkan, malah membuat parah. Atau buruknya lagi, mati." "Benar juga. Lebih baik jangan macam-macam dengan apa yang kurang kita ketahui." "Seandainya saja Ki Yono masih hidup. Beliau pasti punya cara untuk meneliti." Bik Muyah merasakan kesedihan Lathi. Ki Yono, siapa pun dia, baru saja akan menjadi sosok ayah ideal bagi Lathi. Tapi ledakan sial itu merampas segalanya. Wajar saja jika Lathi mendendam. Walau ia sudah membayar dendamnya itu dengan eksekusi yang sama, bahkan ledakannya jauh lebih dahsyat, tetap saja semua itu tidak bisa mengembalikan kebahagiaan yang baru sedetik dipeluk oleh Ki Yono dan Sekaryani. Bik Muyah teringat dengan pemuda babak belur yang dahulu pernah ditolongnya. Lathi menyinggung nama itu berkali-kali dan itu mengangkat kembali ingatannya. Ia memastikan Guntho yang dimaksud adalah Guntho yang sama. "Benar, Guntho pernah bilang ia dirawat oleh Bik Muyah. Bik Muyah yang dimaksud adalah Bibik?" tanya Lathi. Mereka berdua mengenang Guntho. Pemuda yang kompleks. "Pemuda itu membawa kisah yang tak bisa dipegang. Apa-apa yang diceritakannya, semuanya meragukan. Guntho mengaku pada Bibik, kalau dia telah melakukan dosa yang tak paling disesalinya. Yaitu menyerahkanmu kepada Iwan Bagong. Dia pemuda yang terhimpit situasi. Kita tak bisa seratus persen menyalahkannya. Dia di bawah ancaman." Lathi mengenang Guntho. Teman baiknya yang misterius itu. "Kuanggap Guntho sudah impas. Dia sudah membayar dosanya. Di akhir hayatnya, dia berusaha menyelamatkanku. Mungkin kalau saja rencananya berhasil tanpa menimbulkan kekacauan fatal itu, bisa jadi dia baru akan mengaku padaku." "Kau memaafkannya?" "Aku tak pernah benci kepada Guntho. Aku tak bisa menyalahkannya. Orang seperti Iwan Bagong dan pamannya-lah yang sepatutnya disalahkan. Dan orang-orang seperti mereka itu patut dibinasakan." "Kepada siapa kau akan memulai misi bunuh diri ini?" "Entahlah, Lathi belum tahu. Sepertinya Lathi perlu keliling dulu. Mengamati dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang yang banyak mudaratnya, itu sasaran Lathi." Bik Muyah mengembuskan napas panjang, ia tak begitu setuju dengan misi Lathi. Ia ingin memberi nasehat lebih lanjut, tapi sepertinya Lathi sudah bulat dengan niatannya. "Lathi, kau benar-benar yakin ingin mengambil jalan ini? Jika kau sudah masuk ke dalamnya, tidak ada jalan kembali. Kau tak akan pernah dapat mengembalikan apa yang telah kau perbuat. Pembunuhan adalah salah satu dosa tak termaafkan." Lathi lama tak menjawab. Ia memilih untuk mengamati keseluruhan isi rumah Bik Muyah tanpa alasan. Lalu beranjak menuju tempat pisau-pisau diletakkan. Ia ambil satu yang agak panjang. Tanpa babibu, Lathi memotong satu jarinya dan mengangkat tangannya ke udara. Dalam lima detik, jarinya itu tumbuh kembali. Jari yang buntung, tergeletak tak berdaya. Ia bawa keluar dan kubur dalam tanah. Bik Muyah menepuk kening. Sudah tak ada jalan lagi. Lathi yang dikiranya adalah perwujudan bidadari atau dewi, ternyata memiliki kebengisan serupa iblis. "Lathi sudah bulat tekadnya, Bik." Lathi kembali masuk ke rumah dengan tangan berlumuran tanah dan darah. Bik Muyah menatap sedih kepada Lathi. "Kalau begitu, Bik Muyah tak bisa merestuimu atau membantumu. Jalan Bik Muyah tidak sama dengan jalanmu." "Apakah Bibik mengusir Lathi?" Bik Muyah mengangguk samar. "Jika Lathi bulat mau mengambil jalan itu. Maka jangan jadikan rumah Bibik sebagai perhentian." Lathi memeluk Bik Muyah. "Tidak apa-apa Bik. Lathi mengerti. Lathi memang berniat mengambil jalan ini sendirian. Terima kasih sudah menampung Lathi selama delapan hari ini." "Yang benar empat puluh delapan hari." Kata Bik Muyah, menyudahi pelukan berairmata itu. "Tapi mungkin, Bibik hanya bisa menyertaimu dengan pakaian dan makanan. Akan Bibik siapkan dahulu." "Terima kasih banyak, Bik Muyah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD