JILATAN 65

1140 Words
Sampai kapan pun, Lathi akan mengingat kebaikan Bik Muyah. Bibik itu telah menolong banyak orang. Termasuk Guntho dan dirinya. Lathi sadar diri, ia tak boleh membebani Bik Muyah dengan rencana pembunuhan massal orang-orang jahat. Lathi sudah melakukannya sekali. Meski dibarengi kehilangan, rasa puas telah memusnahkan satu dari parasit negeri cukup menyenangkan. Meski pada awalnya rencananya tidak seperti itu. Rencananya mereka akan kabur diam-diam. Mungkin hanya melukai atau melumpuhkan beberapa penjaga. Dan mereka bertiga, Lathi, Upik dan Guntho, kabur bersama-sama. Membangun kembali masa muda yang direnggut. Seandainya saja Lathi tidak ikut meledak dan terurai menjadi partikel-partikel kecil, ia akan mencoba untuk mengucurkan darahnya kepada Upik dan Guntho. Tapi ia meragu, apakah cara itu akan berhasil, mengingat apa yang terjadi dengan air mata darahnya. Tiap tetesnya berubah menjadi kadal-kadal ganas. Kadal ganas bergigi runcing memangsa para b*****h sial itu. Lathi tahu betul. Apa yang akan dilakukannya ke depan, tidak akan pernah mengembalikan Upik dan Guntho, apalagi Mama Sekaryani dan Ki Yono. Ia berjanji kepada diri sendiri, ia akan balas dendam. Cukup jadi anak perempuan manis. Berhubung wujudnya baru, visi hidupnya juga harus baru. "Aku akan bunuh semuanya." Janji Lathi. Ini mungkin akan jadi misi bunuh diri. Itu kalau yang melakukan bukan Lathi. Ini bukan misi bunuh diri, karena setelah mati, Lathi bisa hidup lagi. "Sudah waktunya aku memanfaatkan apa yang kupunya untuk hal yang lebih besar. Yaitu kematian para b*****h. Aku akan jadi malaikat maut bagi mereka." Motivasi itu menggerakkannya. Lathi telah berjalan kaki jauh dari rumah Bik Muyah. Ia melewati jalanan beraspal yang bolong sana sini, dengan hutan di samping kanan kiri. Mobil dan bus yang lewat tak memedulikannya. Seorang gadis berpakaian longgar mencangklong tas. Lathi tak berhenti sama sekali. Ia kuat. Ia tak merasa lapar. Ia tak merasa lelah. Selama perjalanan kaki itu Lathi asyik memikirkan cara-cara kematian yang akan ia persembahkan kepada para b*****h. Ia ingin, para b*****h itu merasakan siksa lebih dahulu. Contoh paling kecil adalah apa-apa yang pernah Lathi lakukan dahulu ketika sedang mengeksplorasi kemampuan menyembuhkan dirinya. Ia akan terapkan itu semua kepada b*****h. Kalau waktunya tak memungkinkan, Lathi baru akan mengambil tindakan cepat. Pembunuhan instan. Tentu dengan cara yang membuat orang awam bergidik ngeri, bahkan muntah. Tidak masalah kalau para b*****h kaya itu punya banyak pengawal yang akan menghadang. Lathi bisa bela diri, setidaknya ia pernah belajar berminggu-minggu di padepokan Ki Yono. Tidak masalah bila ia dihujani dengan peluru dan lemparan pisau, atau pukulan tongkat besi. Itu semua tidak akan membuatnya sakit ataupun berhenti. Lathi sudah coba lagi di rumah Bik Muyah, ia tak merasakan sakit sama sekali. Anggota tubuh yang buntung, bisa dengan cepat tumbuh kembali. Ia jadi takjub dengan diri sendiri. Tapi, siapa sasaran pertamanya? Lathi belum punya daftarnya. "Oh ya, aku harus menjadi pengamat. Pengamat serta Algojo. Algojo Kesunyian. Terdengar bagus." Lathi menyibukkan pikirannya dengan rencana-rencana. Tak terasa kakinya sudah mengirimnya ke suatu pasar. "Tempat ini cocok jadi tempat percobaanku." Lathi suka melihat berita di tivi kalau pasar banyak premannya. Bik Muyah tidak tahu, Lathi mengambil beberapa bilah pisau yang ringkas untuk dibawa. Pasar itu tidak terlalu bagus tempatnya. Becek di mana-mana. Penjualnya membludak, sama halnya dengan para pembeli. Mata Lathi mengawasi gerak-gerik setiap manusia yang luber di sana. Ia mencari-cari, muka-muka berniat buruk. Semasa masih di gedung tinggi Iwan Bagong, Lathi dan Upik suka berfantasi menjadi pembela kebenaran. Upik bilang, "mulailah dari menolong orang dengan tampang paling susah." "Pengemis-pengemis gadungan juga bermuka susah." Bantah Lathi. "Kalau begitu kita harus cermat. Kita selidiki satu per satu. Kita ikuti mereka dalam bayang-bayang." "Benar juga." Lathi mengamati satu per satu pedagang. Ia mengamati juga mendengarkan. Ia berlalu lalang, pura-pura mengamati barang jualan. Pura-pura memeriksa buah atau sayuran. Telinga tajam mendengarkan. Mana kira-kira yang sedang diteror preman pasar. Tadi sempat Lathi melihat satu preman pasar. Berjaket jins dengan lengan robek. Ia mengikuti ke mana preman itu pergi. Perhatian Lathi jatuh pada pedagang tempe yang tipis-tipis sekali. Dari tadi jarang pembeli yang mampir di lapaknya. Lathi mendengarkan ibu tua itu memelas saat dibentak si preman. Lathi mendengar, preman itu dijuluki Si Buluk oleh pedagang lain dalam bisik-bisik di lapak sebelah. "Ini sudah tiga minggu situ tidak bayar uang keamanan. Mana ayo sini duitnya." Si Buluk merebut dompet si ibu. "Yah, belum ada juga?" "Dagangan saya belum laku, bang." Kata si ibu, memelas. "Kalau tidak bisa bayar uang keamanan jangan dagang di sini. Sudah tahu dagangan gak laku, masih ngotot aja jualan di sini. Begok banget sih." Sumpah, kuping dan hati Lathi panas mendengarnya. Ia sudah ingin memberi pelajaran si preman saat itu juga. Tangannya sudah mengepal dan hendak mengambil pisau dari tas. Tapi ia berusaha bertahan. Ia harus menunggu. Ia tak boleh diketahui sebagai algojo yang mencabut nyawa si Buluk di depan mata banyak. Ia harus menunggu malam. Di tempat sepi ketika si Buluk lengah. Lathi menandai si Buluk. Lalu ia beredar kembali. Berusaha mendinginkan hati dan kuping. Menunggu malam. Menunggu pasar sepi. Biasanya, preman pasar tidurnya juga di pasar. Di lapak yang agak bagusan. Lapaknya para pedagang yang lumayan laris. Lathi mencari tempat sembunyi. Ia makan roti bekal dari Bik Muyah. Ia meminta maaf, karena dalam pembunuhan pertama ini, sedikit energinya didapat dari roti Bik Muyah. Malam tiba. Semakin larut dan semakin sepi orang di pasar. Lathi berhati-hati mengikuti gerak si Buluk. Sesudah bercengkerama dengan preman-preman lain, si Buluk menuju tempat istirahatnya. Di sebuah lapak bagus dalam pasar. Emperan lantai sudah dibersihkan oleh empunya. Si Buluk kemudian menggelar karpet dan mengambil bantal yang disembunyikan di celah antara meja pelapak. Baru mau rebahan, Lathi menunjukkan dirinya. Si Buluk kaget, melihat gadis cantik menuju ke arahnya. Naluri bejatnya datang, seperti biasa kalau ketemu gadis cantik, "Neng cantik ngapain masih di pasar malam begini?" "Neng kesasar bang." Lathi pura-pura. Ia ambil duduk di sebelah si Buluk. Si Buluk pun mengusap muka dan merapikan rambut. Dalam celananya sudah sesak, burungnya berdiri. Lathi memakai pakaian longgar yang memperlihatkan belahan d**a. Mata si Buluk terpaku ke sana. "Ya sudah, Neng tunggu pagi saja ya. Besok pagi abang antarkan ke mana pun neng mau pergi." "Beneran, bang?" "Iya, neng tidur di sini aja dulu." Dalam otak si Buluk, kalau Lathi tidur nanti, mau dibuka lebih lebar bajunya. Ia pikir, Lathi sebagai gadis kesasar akan merasa terlalu lelah hingga tidurnya lelap. Si Buluk mau remas-remas d**a montok Lathi. Lathi meletakkan tasnya di samping. Lalu merebahkan diri di karpet punya si Buluk. Si Buluk memberikan bantalnya kepada Lathi. Si Buluk pura-pura duduk agak menjauh, demi kesopanan palsu. Ia minum kopi yang dibungkusnya tadi dari warung, tentu tanpa membayar. Itu kan sudah pajak keamanan malam. Lathi pura-pura tidur, pura-pura lelap. Betul ternyata, tangan si Buluk beraksi. Lathi bisa merasakan bajunya disingkap. Si Buluk tidak tahu, Lathi sudah menggenggam pisau. Lathi buka mata, mengejutkan si Buluk yang sudah mau meremas d**a Lathi. Pisau mengiris tangan si Buluk. Preman pasar itu menjerit. Lathi menendang si Buluk hingga terpukul mundur hingga jatuh. Selanjutnya yang terjadi adalah sabetan pisau bertubi-tubi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD