SAYATAN 9

821 Words
Sastro sempat melihat sekelebat penampakan muka orang yang lagi bersembunyi di balik saka rumah. Itu sama seperti bocah yang mengikutinya tadi saat diantarkan Wastu. Bocah dengan penutup mata satu. “Keluar, atau kulempar pisau?” ancam Sastro. Bocah yang bersembunyi itu terkekeh. “Ancaman macam apa itu?” bocah itu akhirnya keluar, dia menutup kepalanya pakai jubah pendekar. Geraknya begitu cepat, dia lompat memutar dan mencomot sumpit di meja dapur. Saat mendarat, dia langsung melesatkannya ke arah Sastro. Sastro terdorong ke belakang sampai terjengkang. Satu sumpit menancap di bahunya. Sastro mengaduh. Bahunya sangat nyeri. Dia takut mau mencabut sumpit itu. Khawatir kalau malah menyemburkan banyak darah. Bocah sialan itu melihat tas Sastro, dia membuka risletingnya, matanya membelalak melihat banyak sekali uang. “Jangan berani-beraninya kau!” desis Sastro. Bocah itu melesatkan lagi sebatang sumpit, mengenai bahu satunya Sastro. Sastro menjerit tertahan. Bocah itu mencari di laci-laci lemari dapur, menemukan kantong plastik, lalu memindahkan isi tas Sastro ke sana. “Terima kasih atas kemurahan hatimu,” si bocah lenyap dengan cara membanting bom asap. Sastro terbatuk-batuk. Dia sulit sekali bangkit. Dia bingung, bagaimana memanggil Wastu atau pendekar yang lainnya kalau akses menuju perguruan sudah ditutup karena malam sudah tiba. Sastro berjuang untuk berdiri, kotak pertolongan pertama ada di samping lemari bumbu. Dia tertatih menuju ke sana. Tangannya sangat nyeri. Dia belum jadi murid di padepokan ini tapi sudah kena sial macam ini. Itu artinya tidak semua murid di padepokan ini menjunjung tinggi kebijaksanaan seperti yang diusung Wastu. Setelah siap dengan sebotol alkohol, obat merah, kapas, perban, perekat, Sastro menggigit gagang pisau lalu mencabut satu dulu sumpit yang menancap. Dia menggeram. Segera dia mengguyur pakai alkohol lalu menotol dengan kapas, dia sirami obat merah, buntal perban lalu direkat. Sastro lakukan lagi untuk luka satunya. Dia membaringkan diri di dipan empuk yang tersedia. Sialan sekali bocah itu. Tapi, kalau melapor nanti dia belum begitu pasti, apakah bocah tadi yang menggunakan tambalan mata atau bukan. Wajahnya tidak kelihatan di balik kerudung jubahnya. Sastro juga membalurkan salep zambuk ke sekitar lukanya supaya tidak menimbulkan memar. Dia berusaha tidur, tapi kesulitan karena nyerinya masih bandel. Di lingkungan ini hanya rumahnya yang menyala. Dia pikir dia berani tinggal sendiri. Sejak langit menggelap dan terdengar bunyi jangkrik di halaman belakang, Sastro berpikir dua kali. Dia mulai kepikiran yang tidak-tidak tentang makhluk selain manusia di tempat ini. Sastro menyadari bahwa Kong Jaal ilmunya sudah melampaui sihir. Dia jadi menyimpulkan jangan-jangan sihir ini berkaitan erat dengan makhluk-makhluk tak kasat mata seperti jin. Seperti yang dia tahu dari obrolan-obrolan pasar tentang bagaimana tukang debus melakukan perjanjian dengan jin supaya mereka sakti mandraguna. Derit yang beberapa kali terdengar dalam interval cukup panjang, menambah kehororan tempat inap Sastro. Apakah ini adalah cara mereka menyambutnya? Apakah besok masih ditakut-takuti? Atau sudah diterima. Sastro mencoba mengabaikan semua itu. Dia terlonjak kaget ketika mendengar ada ketukan di pintu. “Siapa?” seru Sastro. Dia sengaja menyalakan semua lampo di setiap ruangan. Dia takut gelap. Tidak ada yang menyahut. Sastro terlonjak melihat di jendela depan, muncul sekilas wajah putih aneh dengan mata panda. Sekilas lalu menghilang. Segera Sastro memejamkan mata dan membungkus dirinya pakai selimut. Dia menggigil semalaman. Pagi-pagi Sastro terbangun dan mendapati dirinya sudah pindah tempat. Dia berbaring di bangku panjang, bertelanjang d**a. “Wastu?” Ada Wastu di sampingnya, sedang menotol-notol semacam tumbukan tanaman herbal ke luka Sastro. “Ada yang menyerangmu tadi malam?” Sastro mengangguk. “Apakah ada dari murid di padepokan ini yang sangat bengal?” Wastu tampak tidak yakin. “Meski peraturan dan adat kita di sini sangat kental. Kita masih belum bisa memecahkan misteri untuk mengenali sifat asli orang lain. Setidaknya, aku yang belum bisa.” Sastro menceritakan apa yang hilang. “Aku tidak bilang menuduh ada murid di padepokan ini yang melakukan itu. Tapi, yang jelas, dia pakai jubah pendekar muda.” “Baik, aku akan mencari pelakunya. Atas nama padepokan, kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Wastu selesai mengobati luka Sastro. Sastro merasa sudah enakan sekarang. “Mungkin nanti malam aku akan utus salah satu pendekar senior untuk menemanimu. Itu akan memudahkanmu untuk membuat laporan observasi. Bagaimana?” tawar Wastu. Sastro semringah. Itu lebih baik. Setidaknya dia tidak perlu takut lagi melewati malam. Melewati waktu siang hari dia manfaatkan untuk menengok kegiatan dalam padepokan melalui pagar yang membatasi rumah penginapan dengan isi padepokan. Sastro mengamati para pendekar muda berlatih beramai-ramai dalam gerakan yang sinkron. Sastro membawa bukunya dan mulai melakukan pencatatan serta membuat sketsa. Tapi, sehariannya itu lebih dia banyak gunakan untuk memperhatikan bukit batu tinggi. Apakah Lathi di sana baik-baik saja? Sastro hanya bisa masuk padepokan ketika sudah waktunya makan siang. Makan siang bersama digelar di sebuah aula besar yang dapat menampung seribu satu orang bersamaan. Sastro memilih lauknya, lalu duduk di ujung meja. Di ujung meja lain, seorang pendekar muda bertutup mata mengawasinya dengan mata tajam. Sastro tersedak dibuatnya. Sastro geram. Ini tidak bisa dibiarkan. Entah dapat suntikan keberanian dari mana, Sastro mendekati bocah itu dan melabraknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD