SAYATAN 8

1014 Words
Sastro membuka mata, bangun dari tidur paling nyenyak yang belum pernah dia rasakan selama tiga tahun terakhir. Seingatnya, dia tadi berada di ruangan Kong Jaal. Di sampingnya ada Lathi, mereka berdua lagi berbincang tentang Bik Muyah. Lalu… Sastro menepuk jidat. Dia tertidur karena teh hangat manis yang menghanyutkan alam sadarnya. Dia tidak lagi di ruangan Kong Jaal, melainkan di tengah-tengah aula. Sastro duduk bersila, badannya membungkuk ke lantai. Saat mendongak, pendekar muda congkak yang menerimanya di gerbang, berdiri di hadapannya. Si Wungkul. “Kau niat jadi calon pendekar muda baru?” tanya Wungkul ketus. Sastro berusaha menguasai dirinya. Tidurnya terlalu nyaman tadi sehingga sekarang ini dia masih merasa rileks. Tidak seharusnya dia menanggapi perkataan Wungkul dengan senyum merekah. Sastro mengangguk dengan senyum merekah. Aneh, apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Sastro merasa kena pengaruh obat-obatan penenang yang membuat hepi. Wungkul jadi kesal. “Heh, kau serius tidak sih?” “Tentu aku serius. Aku akan menimba ilmu di padepokan ini.” Sastro berdiri dengan lihai. Geraknya seperti boneka goyang di depan sebuah toko yang digerakkan dengan kipas. “Tunjukkan keseriusanmu dong, jangan cengengesan kalau menjawab,” gerutu Wungkul. Sastro masih terlalu santai. Wungkul memintanya untuk mengikutinya. Sastro mengimbangi langkahnya. “Hei, apa masalahmu, kok sebegitu ketusnya sama orang baru?” Wungkul naik pitam, dia menotok Sastro hingga tak bisa bicara. Niatnya begitu awalnya, tapi Sastro malah sesak napas. Kesantaiannya sirna seketika, tubuh Sastro mengejang. Ambruk ke lantai. Wastu yang lagi berkeliling, melihatnya. Dia langsung berlari cepat. “Hentikan! Kau hanya akan membuatnya makin buruk!” Wastu menepis tangan Wungkul yang berniat untuk membatalkan totoknya. Wastu membalik badan Sastro, dia membuka kemeja Sastro dan memeriksa bekas totokan Wungkul. “Bodoh, kau menyerang saraf pernapasannya!” bentak Wastu. Wungkul bergerak mundur, terkejut dengan akibat perbuatannya. Dia baru saja keluar dari ruang perenungan. Ditugasi untuk membawa Sastro ke kamar persiapan calon pendekar baru muda. Tapi begini hasilnya. Dia yakin pasti sebentar lagi dia kena hukuman berat. Wungkul pasrah saja ketika tiga orang pendekar senior datang secepat kepulan asap. Dia angkat tangan mengerti apa yang selanjutnya akan terjadi. Wungkul diangkat pergi. Wastu menyusuri jalur saraf pernapasan Sastro, dia membalik badan Sastro kemudian menotok bagian punggung yang sejajar dengan totokan Wungkul tadi. Seketika Sastro bisa bernapas lega. Dia membelalak, rasa sakit yang sempat tertahan kemudian meledak dan membuatnya kewalahan. Wastu mengusap-usap punggungnya, lalu melakukan gerakan seperti memeras barang tak tampak, menarik kulit  leher Sastro sampai ke ubun-ubun. Sastro kembali normal. Dia terengah pelan. “Baiklah, saya saja yang mengantarmu ke penginapan. Kami dalam waktu dekat ini belum dapat menerima murid baru. Belum ada yang graduasi. Jadi, kau bisa tinggal di sini, tapi bukan di lingkungan para pendekar. Apakah tidak masalah? Kau bersedia menunggu?” tanya Wastu. “Eh, iya, baru ingat, Lathi ke mana?” tanya Sastro. “Tampaknya Lathi langsung diasuh sendiri oleh Kong Jaal. Beliau melihat potensi luar biasa yang belum terkuak, akan sangat bahaya kalau pendekar tingkatan sepertiku yang membimbingnya. Kami belum sehebat Kong Jaal. Terlalu jauh belum hebatnya.” Sastro mengangguk. Itu artinya dia terpisah dengan Lathi. Miris juga, terpisah dalam satu tempat yang sama. Rumah penginapannya ada di luar lingkar perguruan. Saat sampai di sana, Sastro sadar bahwa hanya dia seorang yang bakal menempati rumah mungil itu. “Kau terbiasa untuk mandiri, kan?” tanya Wastu, memastikan. “Tentu saja,” Sastro menengok ke sekitar. Rumah itu berjajar dengan rumah-rumah penginapan kecil lainnya. Semuanya tak ada penghuni. Di belakang rumah penginapan itu adalah kebun kosong dengan pohon-pohon mangga. “Baik, tugasmu seperti ini, kau dipersilakan untuk masuk lingkungan perguruan, berkeliling melihat-lihat. Tapi cukup sampai di situ saja, jangan ikut campur atau ikut belajar langsung. Tugasmu adalah membuat catatan, apa yang kau dapatkan dari pengamatanmu selama kami mencarikan slot untukmu menimba ilmu. Ingat, padepokan hanya menerima..” “Sembilan sembilan sembilan pendekar, ya ya, aku ingat,” potong Sastro. “Bagus, silakan menginap. Persediaan makanan akan diisi ulang setelah satu minggu,” Wastu menjura, Sastro balas menjura juga. Kemudian Wastu pergi. Sastro menerima kunci dari Wastu tadi, dia buka rumah itu. Meski tidak ditempati, Sastro bisa melihat bahwa rumah-rumah penginapan ini rutin dibersihkan. Tak ada debu menempel sama sekali. Rumah penginapan ini yang menggunakan listrik. Sastro tadi mendapati bahwa di lingkar perguruan, tak ada listrik. Kalau malam mereka menyalakan lampu minyak atau obor. Sastro masuk ke kamarnya. Isi rumah penginapan itu lebih bagus daripada kos-kosannya di kota. Furniturnya lengkap. Ada lemari buku beserta isinya. Ada satu set meja makan. Dapur yang cukup modern. Sastro mendecak kagum. Rasanya dia akan kerasan di sini. Merasa lapar, padahal tadi sudah beli sarapan dua porsi mie goreng dalam satu mangkuk, Sastro mengecek isi dapur. Lengkap sekali. Ada kulkas, bahan makanan sayur-sayuran, bumbu, rempah-rempah. Sastro langsung mencari resep menarik di internet. Menariknya, di sini juga tersedia internet. Setelah lama mau menentukan, akhirnya Sastro kembali ke menu sederhana seperti nasi goreng. Dia menanak nasi dulu untuk persediaan makannya dua hari. Sembari menunggu, Sastro menikmati buah-buahan yang ada di kulkas. Yang disediakan di sini juga tidak melulu mesti sehat-sehat, Sastro menemukan botol-botol minuman bersoda juga kesukaannya. Dia bawa dua buah apel dan sekaleng kola, duduk di teras depan rumah penginapan. Dia menikmati pemandangan rumah-rumah penginapan lain yang kosong. Dari tempatnya berleha-leha, Sastro bisa melihat bukit batu legendaris itu menjulang di tengah-tengah lingkungan perguruan. Sastro menyipitkan mata dan membentuk teropong dari tangannya. Dia melihat di puncak bukit batu itu ada gerombolan awan bermuatan petir menyambar-nyambar. Tidak ada bunyi yang terdengar. Awan itu kini berpusar seperti gasing, muncul mata pusaran. Sastro seperti merasakan ada entakan energi  yang melintasi sekelilingnya. Dalam sekejap tapi tak begitu kentara. Sastro mengatur napas, lalu memerhatikan lagi bukit itu. Sekarang puncak bukit itu dinaungi langit jingga. Ada semacam selubung yang membungkusnya. Sastro jadi penasaran. Karena tak mungkin bikin nasi goreng pakai nasi panas, akhirnya Sastro mengisi perutnya dengan mie goreng lagi. Bikin nasi gorengnya nanti sore, dia sudah menyisihkan dua piring nasi untuk dia dinginkan. Berjalan menuju meja makan, Sastro tiba-tiba mematung berhenti. Dia menangkap adanya kelebatan sosok orang. Dia antara yakin tidak yakin sempat melihat ada kepala yang bergerak cepat bersembunyi lagi. “Siapa di situ, keluar!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD