SAYATAN 4

879 Words
“Kita tidak perlu menemuinya,” kata Bik Muyah. Lathi tersulut, “Kenapa tidak?” “Ceritanya panjang,” jawab Bik Muyah ogah-ogahan. “Ini ibu Lathi, Bik. Bibik bilang yang berjanji akan mempertemukan kami. Sekarang, ibu Lathi tidak ada di sini. Petunjuk ada di orang ini. Bawa Lathi ke tempatnya!” bentak Lathi. “Janjiku hanya membawamu ke sini. Bukan untuk mempertemukanmu dengan ibumu!” Bik Muyah juga meninggikan suara. Sastro bingung berada di tengah-tengah pertengkaran itu. “Jangan memutar-mutar janji. Tidak ada yang tahu Bik Muyah janjinya apa. Bawa Lathi ke Kong Jaal!” “Aku bilang tidak ya tidak. Sampai kapan pun aku tidak akan menemui orang itu! Enak saja dia masuk ke rumahku tanpa ijin. Rasanya mau kubakar saja rumahku ini. Jijik aku tahu ada jejaknya di sini,” Bik Muyah menyerbu keluar gubuk. Dia menendang pintu bambu sampai engselnya lepas. Sastro bengong melihat Bik Muyah kabur begitu saja. Lathi mengejar sampai pintu. “Bibik!” Sastro menyusul, dia melihat Bik Muyah berjalan ke arah pantai. Lathi memukul tembok kayu, kesal bukan main. Dia menoleh ke Sastro dengan tajam. “Kamu, antar aku cari di mana Kong Jaal,” perintahnya. Sastro meringis, garuk-garuk kepala. Tidak mau berlama-lama, Lathi menyeret Sastro keluar. “Eh eh, mau cari di mana memangnya?” Sastro menarik diri dari seretan Lathi. “Dia pasti warga sini. Kamu tanya ke warung atau apalah,” pinta Lathi. Sastro angkat tangan, dia memaksa berhenti. “Oke oke, aku akan cari tempat Kong Jaal. Kau coba susul Bik Muyah ke arah sana. Dia pasti punya alasan kenapa tidak mau.” Lathi mengerucutkan bibir. “Ya ya baiklah.” Lathi pun bergerak mengikuti jejak Bik Muyah. Sastro mulai turun dari hutan. Dia melihat kok ada garis kuning. Dia mengendap-endap, mencari celah untuk bisa keluar. Sastro menikmati udara sejuk di desa ini. Masih asri. Jalanannya belum jadi aspal. Masih tanah berkerikil. Kalau tidak hati-hati bisa kepeleset jatuh. Sastro melihat ada sebuah warung di ujung jalan, di perempatan kanan kiri tanah kosong. Dia masih memegang uang tunai Bik Muyah. Lagipula dia lapar, pengin sarapan. Di warung itu Sastro memesan dua porsi mie goreng. Pemilik warung mengamati Sastro sambil mengernyit. “Kamu bukan orang sini ya?” Sastro mendongak, tersenyum lebar lalu geleng kepala. Mulutnya penuh dua suapan. “Berkunjung ke rumah saudara di sini?” tanya pemilik warung yang bernama Lek Kasim. Sastro menggeleng juga. Dia melumat dulu yang ada di mulutnya. Setelah tertelan dia menyedot teh manis. “Saya mau ketemu Kong Jaal.” Lek Kasim langsung membentuk mulut bundar. “Mau belajar silat toh?” Kalau ditanya seperti itu berarti informasinya adalah Kong Jaal seorang guru bela diri. Sastro mengangguk saja. “Di mana ya padepokannya?” “Kamu masuk lewat mana sih tadi? Dari gerbang desa juga papan namanya juga sudah kelihatan. Tinggal ikutin jalan.” “Oh, saya tadi tidak lihat,” Sastro merogoh tasnya, mengeluarkan kacamata sebagai alasan. “Oh, pantas. Nah, saya beritahu, Kong Jaal bisa mengobati matamu yang minus itu lho. Kamu tepat datang ke sini. Pokoknya mah, kalau ada apa-apa masalah kesehatan datangnya ke Kong Jaal saja, jangan ke Bik Muyah.” “Bik Muyah?” Sastro pura-pura bego. “Iya, Bik Muyah, yang tinggal di hutan. Sekarang gak tahu lagi ke mana gak pernah kelihatan lagi. mereka itu musuh bebuyutan. Denger-denger dari lahir, tapi gak tahu juga. Bik Muyah itu ngelmu hitam. Buruk lah pokoknya. Kalau Kong Jaal ngelmu asih.” Sastro menggosok dagunya mencerna informasi ini. “Kamu asal mana tadi?” tanya Lek Kasim. Sastro menjawab asal. Sebelum Lek Kasim ngoceh lebih lanjut tentang daerah yang disebutnya, Sastro segera bayar dan mulai jalan. “Ya, lebih baik pagi-pagi karena kalau siang, Kong Jaal semadi di bukit!” seru Lek Kasim, melambaikan selembar seratus ribu tanpa kembalian. Sastro menyusuri jalanan kerikil desa itu menuju gerbang masuk. Benar juga, ada papan besar di sebuah gang kecil. Sastro mengikuti jalan itu. Padepokannya luas sekali. Seperti ada desa di dalam desa. Dari gerbang masuknya saja Sastro bisa melihat ada bukit menjulang tinggi. Oke, Sastro sudah tahu tempatnya. Dia segera putar balik untuk menemui Lathi. Lathi menanjaki tanah bergunduk. Kakinya tersangkut akar, dia terjerembab dan berguling-guling turun ke bawah. Ke pesisir pantai. Kakinya terkilir, dia mendudukkan diri dan membetulkan posisi kakinya dan secepat kilat sudah sembuh. Jejak kaki Bik Muyah masih kelihatan tercetak di pantai. Debur ombak laut mengecup berkali-kali bibir pantai. Dari nuansanya, Lathi bisa merasakan pantai ini memiliki misterinya sendiri. Terlalu tebal. Dia melihat pantai ini begitu sepi tak ada jejak lain. Sambil jalan mengikuti jejak Bik Muyah, Lathi melihat ada keong bergerombol berjalan menuju tepi laut. Lathi memungut satu yang paling besar dengan capit sebesar jempol. Lathi meniupinya. Lathi tertawa, lalu menaruhnya lagi di pasir. “Bik Muyah!” panggil Lathi. Jejak Bik Muyah mengantarkannya ke sebuah karang tepi pantai. Di sana ada sebuah gua kecil. Bik Muyah tidak menyahut. Lathi masuk ke dalam gua itu. Dia menoleh ke belakang dan kaget mendapati ada sesosok anak kecil di tengah lautan, berdiri mengawasi Lathi. Lathi mencoba mengamati lebih lama, tapi sosok anak kecil itu lenyap seketika dari pandangan. “Bik Muyah!” panggil lagi Lathi. Dia masuk ke dalam kegelapan gua. “Berhenti di situ, jangan masuk terlalu dalam. Bibik yang akan ke situ.” Akhirnya Bik Muyah bersuara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD