SAYATAN 3

1046 Words
Bik Muyah dapat mendengar bunyi kokok ayam dari kejauhan. Matahari sudah mulai mengintip bumi dari timur. Cahayanya perlahan menembus ke wilayah ini. Menerangi jalan dalam pecahan-pecahan larik sinar menembus himpunan pohon. Bik Muyah menepuk pundak Sastro, membangunkannya. “Ayo kita jalan kaki.” Sastro mengucek mata. Ketakutannya sudah luruh di dalam mimpi. Dia mimpi buruk sebenarnya tapi tidak mengigau atau tubuhnya bereaksi. Bik Muyah menekan itu. “Terus mobilnya?” “Tinggalkan saja. Biar diambil orang dan dikembalikan ke yang punya,” kata Bik Muyah. Sastro merenggangkan badan. Dia mengambil barang-barang yang perlu dia bawa untuk dimasukkan ke tas. “Lathi.. bangun, nak. Kita sudah sampai. Kita lanjut perjalanan dengan jalan kaki menembus hutan. Kau kangen dengan hutan tempat tinggal bibik, tidak?” Bik Muyah menepuk pipi Lathi lembut. Lathi yang sudah kondusif, perlahan membuka mata. Dia menguap panjang. Tubuhnya sudah bugar. Lathi bangun seolah kemarin tidak terjadi apa-apa. “Asyik.. bertemu ibu.” Bik Muyah meringis mendengar itu. Ada firasat tak enak yang menunggunya di dalam gubuk. Lathi bangun mengumpulkan barang-barangnya. Bik Muyah tidak bawa tas, barang-barang miliknya dijejalkan masuk ke tas Sastro. Mereka turun dari mobil, membiarkan kunci mobil masih mencantol. Bik Muyah memimpin jalan. Sastro jalan beriringan bersama Lathi. Diam-diam dia melirik Lathi. Kecantikannya terpancar mulai dari pagi. Setelah tersembunyi sebentar di kala gelap. Wajah Lathi secerah matahari yang baru terbit. Jalanan sudah terang dan dari kejauhan mulai muncul kendaraan motor berkantung. Pedagang pasar mulai berangkat. Bik Muyah turun ke pinggir jalan. Meski sudah dibelikan sendal oleh Sastro tetap dia tidak pakai. Baginya, telapak kakinya adalah kompasnya. Dia akan mengenali tempat, jalur, dan arah dari pijakan telapak kaki menyentuh tanah. Mereka turun ke belahan sesemak dekat pohon berbatang patah. Bik Muyah menyibak ranting-ranting saling silang. “Ayo masuk,” ajaknya. Lathi gembira dia menyusul cepat. Sastro kewalahan sedikit karena tasnya tersangkut  ranting. Bik Muyah mengenali jalur yang sudah dibuatnya bertahun-tahun. Hanya saja sekarang ini sudah tumbuh rumput dan semak, dia mesti membuka jalur lagi. Bik Muyah menginjak-injak rumput untuk membuka jalur pijakan kaki ke tanah yang pernah dia buat. Ini adalah jalur rahasianya. Sudah dia jampi-jampi agar tidak ada yang bisa menemukan. Kalau pun masuk ke sini, selain dia dan orang-orang yang dia ijinkan, akan kesasar dan tidak bisa keluar dari hutan. Ujung jalur ini adalah belakang rumah gubuknya. Lathi ikut membantu menidurkan rumput. Sastro kakinya mulai gatal-gatal kena sayatan pinggiran rumput. Dia menahannya. Dia menyesal harusnya pakai sepatu saja. Sepatu bot kalau perlu. Dia sekarang ini pakai sendal tanpa kaus kaki. Gatalnya bukan main. Dia yakin kakinya sudah bentol-bentol. Untunglah perjalanan menembus rumput gatal ini tidak berlangsung lama. Menurut jam tangan Sastro, mereka hanya butuh satu jam saja. Bik Muyah menyibak rumput terakhir dan terpampanglah rumah gubuknya. Namun, ada bau yang aneh. Bau yang Bik Muyah tak kenali. Lathi masih ingat dengan rumah gubuk itu. Dia langsung mendahului Bik Muyah untuk bertemu ibunya. Bik Muyah dengan sigap menjegal Lathi. Lathi tersungkur, dia berbalik dan menatap tajam Bik Muyah. “Kok aku dijegal?” Sastro takjub dengan hutan lebat ini. Tanah bergunduknya cocok buat main sepeda gunung. Dia baru lihat Lathi dijegal ketika dia berhasil keluar dari jalur rumput dan ranting yang bandel terus-terusan menyangkuti tas dan bajunya. Sastro mengernyit menyaksikan Bik Muyah bertindak waspada. Dia menyuruh Lathi diam di tempat sementara dirinya mengendap-endap di sekitar gubuk. Tangannya memindai. Sastro menghampiri Lathi, mengusap lututnya yang kena tanah. Sastro membantu Lathi berdiri dan mengikuti Bik Muyah, dengan mengendap juga. Bik Muyah mendapai banyak jejak kaki sepatu bot di tanah. Ini bukan sepatu warga desa. Warga desa tidak ada yang punya sepatu bot seperti itu. Bahkan pamong desa pun paling banter punyanya sepatu pantofel. Ini juga bukan sepatuh kalangan militer. Hati Bik Muyah mencelos. Dia bergerak tanpa suara menginjak dedaunan. “Diam di situ!” desis Bik Muyah kepada Sastro dan Lathi. Bik Muyah mengangkat selot pintu bambunya dengan menyelipkan tangan masuk ke lubang yang tertutup papan triplek. Dia yakin, pintu ini belum lama ada yang membuka. Kalau Ibu Lathi ada di dalam pasti dia bisa mendengar langkah kaki Bik Muyah. Sekarang ini tidak ada yang terdengar bergerak di dalam. Perlahan Bik Muyah masuk. Rumah gubuknya masih gelap. Bik Muyah sedikit meraba mencari pemantik apinya lalu menyalakan lampu minyak. Ruangan gubuknya mulai terang. Tidak dilihatnya keberadaan Ibu Lathi. Bik Muyah sudah mengingatkan dengan keras agar Ibu Lathi tidak ke mana-mana. Bik Muyah melihat ada bekas cakaran di tanah dan meja, serta di tempok bambunya. Seperti ada hewan buas yang masuk ke sini dan terjadi pertempuran. Barang-barangnya juga pada berantakan di bawah. “Ibu!” seru Lathi. Dia masuk, lolos dari genggaman Sastro. Bik Muyah pikir Lathi ketemu dengan ibunya di luar. Ternyata Lathi masuk ke dalam gubuk, kemudian kecewa tidak melihat siapa pun di dalam selalin Bik Muyah yang waspada. “Bik, di mana ibuku?” Bik Muyah tidak tahu mesti jawab apa. Dia masih meneliti pola barang-barang berantakannya. Gubuknya habis disatroni serigala. Bik Muyah memungut sejumput helai bulu serigala, menghirupnya. Benar, ibu Lathi sempat bertarung dengan serigala ini. Lathi jongkok, mencolek genangan menyerupai darah di tanah. Dia mencium aromanya, bukan darah. “Ini apa, Bik? Ke mana ibu Lathi?” Bik Muyah mendekati Lathi, mengamati juga cairan itu. Dia mencolek dan menjilatnya, lalu meludah banyak-banyak, mengusir rasa buruk dari cairan itu. “Sialan, ini oli,” gerutu Bik Muyah. Sastro akhirnya masuk. Dia melihat Lathi kelihatan kecewa dan bingung. Di meja dekat tungku api, Sastro melihat ada secarik kertas. Dia memungutnya. “Bik, Muyah, lihat ini.” Bik Muyah segera menghampiri Sastro dan mengambil secarik kertas itu. Dia tidak bisa baca. “Tulisannya apa ini?” Lathi ikut nimbrung, menyingkirkan kekecewaannya terlebih dulu. “Bik Muyah, kita perlu bicara. Begitu tulisannya,” Sastro membacakan. “Dari siapa itu, ada namanya?” tanya Bik Muyah. Sastro mencari petunjuk tapi tidak menemukan. Oh, dia belum membaliknya. Ada inisial K J. Bik Muyah mendelikkan mata. “Mau apa itu orang?” dia bertanya-tanya. Lalu teringat, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ibu Lathi. Jangan-jangan Ibu Lathi ditemukan warga. Bik Muyah langsung menoleh ke Lathi. “Siapa Bik, KJ?” “Kong Jaal, musuh bibik.” Mendengar kata musuh, otomatis memberi konotasi negatif ke pikiran Lathi. Dia tiba-tiba naik pitam, mukanya memerah. “Di mana kita bisa menemukannya? Kita buat perhitungan kalau memang orang ini macam-macam dengan Ibu Lathi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD