SAYATAN 2

1074 Words
Perjalanan Lathi bersama Sastro dan Bik Muyah tidak mengalami halangan sama sekali. Lathi tidur pulas di pangkuan Bik Muyah. Sastro membawa mobilnya dengan cukup mulus. Beberapa kali dia mesti putar balik karena salah jalan. Di suatu kesempatan berhenti di pusat perbelanjaan, dia beli banyak power bank supaya ponselnya tetap bisa menyala menampilkan peta. Di waktu macet, Sastro berselancar di internet mencari tahu apakah ada berita mengejutkan. Ternyata sudah ada. Di jaman sekarang kejadian aneh seperti di komplek Pak Hendra itu tidak mungkin luput. Hanya saja berita itu hanya menampilkan foto dan judul kejadian saja. Detail kejadiannya tidak dijelaskan. Rupanya orang-orang itu lupa ingatan. Bahkan termasuk Pak Hendra yang mobilnya dicuri Sastro. Sastro sebal ternyata Lamtoro membawa motor Bik Muyah untuk pergi ke komplek itu demi memburu Lathi. Lamtoro tidak tahu cerita lengkapnya sih, kalau tahu dia tak mungkin nekat membunuh. Lathi tidak bisa mati. Sastro menebak Lathi sekarang berumur delapan belas atau sembilan belas. Gadis belia yang cantik dengan tubuh bagus atletis. Kalau di alam normal, pasti banyak yang naksir Lathi. Kopi yang diminumnya cukup untuk bertahan sampai tujuan. Kira-kira pagi-pagi besok mereka akan sampai. Sastro sudah dipesan agar kalau sudah mendekati desa Ndoroalas, Bik Muyah minta dibangunkan. Mereka tidak akan masuk lewat gerbang utama. Ada jalur tersendiri yang tahu hanya Bik Muyah. Itu agar warga tidak tahu kapan dia pergi kapan dia datang. Tidur Bik Muyah gelisah. Dia merem-melek, mendengus, mendengkur, menggaruk-garuk, meniup-niup. “Duh, saya gak bisa tidur,” keluhnya. Sastro mendengar keluh kesah Bik Muyah. “Semakin dekat dengan Ndoroalas, saya bisa merasakan ada peristiwa ganjil baru terjadi di sana,” Bik Muyah garuk-garuk hidung. “Satu jam lagi kita sampai, Bik,” kata Sastro. Bik Muyah menggeram, kakinya kesemutan, tapi tak tega mengangkatnya karena Lathi tidur sangat pulas. “Nanti kalau lewat jalan sepi kiri kanan hutan, kau kasih tahu kalau ketemu ada pohon batangnya patah.” “Baik, Bik.” Bik Muyah mengamati Lathi dalam-dalam. Dalam hati dia merasa iba, Lathi telah melalui terlampau banyak hal dalam hidupnya. Kini dia akan berpulang kepada ibunya. Bik Muyah setidaknya senang bisa menepati janji itu. Sudah sekian lama dia hidup berjalan tanpa ada dorongan semacam itu. Meski sedikit, setidaknya ada pencapaian. Tiba-tiba Lathi gelisah tidurnya. Dia mengigau dengan menangis. Menendang-nendang. Jalanan lagi gelap, Sastro memperlambat laju mobilnya dan menyorotkan lampu jauh. Tidak ada mobil satu pun yang melintas dari arah berlawanan sejak satu jam tadi. Dia sudah masuk jalur beraspal dihimpit dua hutan. “Hati-hati, nak,” saran Bik Muyah. “Sshh shh, kenapa Lathi?” Bik Muyah mengusap kepala Lathi. Mobil berguncang, tampaknya Sastro baru saja melindas sesuatu yang seukuran lengan orang dewasa. “Apaan tadi itu yah?” Sastro mengecek dari spion kanan, tapi tak kelihatan, sesuatu itu sudah ditelan kegelapan. Terguncang lagi, kini di sisi kiri. “Hati-hati, Sastro!” gerutu Bik Muyah. “Memang tidak kelihatan? Bahaya kalau kau melindas kucing!” “Maaf, Bik, ini aneh, tidak kelihatan sama sekali.” Bahkan Sastro sudah lebih memelankan lajunya. Lathi makin intens mengigaunya. Dia duduk mendadak, menangis tanpa air mata. “Sesuatu telah terjadi,” kata Bik Muyah yakin. Sastro merinding, dia sepertinya melihat ada bayangan kelebatan sayap kalong besar di depan sana. “Bik… lihat sesuatu tidak?” tanya Sastro takut-takut. “Apaan?” “Umm… kalong misalnya?” Bik Muyah membiarkan Lathi membungkuk dengan kepala menyandar ke bangku depan. Dia menengok ke jendela, mengawasi situasi di luar yang sepi tanpa suara, gelapnya gelap yang mampu mencengkeram tanpa permisi. “Tidak ada tuh.” Sastro mencoba menghibur diri bahwa itu hanya halusinasi. Mungkin otaknya lagi lelah sehingga memunculkan imajinasi yang tidak-tidak. Didukung lagi oleh suasana hutan di kiri kanan. Seolah ada banyak pasang mata tengah mengawasi. Bersembunyi di balik semak-semak. Bulu kuduk Sastro berdiri tegak sampai-sampai dia menggelinjang. Perasaan mau buang air menghampirinya. Yang ditakutkan terjadi. Tiba-tiba mobilnya mogok. Padahal sudah dijampi-jampi Bik Muyah tadi di pom bensin terdekat, dua puluh lima kilometer yang lalu. “Kenapa, Sastro?” “Mogok, Bik,” Sastro bergetar suaranya, dikuasai ketakutan. “Oke, tenang,” Bik Muyah mengunyah sirihnya lagi sambil jampi-jampi. Lathi sudah tidur tenang. Meski mogok, mobil masih menyorotkan lampu jauhnya. Sastro mengerjap dan mengucek matanya memastikan ada sesuatu di depan sana. Sekitar tiga ratus meteran. Samar-samar. Bik Muyah memejamkan mata, membuka tutup cukup cepat. Sastro menoleh ke belakang dan makin membuat bulu kuduknya lompat-lompat. Dia menguncangkan kaki. Di depan sana, bayangan kelebatan sayap kalong muncul lagi. Kini diiringi bunyi sayap dikepak. Tiba-tiba mobil Sastro berguncang. Ada yang mencengkeram atap mobil. Sastro refleks memencet klakson. Sastro menjerit ketika mobil terangkat sedikit. Bik Muyah makin intens melempar jampi-jampi. Mobil dijatuhkan, berguncang keras, kepala Sastro terantuk kemudi, terpencet klakson. Dari depan, gemeruduk, terlihat olehnya barisan kadal… tidak… itu komodo! Berjalan cepat ke arah mobil. Sastro pasrah saja sudah. Komodo itu berjalan cepat sampai-sampai kelihatan lagi berlari dengan dua kaki belakangnya. Mencapai kap depan mobil, barisan komodo itu loncat. Terdengar bunyi buk keras disertai guncangan hebat di mobil. Mobil Sastro dihantam gelombang barisan komodo. Cakar-cakar mereka merusak bodi mobil. Makhluk serupa kalong yang mau mengangkat mobilnya tadi diterjang oleh komodo. Sastro melihat ke belakang, menyalakan kilat pada ponselnya. Benar, ada kalong raksasa yang lagi meronta-ronta melepaskan diri dari serbuan komodo. Kengerian ini berlangsung selama hampir satu menit. Sastro meringkuk melindungi kepalanya sambil sedikit dia mengintip. Bik Muyah akhirnya selesai melontarkan jampi-jampi dengan tarikan napas panjang hampir seperti orang tersedak. Lathi yang dari tadi tidak tenang geleng-geleng kepala terus di punggung kursi, kini sudah tenang. Sudah tidak mengigau menangis lagi. Dia kembali menaruh kepalanya di pangkuan Bik Muyah. Sastro terengah-engah. Mobil masih tidak bisa dinyalakan. Mau turun, dia kelewat takut. “Bik, bagaimana ini Bik, saya takut banget.” Bik Muyah meraup muka Sastro dari belakang. “Ya sudah, saya buat tidur saja. Kita tunggu sampai terang dikit.” Bik Muyah biasanya tidak masalah keluar dan masuk gelap-gelap di daerah ini. Seharusnya daerah ini tidak ada kejadian macam tadi. Gelapnya memang mencekam, tapi tidak menyimpan makhluk-makhluk halus super iseng. Tadi itu tampaknya ulah Lathi. Dalam ketidaksadarannya dia memanggil makhluk kalong dan para komodo gaib itu. Menunggu terang, Bik Muyah berjaga-jaga sambil membuka jendela kaca mobil. Dia mengeluarkan satu pak rokok dari tas yang dia beli di toko kelontong. Dia baru kali ini merasakan rokok buatan pabrik. Biasanya Bik Muyah punya tembakau kering sendiri dan melintingnya pakai kertas khusus atau kulit jagung. Rokok pabrik ini enak tapi terlalu ringan buatnya. Dia mendesah seiring melepas asap, “Sesuatu telah terjadi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD