JILATAN 58

1120 Words
Segalanya bergerak cepat dan tak terantisipasi lagi. Segalanya bergerak, dan yang menjadi batu hanya Lathi saja. Semua bergerak, cepat dan tanpa suara. Seperti telingamu yang baru digampar dengan keras dan menyisakan denging, dan juga darah mengalir. Segala harapan yang telah ditumbuhkannya sebelum momen ini, runtuh seketika. Ketahuilah, yang paling mudah untuk dilakukan adalah menghancurkan. Kau tumpuk bata-bata lalu disemen, senggol atau tubruk, tumpukan itu akan runtuh. Tembok yang sudah tinggi menjulang itu, saat ini tengah menibani Lathi. Ia tak bisa bergerak. Ia menjadi patung. Ia tak bergerak ketika tangan-tangan kasar anak buah Bos Iwan Bagong mencengkeramnya lalu diikat puluhan lilit tali tambang. Kiranya ada lebih dari dua belas anak buah Iwan Bagong yang masuk ke dalam kamar Lathi. Lathi terpaku, ia melihat darah Upik muncrat ketika tangan gemuk anak buah Iwan Bagong menggamparnya. Sialnya memang, di dua jari tangan anak buah itu terdapat cincin batu akik yang kelewat besar. Upik jatuh terkapar seketika. Upik lalu dibawa ke tempat tidur. Tangan dan kakinya dibelenggu menggunakan borgol ke empat kaki tempat tidur. Di situlah Lathi berteriak. Tiga kali gamparan mendarat ke pipi Lathi. Membuatnya terdiam. Dahulu waktu pertama datang kemari, Lathi tak bisa merasakan sakit sama sekali. Api ledakan yang melumat seisi padepokan telah mematikan itu. Namun kini, rasa sakit itu hadir kembali. Gamparan-gamparan itu membuat bibirnya berdarah. Namun sekejap kemudian lukanya menutup kembali. Lathi dihadapkan kepada muka jelek bos Iwan Bagong. Duduk di sofa saling berhadapan. Kaki pendek bos Iwan Bagong diletakkan ke meja kaca. Ia mengamati Lathi lama sekali dengan senyum misterius. Dengan santai Iwan Bagong menerima layanan dari anak buahnya berupa sebatang cerutu dan segelas anggur merah. Iwan Bagong memberi isyarat untuk anak buahnya meneruskan apa yang mereka kehendaki untuk perbuat. Lathi menengok ke pintu, dua penjaga yang ia lihat bersimbah darah, berdiri dan tertawa kencang. Mereka membersihkan darah palsu di leher mereka. Mereka kemudian menjentikkan jari ke arah luar. Lathi syok melihat siapa yang mereka bawa masuk ke dalam. Ia hampir tak mengenali pemuda yang diseret masuk itu. Itu Guntho. Menyusul kemudian di belakangnya, masuklah seorang berpakaian ala-ala kyai. Lathi suka melihat iklan pengobatan alternatif Bos Iwan Bagong yang dibaduti oleh orang yang baru masuk itu. Namanya Gunarso. Guntho mukanya babak belur. Penuh darah. Ia digeletakkan begitu saja ke lantai. Darah langsung merembesi lantai berkarpet. "Jadi.. ini pangeran yang hendak menyelamatkanmu?" kata Iwan Bagong, mencemooh. Ia bangkit berdiri dan menginjak kepala Guntho. Sepatunya hitam mengkilat. Lathi tak menjawab. Ia beralih pandang antara Guntho dan Upik yang tak berdaya di tempat tidur. "Jadi.. selama ini kau bermanis-manis hanya untuk membuatku lengah. Membuatku percaya kalau kau betah di tempat ini. Jangan anggap aku bodoh, Lathi. Tak ada seorangpun dalam posisimu yang akan merasa betah." Iwan Bagong menuju meja makan. Ia sedikit jongkok untuk meraih sesuatu di bawah meja. Sesuatu yang mirip kancing pakaian. "Aku dengar semuanya." Hati Lathi mencelos begitu dahsyat. Seperti ada orang yang menumpahkan minyak mendidih dengan sengaja dan penuh kebencian. Guntho terdengar batuk-batuk. Darah muncrat sedikit dari mulutnya. Anak buah Guntho menendang lagi perut Guntho. Tambah batuk dan merintih kesakitanlah ia. "Kau telah melukai hatiku, Lathi. Itu tidak boleh. Itu aku tidak suka. Sekarang, lihat teman-temanmu." Lathi menjerit, namun segera mulutnya disumpal dengan bola kain. Jeritannya kini terdengar hanya sebagai geraman. Lathi ditahan oleh empat orang anak buah berotot besar. Kepala Lathi dipaksa untuk melihat tempat tidur. Enam orang sudah mengelilingi tempat tidur. Satu orang merobek baju Upik. Mereka begitu kasar hingga kulit Upik ikut robek. Baju Upik jatuh ke lantai hanya berupa robekan-robekan kain majun. Lalu satu per satu anak buah berbadan kekar itu naik ke tempat tidur dan bergantian menancapkan kelamin mereka. Upik awalnya meronta-ronta, tapi lalu dibuat pingsan dan lemas dengan gamparan tangan berbatu akik. Lathi meronta-ronta di tempat. Kakinya menghentak-hentak. Tapi cengkeraman empat anak buah begitu kuat. Ia mau memalingkan muka susah, lehernya seperti sudah dikunci oleh cengkeraman mereka. "Ini adalah ganjaran atas kekurangajaranmu, Lathi. Kuharap setelah ini kau tidak macam-macam lagi denganku." Kata bos Iwan Bagong santai, mengisap cerutu, bertepuk tangan seiring gerakan pinggul anak buah yang memerkosa Upik. Iwan Bagong sangat menikmati sajian itu. Ia bertepuk tangan kencang setelah satu anak buahnya selesai memuntahkan a******i ke perut Upik. Lalu disusul anak buah berikutnya. Kira-kira satu anak buah bisa memakan waktu tiga puluh menit sampai mereka kelar. Dan semua anak buah yang ada di dalam kamar dalam acara penggerebekan ini, menjajali Upik. Jumlah mereka ada lebih dari dua puluh saat ini. Sementara itu Gunarso duduk tenang saja di sofa depan dapur. Mengoles-oles telapak tangannya dengan cairan pembersih kuman. "Sepertinya dia sudah mati. Terserah kalian masih mau teruskan atau tidak, kalau belum lama mati kan belum kaku-kaku amat." Kata Iwan Bagong. Para anak buahnya sudah telanjur birahi. Yang belum dapat giliran, tidak peduli Upik sudah mati. Mereka akali lubang yang mulai mengering itu menggunakan pelumas. Lalu mereka hajar. Setelah semua itu menuju tuntas, Iwan Bagong bergerak menuju Lathi. Ia menyuruh satu anak buahnya menyeret Guntho mendekat. Guntho diseret dengan cara dijambak rambutnya. Lathi terpelintir jeroannya melihat kulit kepala Guntho yang mau terkelupas. "Saatnya pengungkapan." Iwan Bagong menggosok-gosokkan tangannya dan menyeringai. "Kita ungkap kebenaran dari mulut comberan pemuda ini. Kuberitahu kau Lathi. Pemuda ini adalah pembual dan pembohong." Lathi menggeleng-gelengkan kepala. "Kaupikir, kenapa kau bisa sampai kemari? Kenapa padepokan itu bisa meledak?" Lathi makin kencang menggelengkan kepala. "Pemuda ini, adalah keponakan orang itu. Gunarso. Kita merencanakan ini sejak lama. Guntho adalah pion kami yang paling hebat." Iwan Bagong tertawa. "Dan sekarang, dia sok pahlawan menebus dosa dengan cara mengeluarkanmu dari sini. Itu tak akan pernah terjadi." Lathi menggelengkan kepala hebat. "Kau tak percaya? Tanya saja pemuda ini." Guntho dipaksa menendongak. Ia penuh darah. "Ayo katakan yang sejujurnya." Si anak buah menyuruhnya. Guntho mangap-mangap tapi tak keluar suara. Yang keluar hanyalah darah. "Lihat, hidungnya tidak memanjang. Berarti itu benar." Iwan Bagong mengeluarkan pistol dari balik jasnya. Menodongkan ke kepala Guntho. Pelatuk ditarik. Bunyi letusan. Guntho kepalanya berlubang. Tergeletak tak bernyawa. Kemudian pistol itu diarahkan ke arah Gunarso. "Lho, ada apa tuan bos besar?" Gunarso yang awalnya santai berubah panik. "Kau menilep uangku, bangsat." Lima peluru sisa dari pistol kini bersarang di badan Gunarso. Lathi berhenti menggelengkan kepala. Matanya telah merah oleh airmata. Ia menunduk lama. Saat tangisnya mereda, ia perlahan mendongak. Matanya berusaha menghindar dari jasad Upik. Lathi mencari raut muka lukisan si malaikat maut. Seolah meminta bantuan. Tapi entah sihir apa yang bekerja, setahu Lathi lukisan itu menampakkan wajah malaikat maut yang b*******h untuk mencabut nyawa. Namun kini, lukisan itu menampangkan wajah malaikat maut yang sendu. Iwan Bagong melemparkan diri ke sofa, lalu melanjutkan lagimengisap cerutu dan minum anggur merah. Puluhan anak buahnya yang sudahtelanjang bulat, kini tegak lagi, mereka semua kelaparan dalam birahimenyaksikan Lathi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD