JILATAN 57

1115 Words
Demi Lathi, sang katalis, Upik bersedia menjadi penyambung lidah kepada Guntho. Itu dilakukan dengan amat hati-hati. Dengan cara kuno, yaitu surat menyurat. Lathi akan menulis hal-hal yang ingin disampaikannya kepada Guntho. Itu ia samarkan dengan kode-kode. Kode itu yang pertama dikirimkan kepada Guntho. Guntho pun akan menulis menggunakan kode itu. Dan setiap surat tersampaikan dan selesai dibaca, akan dibakar. Jangan sampai menimbulkan jejak, atau terendus. Upik berdebar jantungnya tiap kali mencari Guntho. Mereka awalnya bertemu di toilet. Tapi kemudian terlalu riskan. Jadi mereka hanya meninggalkan surat berkode itu di toilet, tepatnya di selipan antara dinding dan mesin pengering tangan. Di setiap surat Guntho, selalu ada lokasi dan waktu berikutnya yang kiranya aman untuk bertukar pesan. Lama kelamaan, semua itu berjalan aman-aman saja. Membuat Upik berkurang kecemasannya. Lathi, sang katalis, begitu Upik menyebutnya. "Kenapa menyebutku begitu?" tanya Lathi suatu waktu. "Karena darahmu. Aku pikir nantinya, kalau rencana kita tidak terlalu mulus, akan terjadi baku hantam antara penjaga dan kita. Kupikir Guntho akan maju melawan mereka. Aku pun sudah menyiapkan diri. Aku punya senjata dan bekal bela diri." Saluran televisi layar datar di kamar Lathi, ada yang menayangkan pelajaran bela diri. Upik dan Lathi belajar dari sana. "Jika kita terluka, kau hanya perlu meneteskan darahmu. Dan luka-luka kita akan sembuh." "Benar juga. Tapi jangan sebut Katalis-lah." "Lalu maumu apa?" "Kadalis." Mereka berdua tertawa. Upik sampai terpingkal-pingkal. Sakit perut. Menurut perhitungan Guntho, hari membebaskan diri kian dekat. Upik dan Lathi makin tak sabar. Mereka bangun setiap pagi berharap hari itu telah datang di depan mata. Saking antusiasnya, membuat mereka gugup. Kegugupan itu kemudian disingkirkan dengan acara masak-masak. Mereka semakin mahir saja. Mereka sudah bisa memasak makanan luar negeri. Tapi Lathi tidak begitu suka. "Lidahku, lidah lokal sepertinya." "Ya, tidak ada yang salah dengan itu." Rasanya mengharukan serta menyenangkan mengetahui masih ada satu orang dari hidupmu yang lama yang ternyata masih hidup. Lathi bersyukur Guntho selamat. Karena terakhir kali yang dapat diingat, sebab dulu Lathi kelewat pedih hingga reseptor kenyataannya tak berfungsi, Guntho dihajar habis-habisan di pinggir jalan. Melalui surat berkode itu Lathi mendengar cerita Guntho. Tentang bagaimana ia bisa sampai ke menara ini. Perlu berkali-kali tukar surat sampai cerita itu utuh. Upik tak mau menguji kemujurannya untuk bercakap lama dengan Guntho. Takut dicurigai. Sekarang ini, seperti yang ia amati, para penjaga di lantai kamar Lathi semakin banyak saja. Upik berpapasan dengan Guntho saja tidak berani bertukar pandang walau curi-curi. Kembali ke cerita Guntho. Lathi mengetahui Guntho diselamatkan oleh warga sekitar. Ia dirawat oleh seorang bibi bernama Bik Muyah. Belum sampai sembuh betul, Guntho sudah pergi. Itu dilakukannya untuk mengejar Lathi. Tapi berminggu-minggu berlalu ia tak berhasil. Baru ketika ada pengobatan alternatif yang ramai dibincangkan, Guntho menaruh curiga. Jangan-jangan itu para penculik Lathi. Maka ia kerahkan segala upayanya untuk mencari tahu tempat si bos pengobatan alternatif itu berada. Perlu sampai berdarah-darah juga untuk mendapatkan beberapa alamat yang ternyata palsu. Guntho tak hilang akal. Ia datangi satu tempat praktik pengobatan itu. Ia intai lama, dari tempat itu buka sampai tutup. Ia kemudian ikuti mobil yang menampung Eyang Gunarso dengan sepeda yang dicurinya di pasar. Setelah tahu ternyata markas bos pengobatan alternatif, yang pada akhirnya ia ketahui bernama Iwan Bagong, itu dengan proses berdarah-darah juga dihajar preman penjaga parkir, Guntho merencanakan hal lain. Ia kembali ke Bik Muyah, meminta maaf, dan minta tolong untuk ditampung sampai benar-benar pulih. Sampai lukanya tak begitu tampak. Guntho mengamati koran dan iklan pekerjaan. Ia mau bekerja di menara Iwan Bagong. Tetapi tidak pernah ada. Maka ia mencoba beredar dekat-dekat menara itu. Ia dekati satpam, tukang bersih-bersih, dan salah satu karyawan. Guntho pura-pura berjualan minuman seperti kopi dan es. Ia mulai dengan pembicaraan ngalor ngidul sampai akrab. Barulah ia bertanya apakah ada lowongan di sana. Pucuk dicinta ulam pun tiba, kata pak satpam, ada. Ia minta bantuan untuk dimuluskan jalannya, yaitu dengan iming-iming gaji tiga bulan pertama akan dilimpahkan semua ke pak satpam. Jadilah, Guntho masuk ke menara itu. "Gila benar ini Guntho. Kau teman baikku memang." Komentar Lathi setelah selesai membaca surat kode secara lengkap. "Dia mencintaimu." Tanggap Upik. "Ah, dia itu teman baikku. Sudah seperti saudara malah." "Kau ini, sudah banyak menonton film drama pun. Masih tak peka juga." Lathi tak menggubris itu. Ia senang Guntho masih hidup. Ia merasa tak sendirian di dunia. Guntho pun menolak ide Lathi yang minta hari pembebasan diri harus dilakukan saat Iwan Bagong tidak pergi. Kita harus pergi tanpa terlacak, begitu kata Guntho. Lagi-lagi, rencana Guntho berubah. Awalnya ia akan menggunakan gas pembuat pingsan untuk menjatuhkan para penjaga. Tapi rupanya ia punya cara lain. Itu tidak dibaginya kepada Upik dan Lathi. Intinya, Lathi dan Upik hanya perlu menunggu tanggal yang tepat. Tanggal yang sudah ditentukan Guntho. Yakni sekitar lima hari lagi. Lima hari lagi itu, Iwan Bagong akan pergi ke Singapura. Padahal Lathi sudah membayangkan betapa serunya nanti mereka kabur dengan melompati tubuh-tubuh para penjaga yang pingsan di lantai. Guntho dan Upik memakai topeng gas, sementara Lathi tidak perlu. Lathi membayangkan betapa asyiknya itu, gas pingsan itu akan ia warnai dengan bubuk-bubuk warna. Dan kalau nanti ada penjaga yang bangun, Lathi sudah siap dengan pisau daging, ia akan menancapkan bilah pisau itu ke dahi si penjaga. Darah yang muncrat akan mewarnai bubuk-bubuk warna pula. Ah menyenangkan. Si malaikat kematian mengangguk-angguk menyetujui. Tapi karena diyakinkan oleh Guntho, Lathi terpaksa menurut. Kata Upik pun begitu. "Kita sama-sama dendam, tapi setelah kupikir-pikir dengan akal sehat. Kalau kita membantai mereka juga, kita jadi tak ada bedanya. Kita lakukan pembalasan dendam setelah di luar nanti. Kita punya cukup bukti untuk menjatuhkan Iwan Bagong beserta coro-coronya." Lathi agaknya pesimis dengan ide itu. Tapi ya sudahlah. Kalau nanti rencana tak berjalan mulus, ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Lima hari itu berlalu. Guntho sudah menentukan jam mereka akan kabur. Mereka tak perlu membawa barang. Hanya bawa diri dan senjata seperlunya. Di keranjang belanjaan pagi Upik, diselipkan topeng balaclava. Untuk mereka pakai nanti malam. Malam hari tiba. Upik yakin Iwan Bagong sedang melancong ke Singapura. Tadi pagi ia melihat bos gendut bermuka bagong itu dikawal oleh para penjaga menuju mobil limusin. Bos Iwan Bagong membawa koper banyak. Lima istrinya ikut serta, yang muda-muda. Lathi dan Upik sudah amat gugup. Mereka mencoba mengatur napas. Mereka mengawasi pintu kamar. Banyak gerakan halus gagang pintu yang membuat mereka hampir terkesiap. Guntho akan datang. Guntho akan datang. Lathi dan Upik menahan loncatan kegirangan mereka ketika pintu akhirnya terbuka. Mereka memang melihat ada dua penjaga pintu terkapar. Ada genangan darah di mulut pintu. Akhirnya. Lathi senang melihat darah. Apalagi darah dari musuh. Ternyata, yang masuk bukan Guntho. Melainkan Bos Iwan Bagong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD