JILATAN 98

1092 Words
Tangan itu merangkul sangat kuat. Lathi yang masih terbayang seluruh tubuhnya terhadap kegiatan membuaikan tadi bersama Gugun, tidak dapat memijak melawan. Tangan itu sangat kuat menariknya keluar dari kerumunan. Saat sudah di luar kerumunan, Lathi mencoba meronta, tapi tangan itu membentuk bogem dan meninju wajah Lathi. Lathi tak merasakan sakit, tapi tetap saja, dia jadi ambruk ke tanah. Dia menoleh ke arah penyerang. “Siapa kau?” “Aku yang akan menamatkanmu!” seru laki-laki itu yang perawakannya seperti kuli bangunan. Sementara itu terdengar riuh rendah lenguhan keenakan dari Dila dan Gugun. “Kau tidak lihat itu? Daripada menamatkanku, lebih baik bubarkan kerumunan itu!” Si kuli melirik sekilas, dia tadi memang tidak melihat jelas ada apa di pos keamanan itu. Dia fokus ke Lathi karena dia mesti membayar dendam supaya impas. “Bukan urusanku. Urusanku adalah kau. Kematianmu!” sengit si kuli. “Silakan silakan, kalau kau membuatku mati. Ya kalau bisa ya. Tapi, ijinkan aku menuntaskan urusanku di situ!” Lathi mundur merangkak, menunjuk pos keamanan. Gila, sekarang kerumunan itu mulai melucuti pakaian masing-masing. Kerumunan itu adalah para penghuni komplek ini, kebanyakan adalah tante-tante, om-om, dan para pembantu centil. Ada juga kuli bangunan yang lagi merenovasi beberapa rumah kosong. Ada juga tukang sayur, dia copot singletnya lalu membaluri badan pakai cabe. Kemudian salah satu mbak-mbak pembantu menerjangnya, menindihnya dan menjilati biji cabe pada d**a bidang tukang sayur itu. Absurd sekali. Lathi jadi teringat dengan mimpinya. Dia mendongak ke langit, tampaklah awan gelap mulai berarakan menuju komplek itu. “Gawat.” Lathi berdiri, dia berlari dan hendak menerjang kerumunan telanjang d**a itu. Tapi Lathi dijegal oleh si kuli bengis ini. Lathi heran kuli ini kenapa tidak ikut terpengaruh kerumunan? Sekarang kerumunan itu mengangkat Dila yang tanpa baju ke atas. Dila bagai benda yang diombang-ambingkan di atas ombak tangan. Dila mengangkang lalu mengencingi tiap orang. Pancuran kencingnya deras, panjang, dan lama. Lathi mundur, menghindari pancuran itu. “Dila, hentikan! Ngapain kamu!” Lathi berseru, dia berusaha memberontak dari bekapan si kuli. Lathi mengumpulkan kekuatan, lalu menyundul dagu si kuli. Si kuli terhuyung jatuh. “Edan!” dia baru melihat kengawuran orang-orang seperti itu. Apa yang merasuki mereka? Sialnya si kuli kena cipratan kencing Dila. Dia tersihir. Tiba-tiba si kuli meloloskan celana jinsnya dan memegangi batang perkasanya, menantang. Mata si kuli haus kepada Lathi. “Haduh,” Lathi mendecak. Mimpinya jadi kenyataan. Batang perkasa milik si kuli jauh lebih tegang dan besar daripada milik Gugun. Kalau saja Lathi lepas kendali bisa jadi dia akan melayani orang ini. Lathi mengambil batu besar dan menimpa kepala si kuli sampai ambruk. Meski telah ambruk dengan kepala bocor, pinggul sampai kaki si kuli masih mencoba bergerak ke arah Lathi. Batang perkasanya seperti kepala ular kobra yang mencari mangsa. Lathi menibani batang itu pakai batu tadi. Terdengar suara barang patah. Si kuli baru berhenti menggelepar. Dia meringkuk seperti ulat gonggo. Kini kerumunan itu. Bagaimana membubarkannya? Tidak mungkin Lathi menimpuki satu per satu orang. Cara yang terpikir oleh Lathi adalah membuat pingsan dua orang yang menyebabkan ini semua. Yaitu Gugun dan Dila. Lathi mengambil batu yang lebih besar lagi. Dila kini sudah ditempatkan pada bangku pos keamanan. Dia diperlakukan bak dewi yang dipuja-puja. Lathi mengambil ancang-ancang, dia berlari menerjang kerumunan. Waktu mau menimpuk dia ditinju oleh Gugun yang cepat sekali gerakannya. Hal ini membuatnya sadar, yang jadi biang kerok adalah Dila seorang. Lathi terhuyung, dia menjatuhkan batunya hingga menimpa jempol si satpam. Si satpam meringis dan melolong kesakitan, kuku jempolnya remuk. Tangan-tangan dari kerumunan kemudian menarik Lathi. Dia dicakar-cakar sambil dibuang keluar kerumunan. Tiap cakaran itu cukup dalam, tapi bisa langsung sembuh. Latih bersikeras maju. Bahkan ada tangan yang nekat meraup wajahnya mau mencongkel matanya. Lathi gigit tangan itu sampai jarinya putus. Kekuatan kerumunan tak sebanding dengan Lathi seorang diri. Pada akhirnya Lathi terbuang dari kerumunan. Dila berdiri menang di atas bangku pos keamanan. Dia melambai ke Lathi. Kecupan jauhnya dia lempar ke langit. Samar-samar terdengar gemuruh langkah kaki dari setiap gang komplek. Orang-orang semakin banyak keluar rumah dan bergabung dengan kerumunan. Mereka berjalan cepat sambil melucuti pakaian satu per satu hingga sampai di pos, mereka sudah telanjang bulat. Lathi sampai terdorong posisinya semakin keluar kerumunan. Dia melihat langit semakin gelap dan mulai hujan rintik. “Dila, apa yang kau rencanakan?” seru Lathi. Dila berdiri di atas pundak seorang yang gagah. Dia menari-nari seperti sedang memainkan orkestra. Orang-orang di kerumunan sekarang mulai menibani satu sama lain dan mencolokkan kelamin masing-masing. Astaga, ini persis seperti mimpinya. Lathi mau muntah melihat kakek-kakek berbuat itu dengan seorang om-om. Dila tertawa. “Inilah, perwujudan keinginan mendasarmu, Lathi!” balas Dila. “Tidak, tidak seperti ini. Kau hanya akan membuat orang-orang ini mati!” hujan kian deras. “Itu yang kau inginkan Lathi. Kau ingin menghukum manusia. Maka inilah pelajaran pertama mereka!” “Hentikan, Dila, hentikan!” Lathi memohon. Dila tertawa. Dia menggerakkan lelaki gagah di bawahnya mendekati Lathi. Dila dengan tubuh polosnya menjulang di atas Lathi, dia berkacak pinggang. “Kau tidak belajar, Lathi?” Lathi menatap Dila tajam. Mata Lathi berubah jadi merah. Seketika juga hujan berubah menjadi darah. Tetesan hujannya mencium tanah dan berubah jadi kelabang-kelabang. Dari kelabang-kelabang itu berkumpul dan berubah jadi kadal-kadal. Sementara itu, dari pintu masuk komplek, mobil dinas Pak Hendra mulai masuk. “Ada apa di sana?” Pak Hendra heran. Dia memberhentikan mobil. “Tunggu di sini,” pintanya, Pak Hendra mengendap sambil bersiap dengan pistolnya. Di kursi penumpang ada Sastro dan Bik Muyah. “Bik, itu Lathi?” Sastro menunjuk ke kejauhan. Bik Muyah menyipitkan mata. “Iya, itu Lathi.” Pak Hendra mengendap, dia heran ada hujan lokal di sekitaran pos keamanan, kemudian dia dikejutkan oleh banyaknya warga komplek yang telanjang bulat sedang ramai-ramai menindihi masing-masing. Dia ujung kerumunan ada seorang perempuan tak berbusana berdiri di atas pundak laki-laki gagah. “Ada apa ini?” Sastro bersiasat. Dia melihat kunci mobil Pak Hendra masih mencantol. Dia langsung pindah ke kursi pengemudi, menyalakan mobil dan menginjak gas. “Heh, ngapain?” Bik Muyah mendesis. “Kita selamatkan Lathi,” kata Sastro. Bik Muyah melihat hujan lokal di sekitaran pos keamanan berubah jadi hujan darah. Di tanah muncul kelabang dan kadal. Lathi sedang berhadapan dengan perempuan tanpa busana. Mobil mengebut, melewati Pak Hendra yang berteriak tapi tak digubris Sastro. Sastro mengempot dan membuka pintu depan. “Lathi, ayo masuk ke sini!” Lathi melihat kadal-kadalnya mulai menyerang Dila dan kerumunan. Dia tersadarkan, mendengar ada yang memanggilnya, lalu berdiri dan masuk ke mobil. Sastro segera injak gas lagi keluar dari komplek itu. “Bik Muyah?” Lathi heran. “Lathi, ibu kandungmu ingin bertemu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD