JILATAN 99

1041 Words
Lathi melihat ke belakang. Perasannya campur aduk. Dila sudah tak bisa diselamatkan. Gugun apalagi. Tapi, Pak Hendra? Ini mobil Pak Hendra yang dibawa Sastro dan Bik Muyah. Bagaimana mereka bisa sampai ke sini? “Ibu kandung Lathi?” dia masih bingung. Sastro mengintip dari spion tengah dan kiri. Langit di dalam komplek itu berubah merah. Lainnya tetap normal. Entah ini akan terlihat oleh wilayah lain atau tidak. Hujan deras darah menimpa komplek itu. Sastro merasa buruk hatinya. Dia menghentikan mobil. “Iya, ibumu masih hidup. Sekarang ada di rumah bibik. Mumpung masih ada waktu, kamu bisa bertemu ibumu. Semua pertanyaanmu akan terjawab,” kata Bik Muyah. “Tapi…” Lathi berbalik badan, melihat ke arah komplek. Mereka baru tiga ratus meter dari gerbang masuk komplek itu. “Kita harus kembali. Aku harusnya bisa menghentikan Dila.” Bik Muyah mendesah. Tapi mau bagaimana lagi. Sastro putar balik. “Hujan darah itu, berbahaya tidak?” tanya Sastro. “Kau akan mati kalau kena tetesannya,” jawab Lathi. Di depan gerbang, Lathi turun. Dia berlari ke arah kerumunan yang sekarang jadi arena pembantaian. Dila masih tertawa membahana. Lathi berlutut, dia menyentuh genangan darah di tanah. Dia berkonsentrasi. Ini semua darinya. Ini semua bagian darinya. Maka dia harusnya bisa mengendalikannya. Sastro dan Bik Muyah menyaksikan dari mobil. Bik Muyah melakukan hal yang dia bisa. Dia memejamkan mata dan mengunyah sisa sirih yang dia simpan di balik kutang. Matanya membuka dan menjadi putih, Sastro ngeri-ngeri melihatnya. Bik Muyah komat-kamit. Kadal-kadal dan kelabang bergabung pada kerumunan yang tenggelam pada kegiatan menggelinjang. Mereka belum tampak sedang menyerang mereka dengan membabibuta. Ada pun yang tergigit, tapi masih meneruskan kegiatan enak-enak mereka. Lathi melihat Pak Hendra kebingungan di pinggiran kerumunan. Dia bahkan meletuskan pistolnya ke atas untuk peringatan, tapi tak digubris. Pak Hendra tidak melihat Lathi. Dia pikir bahkan Lathi ada di dalam kerumunan. Dia ketakutan kalau-kalau Lathi sedang dijahati oleh kerumunan telanjang itu. Pak Hendra kaget bukan main saat melihat Dila yang tanpa busana menari begitu erotis. Saat Gugun diangkat juga tanpa busana dan menari erotis, realita yang selama ini dipegang Pak Hendra runtuh bagai gunung dihantam bom nuklir. Dalam waktu cukup lama Pak Hendra menjadi patung, bingung mau melakukan apa. Dia jatuh berlutut. Memandang kosong ke kerumunan yang makin menggila. Lathi mengalihkan perhatian dari Pak Hendra. Fokusnya adalah mengalahkan Dila yang menjadi penggerak ini semua. Lathi menggigit lengannya sampai berdarah, meski lukanya bakal menutup, setidaknya ada darah yang menetes. Dia satukan dengan banjir darah. Semakin lama ini dibiarkan, orang-orang komplek sebelah bisa jadi ikut berkumpul ke sini juga. Lathi salah, hujan darah itu bukan menghancurkan kulit manusia, melainkan membuat orang makin terpengaruh oleh pikiran m***m Dila. Lathi membuat matanya jadi merah. Dia mencoba menguasai dirinya dan bagian-bagian dirinya di dalam Dila dengan perpaduan darah ini. Dia konsentrasi sampai urat-urat pada pelipisnya timbul. Dari genangan darah di tanah muncul lebih banyak lagi kadal-kadal. Kadal-kadal gaib yang sering dia jumpa dalam mimpi. Kadal-kadal itu memangsa kadal-kadal dan kelabang-kelabang yang lahir dari tetesan hujan. Lathi menyuruh mereka mengabaikan orang-orang dalam kerumunan. Fokuskan serangan ke Dila. Kadal-kadal gaib itu ukurannya bertambah besar seiring melahap kadal-kadal dan kelabang. Mereka menerobos masuk kerumunan yang sedang melakukan persebadanan dalam posisi berdiri dan pasangannya menclok seperti monyet. Saat sedikit lagi menghadapi Dila, mereka berhenti, mendongak kelihatan meragu. Lathi mengerahkan kekuatan fokusnya lagi. dia yang berkuasa. Dirinya yang seutuhnya. Tak bisa dikalahkan oleh jasad hidup karena darahnya. “Habisi dia!” seru Lathi. Kadal-kadal gaib itu menurut. Mereka loncat dan mencaplok kepala Dila. Sekali hap langsung buntung. Pak Hendra yang masih menatap kosong, tak menyaksikan itu. Lathi tetap mempertahankan kendalinya. Empat kali caplokan wujud Dila sudah tak dikenali. Lathi memerintahkan agar kadal-kadal gaib tidak meninggalkan sisa. Orang-orang di kerumunan mulai sadar. Mereka terlonjak kaget dan buru-buru mencabut kelaminnya dari pasangan bukan sahnya. Mereka mencari baju yang tercecer yang sudah berlumuran hujan darah dan menutupi tubuh mereka. Lathi berkomunikasi secara telepati dengan kadal-kadal gaib itu. Wujud mereka yang jadi sebesar rumah membuat orang-orang di kerumunan membelalak ngeri dan kabur cari perlindungan, bersembunyi di balik punggung masing-masing. Lathi menarik napas panjang, kadal gaib mengikutinya. Kadal-kadal gaib itu menghirup habis genangan darah dan sisa tetesan hujan, bahkan awan gelap merah darah juga ikut tersedot. “Sinting,” decak Sastro. Seumur hidup, ini adalah kejadian paling absurd yang pernah dia saksikan langsung. Lathi ngos-ngosan. Kadal-kadal gaib itu sudah menunaikan tugasnya lalu menghilang. Selagi situasi menguntungkan, yaitu Pak Hendra masih linglung dan orang-orang di kerumunan malah ribut sendiri, Lathi bangkit dan berlari menuju mobil. “Oke, bawa aku ke ibuku sekarang,” pinta Lathi. Sastro mengangguk, dia tancap gas. Bik Muyah mengusaikan komat-kamitnya, dia melepeh sirihnya ke luar jendela. Tubuh dan baju Lathi berlumuran darah. Mobil jadi bau-bau anyir. Selagi mobil melaju menjauh, Lathi membuka jendela samping dan menoleh ke arah komplek, dia memikirkan Pak Hendra, “maafkan aku, Pak Hendra.” Setidaknya Gugun akan aman dari gangguan Dila sinting dan Pak Hendra tidak perlu pusing lagi bagaimana menjelaskan ada orang sudah mati tapi hidup lagi. Di perjalanan menuju desa Ndoroalas, Sastro melipir ke pom bensin. Bik Muyah menyelimuti tubuh Lathi yang bernoda darah dengan kain jariknya. Tadi mereka sempat menepi dan beli baju di toko barang bekas. Untuk pertama kalinya Bik Muyah pakai celana jins. Bik Muyah memandikan Lathi, memberikan banyak-banyak sabun dan sampo. “Ibu kandungku seperti apa, Bik?” tanya Lathi. “Kau lihat saja nanti sendiri, ya.” Lathi jadi gugup. Setelah selama ini hidup sendiri dan terbayang-bayang sosok ibu kandung, dan mendapati ibu angkat yang jauh lebih keibuan.      Untuk beberapa lama Lathi tidak begitu ingin mencari lagi ibu aslinya. Sekarang, tiba-tiba ada petunjuk dari Bik Muyah. Bahkan orangnya sendiri yang datang. Lathi bimbang, perasaan apa yang sedang dialaminya. Setelah bersih, Bik Muyah mengajak mereka makan di restoran pilihan Sastro. Sastro yang membawa uang dan mengajari mereka cara makan seperti orang kebanyakan. Lathi tertawa lepas mendengarkan cerita Bik Muyah sampai dia ketemu Lathi. Lathi cerita tadi di komplek ada laki-laki tampang kuli yang berusaha mencelakainya. “Wah, itu sih si Lamtoro. Jadi dia malah mencoba balas dendam ya?” kata Bik Muyah. “Gara-gara perbuatanku di pasar itu ya. Aku masih belum bisa mengendalikan kekuatanku, Bik.” Mengingat peristiwa di pasar itu seolah tidak ada apa-apanya ketimbang keabsurdan yang terjadi di komplek. “Sekarang, kau bisa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD