SAYATAN 22

868 Words
“Api pembersih? Memangnya aku baiklin?” keluh Lathi. Si nerakadal makin dekat moncongnya ke Lathi. Mengendusnya, lalu menjilat Lathi lagi sampai terdorong jatuh. “Kau sudah melihat jahatnya manusia, Lathi. Apalagi yang kurang?” “Tidak semuanya jahat!” Lathi mengingat mama Sekaryani, Ki Yono, Bi Seroh, Upik, Guntho, Pak Hendra, Bik Muyah, Sastro… “Tapi kalau kepada yang jahat, kau setuju untuk memusnahkan mereka?” Lathi terdiam. Tak bisa menjawab. Dulu dia pernah punya misi untuk menjadi algojo para orang-orang jahat. Hanya saja dia teralihkan kepada kecemburuan cinta monyet. Hal itu membuatnya lepas kendali. Membuat orang yang dicintainya celaka. Lathi melupakan ambisinya itu. “Aku tahu dalam hatimu masih ingin memberi hukuman pada bandit-bandit kurang ajar. Kau berkata ingin mengenali dirimu, supaya kau tahu apa saja yang bisa kau lakukan. Nah, dengan mengakuiku, itu akan bisa dengan mudah kau lakukan. Kau akan melepas semua potensi luar biasamu sebagai insan kadal. Kau akan tahu seluk beluk riwayatmu. Aku akan memberitahumu. Karena di dnamu terpatri semua sejarah terkait kaummu.” Lathi membelalak, “Kaum? Aku tidak sendiri?” “Ibumu sepertimu Lathi. Itu yang bisa kukatakan sekarang. Semoga informasi ini bisa mendorongmu untuk menerimaku apa adanya. Sambutlah aku, Lathi!” “Tidak,” Lathi berkata tegas. “Benar begitu keputusanmu? Kau membuang kesempatan satu-satunya yang kau miliki untuk mengenali dirimu yang sebenarnya?” Lathi berdiri, tegak, bahkan dia pasang kuda-kuda. “Iya!” Nerakadal berdeham. “Kalau begitu kau menerima kalau kau nanti merasa bersalah atas hancurnya dunia gara-gara kau tidak becus mengendalikanku?” “Aku akan mengendalikanmu!” “Jangan sesumbar begitu. Kau sudah beberapa kali hilang kendali. Kau membuat orang-orang di sekitarmu menerima akibatnya. Bahkan yang tak ada kaitannya.” Pahit kalau diingatkan tentang kejadian banjir darah. Semua orang kena dampaknya. Lebur jadi daging cair karena serangan piranha darah. “Aku. Akan. Mengendalikanmu!” “Yakin kau?” nerakadal menjilatkan lidahnya, tapi dia tidak membuat Lathi guncang dari pendiriannya. Lathi menatap tajam nerakadal. “Kau tahu kan di alam ini kau tak punya kekuatan menyembuhkan diri?” “Aku tahu.” “Yakin kau mau melawanku?” Lathi melepaskan kepalan tangannya. Dia kesampingkan. Dia mendongak menatap nerakadal. “Kau bahkan bukan lawanku.” “Berani kau meremehkanku!” “Memangnya kau siapa?” “Kurang ajar, rasakan akibatnya!” “Silakan, akan kurasakan.” Lathi jadi tenang, percaya diri, tekadnya bulat. Dia tak perlu siapa pun untuk mendiktenya untuk jadi siapa. Bahkan sukmanya sekalipun. Kalau itu memang benar sukmanya. Kedengarannya sih ngaku-ngaku si nerakadal ini. Makanya Lathi ogah mengikuti kemauannya. Nerakadal kelihatan berkurang kobaran api di pupilnya. Dia tak sadar telah bergerak mundur selangkah. Lathi maju. Mengepalkan tangan menguatkan diri. “Kau. Tak. Pantas. Mendikteku!” Nerakadal tiba-tiba menyusut badannya. Kobaran api di pupilnya lenyap, menyisakan liukan asap yang gampang terusir angin. Seiring Lathi maju, nerakadal menyusut menjadi sekecil cicak. “Masih berani banyak bacot kau?” Lathi menjulang tinggi di atas nerakadal. Nerakadal tidak terdengar suaranya, mencicit melengking tinggi tak bisa diterjemahkan. Lathi menghentikan ngocehnya dengan menginjaknya sampai lumat. “Sukma jiwaku yang sebenarnya, kampret,” gerutu Lathi. “Semena-mena kau mengatur-ngatur. Buka pintunya!” Alam itu seakan takut kepada Lathi yang kini pupilnya menyala api. Lorong gua itu membuka menjadi hamparan hijau rerumputan. Di sebuah pulau dikelilingi lautan. Di tengah lautan Lathi bisa melihat ada gunung es. Lathi mengernyit, kok bisa ada bangkai pesawat di sana? Menancap, hampir membelah kerak gunung es. Sebuah tangan terbuat dari gulungan awan menghampiri Lathi, dia mewujud bidadari awan, kemudian merangkul Lathi. Hangat. Lathi direngkuh lebih dalam. Tubuh Lathi menembus lapisan awan, sesak, tak ada udara. Seketika Lathi sadar bahwa dia sudah dikembalikan ke kolam. Lathi lupa caranya berenang, dia mengentak-entakkan kaki panik. Tubuhnya meluncur lambat ke permukaan. Dia menggapai-gapai, meraih napas sebanyak-banyaknya. Dia mendengar ceburan di sebelahnya, sepasang tangan berkeriput merangkulnya, menyeretnya ke tepian. Lathi terbatuk-batuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. Kong Jaal membantu memiringkan tubuhnya agar air keluar dengan lancar dan tidak menyelinap masuk lewat lubang hidung. Kong Jaal tak sadar Wastu membanting cangkirnya hingga pecah. Dia fokus ke Lathi. Lathi memuntahkan banyak air dari paru-parunya. Dia batuk panjang sampai serak. Meringkuk. “Duduklah kalau sudah enakan, Lathi.” Kong Jaal mencarikan selimut di ruang pagoda itu. Dia selimuti Lathi. Wastu menghampiri, melihat Lathi dengan tatapan kosong. Lathi mengernyit mendapati ada Wastu di situ. Kong Jaal berdiri, menuju meja teh hijaunya. Dia menyiapkan secangkir buat Lathi. Ketika dia berbalik, cangkir di tangannya jatuh, terlepas dari tangan. “Wastu!” Wastu menancapkan pecahan cangkir ke d**a Lathi. Tadi dia membalikkan tubuh Lathi dan merobek bajunya hingga nampak buah d**a Lathi. Lathi meronta, tapi dia tak cukup kuat menahan Wastu. Wastu bertubi-tubi menancapkan pecahan cangkir ke d**a Lathi dan menarik garis sayatan panjang sampai bawah perut. Lathi melolong kesakitan. Kong Jaal mengentak, menerjang Wastu. Wastu terlempar ke seberang kolam, kepalanya menghantam patung batu kuda bersayap berpenis menyemburkan air. Wastu tergeletak tak sadarkan diri. Kong Jaal menutup luka Lathi. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia menggendong Lathi keluar dari pagoda dan membuka pintu menuju dunia nyatanya. Keduanya masuk ke ruang pribadi Kong Jaal. Kong Jaal tidak menoleh seiring pintu menutup. Di alam sana, bukit batu berpagoda diserang gulungan awan hitam bergemuruh halilintar, melumat pagoda itu beserta Wastu di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD