SAYATAN 17

1064 Words
Sesakti-saktinya orang. Sebijaksana-bijaksananya orang. Sesantai-santainya orang. Tiap orang pasti punya musuh. Entah di masa sekarang, masa lalu, atau nanti. Apalagi di masa lalu. Tiap orang sakti, bijaksana, dan santai, dulunya adalah anak muda yang sembrono. Itu tak lepas dari Kong Jaal. Dua muridnya, Wastu dan Wira, tahu rahasia yang dipendam sangat dalam oleh Kong Jaal. Seribu murid di padepokan ini dari dulu sampai sekarang memang tak ada yang diperkenankan menginjakkan kaki ke tempat sakral milik Kong Jaal seorang. Tapi, pertanyaannya… siapa berhak menjadikannya sakral dan jadi milik sendiri? Wastu dan Wira, di tahun-tahun terakhir mereka sebagai pendekar senior, mulai memikirkan itu. Setidaknya mereka sudah mulai. Pertanyaan-pertanyaan yang berpuluhan tahun sengaja dibungkam. Doktrin Kong Jaal dan para leluhurnya. Agar yang bukan pemimpin padepokan, dilarang menginjakkan kaki ke tempat sakral itu. Dilarang mencari pintu menuju ke sana. Pintu itu selalu berpindah. Selalu bersembunyi. Hanya hati yang jernih tak bermaksud jahat yang bisa mengaksesnya. Wastu dan Wira berbulan-bulan mencari teks-teks penjelasan mengenai tempat itu. Mereka punya teori bahwa di bukit menjulang itu tak hanya memuat pagoda kecil yang tampak tak muat untuk satu orang. Apalagi dikuatkan lagi sekarang, ada seorang gadis bertingkah aneh yang malah diajak ke sana oleh Kong Jaal. Bukankah itu pengkhianatan? Mereka yang telah mengabdi di tempat ini bertahun-tahun, dengan harapan bahwa suatu saat nanti akan diberi kesempatan mengintip secuil saja apa yang disimpan oleh tempat itu, merasa dicurangi. Dilangkahi. Lancang sekali! Ketika sehari semalam padepokan diserang gangguan aneh, terutama di rumah penginapan, Wastu dan Wira makin tinggi kecurigaan mereka. Gadis bernama Lathi itu hanya akan jadi malapetaka terbesar bagi padepokan ini. Sudah berbulan-bulan juga mereka merasa jengah dengan rutinitas semu sok bijak di padepokan. Sudah dua tahun terakhir ini Kong Jaal seperti punya urusan sendiri. Lama tidak turun untuk mengurus padepokan tercintanya. Bahkan untuk menyalurkan para pendekar ke tempat-tempat yang membutuhkan uluran tangan orang sakti pun sudah tidak dia lakukan lagi. Para pendekar senior dilimpahi tugas itu. Tapi, siapa sih mereka yang kebijaksanaannya masih jauh dari Kong Jaal. Bisa-bisa nanti malah salah kirim orang. Mereka ada di titik paling tinggi kejengahan dan merasa harus bertindak ya ketika ada ular piton raksasa yang mereka tebas lalu lenyap diterpa angin. Itu pasti efek keganjilan dari gadis aneh Lathi itu. “Kita harus temukan orang itu,” kata Wastu, setelah menjelaskan rencananya kepada Wira. “Kita menyelinap keluar malam ini,” kata Wira. Dia paling hapal dengan agenda-agenda segudang padepokan. Kapan dan mana pintu yang terbuka. Suatu waktu di masa pencarian mereka, Wastu secara tak sengaja dapat memanggil pintu ke bukit itu. Wira sampai terheran. Waktu itu mereka sedang ada di perpustakaan keramat. Tempatnya gulungan-gulungan ilmu pengetahuan yang bukan sembarang pendekar bisa cerna. “Bagaimana kau bisa memanggil pintu itu?” tanya Wira. Pertanyaannya itu malah membuat pintu itu lenyap dari pandangan. Wastu sedang menggelar gulungan perkamen. “Aku sedang membaca ini. Dibilang bahwa pintu itu akan muncul oleh orang yang tak berniat jahat.” “Kau tidak berniat jahat?” Wastu menggeleng. “Aku hanya ingin tahu. Tidak berdosa kan kalau ingin tahu? Haus pengetahuan itu tidak dosa.” Wira mengangguk, masuk akal. Tapi tentu saja itu tidak bisa dilakukan lagi kini sebab agenda mereka bisa dibilang bias. Satu-satunya cara ya menemukan satu orang itu. Kawan lama Kong Jaal yang pernah berguru di sini dan jadi rival abadi Kong Jaal. “Bukan Bik Muyah,” kata Wastu tegas. Mereka membayar mahal warga desa untuk menyewa motornya. Wastu dan Wira mengebut keluar desa di atas motor GL Pro. Orang yang dicari berada sepuluh kilometer dari padepokan. Di desa seberang sungai. “Kau yakin ini orangnya yang bisa membuka pintu itu?” tanya Wira. “Ya, Ki Sekti Aji ini musuh bebuyutan Kong Jaal. Dia tidak jahat, tapi pendapatnya selalu berseberangan dengan Kong Jaal. Pada saat di tahun terakhir, mereka bertarung, tapi Kong Jaal sok-sokan tidak mau melawan. Dia kemudian dipandang oleh mahaguru sebagai teladan yang sesuai arah pandang padepokan. Ki Sekti Aji tidak terima. Dia pun pergi dan membentuk padepokannya sendiri. Ini sebuah rahasia, dia yang terlebih dahulu menemukan sesuatu di balik pintu magis itu.” Mereka menyeberangi sungai dengan menumpak pada getek. Mereka pegangi motor supaya tak oleng kecebur sungai. Sampai daratan mereka tancap gas lagi menuju perguruan yang tersembunyi di dalam hutan. Di tengah perjalanan mereka dicegat oleh makhluk kerdil. “Kisanak berdua jangan berjalan lebih jauh lagi. orang yang kisanak berdua ingin temui akan muncul sebentar lagi.” suara makhluk kerdil itu sangat lucu. Wastu dan Wira pun menuruti. Mereka turun dari motor dan menunggu sambil duduk di atas belahan batu besar. Orang kerdil itu lari meninggalkan mereka dan tahu-tahu sudah tak kelihatan lagi setelah melewati satu pohon. Angin berembus, menandakan kehadiran orang yang dinanti. Ki Sekti Aji. Dia berpenampilan selayaknya orang modern. Mengenakan celana jins dan kemeja santai kotak-kotak. Lengan kemejanya dilipat. “Ada apa kalian mencariku?” Wastu yang menjawab. “Kami ingin tahu rahasia menemukan pintu bukit batu tinggi di padepokan Kong Jaal.” “Wah, kok kalian bisa nekat keluar dari padepokan? Saya tebak kalian belum lulus kan?” “Memang belum, tapi kami mulai resah dengan apa yang dilakukan Kong Jaal. Dia menerima seorang tamu, dan tanpa penjelasan jelas, dia membawa tamu itu masuk ke pintu magis,” jelas Wastu, dia bicara cukup cepat karena mulai dikuasai kesal. “Oh? Akhirnya ada yang dia perkenankan masuk? Betapa beraninya dia ya,” tanggap Ki Sekti Aji menyindir. “Benar, dan kalau Ki Sekti Aji mau mendengarkan apa kata angin, padepokan kami sedang dilanda keresahan terhadap hadirnya tamu itu.” “Tamu itu… apakah seekor kadal?” tanya Ki Sekti Aji. Wastu dan Wira saling tukar pandang. Tak mengerti. “Ah, kalian nanti akan tahu sendiri. Sekarang, aku bisa beritahu bagaimana kalian masuk ke tempat sakral itu tanpa melalui pintu yang kalian cari-cari.” Wastu dan Wira melongo takjub. “Ada pintu lain?” “Tentu saja ada. Kalian ingat pepatah ada seribu satu jalan menuju roma kan? Nah, ada sejuta jalan menuju tempat yang kalian maksud. Hanya saja memang Kong Jaal sudah menutup semuanya. Tapi, ada satu yang tak dapat ditutupnya.” “Di manakah itu, Ki?” tanya mereka serempak. “Ikuti aku,” Ki Sekti Aji menepuk tangan, dan setelan bajunya berubah jadi setelan pendekar. Dia beri tanda ke Wastu dan Wira agar meninggalkan motor mereka di situ. Ki Sekti Aji membelah udara, muncul belahan yang menyerupai pintu. Wastu dan Wira menyusul masuk ke dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD