SAYATAN 18

1094 Words
“Aku tahu betul isi dari dunia di balik pintu itu,” kata Ki Sekti Aji. Mereka sudah masuk ke alam lain. Dunia yang lebih asri. Lebih hijau dan penuh dengan gegunungan serta pohon-pohon menjulang. Gemericik air terjun terdengar dari banyak sisi. Memijakkan kaki di sini saja sudah membuat jiwa Wastu dan Wungkul damai. Mereka sebelumnya melewati dua pintu. Pintu pertama yang Ki Sekti Aji belah dari tempat mereka bertemu, barulah semacam gerbang. Di situ Ki Sekti Aji mengajari mereka cara membuat isi hati menjadi tenang dan tidak muncul niatan jahat. Yaitu dengan cara mengalihkannya ke pikiran lain. “Persis seperti yang Wastu dulu lakukan,” kata Wira. Ki Sekti Aji mengangguk. Dia meminta Wira melakukannya juga. Wastu dan Wira bersama-sama menyatukan pikiran. Niat mereka alihkan menjadi ingin menekuri keindahan alam lain untuk membuat diri mereka bijaksana. Mereka sampaikan itu ke Ki Sakti Aji dan direstui. Maka mereka siap masuk ke pintu kedua. Ki Sekti Aji mengajak mereka melalui jalanan setapak yang kelihatan tanpa ada ujung. Di kiri dan kanannya adalah padang ilalang membentang. Ki Sekti Aji menyarankan agar mereka terus menguatkan niat untuk apa masuk ke alam itu. Tak berasa entah berapa puluh kilometer mereka berjalan, tiba-tiba muncul pintu lagi, membelah di tengah jalan. “Silakan masuk. Tunaikan apa yang kalian inginkan. Tapi satu pesanku, jangan sekali-kali kalian berani untuk berusaha melukai Kong Jaal,” pesan Ki Sekti Aji. Wira bingung. “Bukankah Ki Sekti membencinya?” “Kau tidak menyimak ceritaku ya? Tidak membenci. Hanya beda paham. Mengerti?” Wira mengangguk-angguk. Wastu menyeretnya masuk. “Alam itu hanya menilai niat saat kita masuk ke dalamnya. Setelah kita berada di dalamnya, kita bisa berbuat sesuka hati.” Begitu kata Ki Sekti Aji. Wira dan Wastu terpukau dengan hamparan alam itu. Mereka melihat di kejauhan banyak hewan-hewan mitos yang hidup. Mereka menginjakkan kaki di daratan berumput basah. Lokasi mereka di pesisir pantai. Perjalanan menuju bukit batu berpagoda terbengan masih jauh. “Itu dia,” Wira menunjuk ke arah timur. Mereka lupa niatan tambalan mereka. Yang mereka inginkan adalah untuk menyingkirkan Lathi dan menyadarkan Kong Jaal. Bahwa keistimewaan masuk ke alam ini harusnya tidak disimpan sendiri. Di sepanjang perjalanan menuju ke timur, Wira sibuk sendiri mencomoti beri-beri yang tumbuh di semak-semak. Warnanya merah rasanya manis. Dia membagikannya ke Wastu. Wastu ogah memakannya. Dunia ini memang ajaib, tapi dia belum percaya sepenuhnya apa yang bisa dimakan di tempat ini aman. Dia bersikap hati-hati. Wira tak puasnya mendongak ke langit. Gerombolan awannya membentuk wujud macam-macam. Mereka seolah berdansa. Angin di sini juga meniup sangat sejuk. Wira bahkan terlena, dia melemparkan diri ke hamparan rumput basah. “Hei, jangan malah bertamasya di tempat ini!” Wastu menegur. “Setelah ini, aku ragu kita akan ke tempat ini lagi. jadi aku manfaatkan selagi bisa.” Wastu lompat, menendang kaki Wira. Dia menarik tangan Wira, membuatnya terlempar dan mendarat di jalanan setapak. Wira tidak terima. Dia menyerang Wastu. Di sekitaran mereka lagi ada dua ekor rusa bertanduk lurus, mereka menyaksikan keduanya bertarung. Wastu yang lebih unggul memiting Wira sampai tulangnya bunyi keretak. Wira tak mau kalah, dia menjegal kaki Wastu, membuatnya kini jadi pihak yang di atas. Wira mengeluarkan jurus pukul seribu, tapi Wastu dapat menangkisnya dengan tangkis seribu. Mereka baru berhenti bertarung ketika ada gumpalan besar berbentuk bola terbuat dari bulu entah apa melindas mereka. Keduanya terempas ke kiri dan kanan. “Apa itu barusan?” Wira bengong. Bola bulu itu begitu besar, menggelinding makin jauh sampai tak terlihat, masuk ke dalam hutan belantara. Wastu berdiri duluan, dia membantu Wira. “Lihat di atas sana.” Wira mendongak. Dia melihat ada kuda terbang lewat. “Ada kuda terbang?” “Ada gadis itu juga. Lihat di sana, itu dia Kong Jaal.” Mereka berdua memutuskan untuk berlari. Jarak mereka ke bukit batu berpagoda itu masih jauh. Sembari berlari mereka tak lepas pengawasan dari Lathi di atas kuda terbang. Tiba-tiba di langit muncul awan gelap, bergemuruh, berkilat-kilat. Satu petir keluar dari mata pusaran awan itu. Wastu dan Wira lompat merunduk ke rerumputan. Petir dari awan itu setelah mengenai Lathi ternyata meneruskan sambarannya ke tanah setapak tempat mereka berlari. Dari rerumputan mereka melihat Kong Jaal membuat awan karpet terbang. Dia menangkap Lathi dan dibawa ke bukit batu berpagoda. “Petir itu mengarah ke siapa sebenarnya?” tanya Wira. “Ke kita,” jawab Wastu singkat. “Kita diincar alam ini?” Wastu mengangguk. “Lah, tapi kata Ki Sekti Aji tadi…” “Kau harusnya belajar, jangan percaya kepada orang segampang itu. Kita terburu-buru masuk ke sini. Kita lupa tanya cara keluarnya bagaimana.” Wastu mengucapkan itu dengan datar, membuat Wira malah panik. “Kenapa kenapa kau tenang sekali?” “Kalau tidak tenang, awan petir akan menyerangmu lagi, mau?” Akhirnya Wira menenangkan diri dengan latihan pernapasan. Mereka lanjut lagi memikirkan niat cadangan. Setelah yakin tidak ada awan gelap beredar di atas, mereka melanjutkan berjalan. Langit berubah jadi gelap ketika mereka sudah sampai di kaki bukit. Mereka mulai menanjakinya. Bukit itu begitu terjal dan licin. Wastu dan Wira mesti mendaratkan cengkeraman mereka dengan cermat. Kalau tidak mereka bisa tergelincir dan berakhir jadi bubur daging di dasar bukit. Musuh mereka kini adalah keringat dan tegang otot. Meski sudah terlatih di padepokan dalam naik turun gunung membawa ember kayu berisi air dan tak boleh tumpah, lain di tempat ini. Segala yang mereka pelajari dan kuasai seperti mentah saja. “Pelan-pelan. Kuatkan tekad,” pesan Wastu. Wira sudah hampir kehabisan napas. Mereka sudah separuh jalan. Titik mereka bertengger sampai ke dasar sudah begitu jauh. Mereka memanjat tanpa alat bantu. Sudah begitu, di ketinggian ini angin berderu cukup kencang. “Kita bisa,” kata Wastu. Tapi kemudian awan gelap itu mampir. Dia bergemuruh saja. Posisinya sejajar dengan titik mereka bertengger. Hal itu menyebabkan Wira kelepasan, dia kaget dan lepas dari cengkeramannya. Wira melesat ke bawah. Berakhir jadi bubur daging. Tubuhnya menghantam gundukan batu meruncing puncaknya. Wastu membelalak menyaksikan itu. Dia menenangkan diri, tak ada waktu untuk berkabung. Awan gelap itu melupakannya, pergi jauh. Tekad Wastu makin kuat. Dia membungkus ultimatum yang hendak dia hunjamkan kepada Kong Jaal. Tempat ini adalah jelmaan iblis! Wastu akhirnya berhasil mencapai puncak. Dia berada di depan teras pagoda. Dia melihat Kong Jaal baru saja mengajak Lathi masuk. Wastu mengendap. Dia memungut batu yang bentuknya pipih dan kelihatan tajam. Dia terlebih dulu mengintip apa yang terjadi di dalam pagoda. Dia melihat Lathi ditarik masuk ke dalam kolam, lalu Kong Jaal ikut menceburkan diri. Wastu akhirnya menyelinap masuk. Menunggu. Sampai akhirnya Kong Jaal berhasil keluar dari kolam dengan napas terengah-engah. Kong Jaal terkejut melihat keberadaan Wastu. Wastu mengayunkan batu pipihnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD