JILATAN 11

813 Words
Atas nama cinta, Moko, suami dari Manjani, mengenyampingkan kerisihannya terhadap eksistensi gadis kecil berlidah kadal di rumahnya. Atas nama cinta, Moko, anak juragan beras terkaya di desa W, mengenyampingkan ketidaksukaannya terhadap reptil, terutama kadal, apalagi Iguana. Atas nama cinta. Cinta Moko kepada Manjani. Atas nama cinta, Moko mengiyakan perkataan istrinya mengenai Lathi, "Aku mau, Lathi mas anggap seperti anak mas sendiri. Seperti anak kita sendiri. Lathi, adalah anak kita bersama. Aku, mas Moko, dan Sekaryani." "Apa sih yang tidak buatmu, istriku." Atas nama cinta. Cinta Moko kepada Manjani. "Terima kasih, mas." Atas semua pengiyaan itu, Manjani menghadiahkan cumbuan pelontar ke surga kepada suaminya. Walau dalam bayangannya selama permainan cinta itu, ia menginginkan Sekaryani ikut serta bermain. Diam-diam, selama suaminya menetap di rumah karena belum ada proyek di luar kota, Manjani merasa kehilangan Sekaryani. Di malam-malam syahdu bersama sang suami, ia merasa biru. Ia merasa rindu. Di sisa malam seusai permainannya bersama mas Moko, ia mempertanyakan perihal cinta. Kepada siapa kemurnian cintanya jatuh. Pernikahannya dengan Moko didasari oleh perjodohan. Seperti halnya perjodohan di mana pun, ia belum tentu diawali dengan cinta. Sepertiga malam terakhir, Manjani melihat suaminya masih tertidur pulas, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar belakang. Ia mengetuk pelan pintu kamar tempat Sekaryani dan Lathi beristirahat. "Manjani, ada apa?" Sekaryani berbisik sembari membuka pintunya sedikit. Manjani kesulitan mengungkapkan apa yang dirasanya. Ia menggaet saja tangan Sekaryani, yang menurut dibawa ke kamar belakang lain yang kosong penghuni. "Wah, kamar ini kok bersih sekali. Padahal aku tak pernah rapikan," Manjani takjub, satu kasur untuk satu orang di kamar itu rapi dengan seprai baru. Ruangannya pun wangi. Lantainya bersih. "Aku yang rapikan," jawab Sekaryani gugup. Manjani tersenyum, seolah mengerti alasan apa yang mendorong Sekaryani merapikan kamar kosong tak bertuan itu. Mereka berdua pun masuk ke sana. Cukup tiga puluh menit untuk menawarkan kerinduan dua minggu tak saling mencumbu. Di sela-sela percumbuan itu, Sekaryani yang gundah hatinya, sering menghentikan di tengah jalan dengan pertanyaan cemas, "Kalau ketahuan suamimu, bagaimana?" "Tenang saja." Manjani menutup mulut Sekaryani lagi. Mereka melakukan itu dengan lampu kamar dimatikan, tentunya. Kembali ke kamarnya, Manjani beralasan habis buang air ketika ditanya suaminya. Atas nama cinta, Moko tidak tega mempertanyakan kesetiaan istrinya. Atas nama cinta, Moko percaya seutuhnya kepada Manjani. Tak mungkin istrinya berselingkuh. Ia sadar diri, perkawinan mereka dilandasi perjodohan, yang ia tahu, memang diawali bukan dengan cinta, melainkan paksaan orangtua. Namun, ketika ia mengucapkan kalimat ijab kabul sampai dinyatakan sah secara ramai-ramai oleh saksi, ia merasakan cinta tumbuh di hatinya kepada Manjani. Pada saat itu, Manjani didandani sungguh elok. Bahkan ketika dandanan dan pakaian menikah itu ditanggalkan, Moko seperti melihat bidadari. Manjani adalah wanita yang manis. Lakunya lembut dan santun kepada Moko. Hal itu menambah cintanya pada Manjani. Istrinya melayaninya dengan sepenuh hati, sesuai yang Moko rasakan dari tingkah lakunya. Selama kepergiannya ke luar kota, Moko tidak meninggalkan telinganya tertutup sama sekali dengan keadaan rumah. Ia membayar seseorang untuk mengamati. Laporan yang didengarnya tidak pernah membuat hatinya terbakar cemburu. Manjani, ternyata, istri yang setia. Manjani bahkan rajin menelepon untuk mengabari ini itu, termasuk mengabarkan perihal tinggalnya Sekaryani dan Lathi di rumah. Atas nama cinta, Moko membolehkan. Sudah lama rumahnya kehilangan pembantu. Sekaryani banyak bantu membereskan rumah. Atas dasar rasa terima kasih, Moko memberikan sejumlah uang untuk keperluan Lathi kepada Sekaryani ketika ia pulang. Moko makin cinta lagi kepada istrinya ketika ia selalu dihadiahi tarian di atas tubuh. Moko dibuai dengan sayang. Itu membuatnya tenang dan menyingkirkan pikiran yang membuatnya tak tenang. Ia sudah di rumah. "Lathi ingin sekolah, mas," ungkap Manjani di acara sarapan pagi bersama. Ada Sekaryani dan Lathi di sana. "Oh ya? Bagus itu." "Iya, paman, Lathi ingin sekolah, biar lebih pintar," sahut Lathi. "Manjani mau mas bantu Lathi biar bisa masuk di sekolah yang bagus dekat sini." "Duh, tidak usah repot-repot Manjani. Mas Moko tidak perlu repot-repot ya. Biar saya saja yang urus sendiri," Sekaryani tak enak hati. "Aku ingin pendidikan yang terbaik buat Lathi, Sekar. Mas Moko bisa mewujudkan itu. Mas Moko akan bantu bicara dengan kepala sekolah biar Lathi bisa diterima," Manjani mengirim isyarat yang Sekaryani mengerti. Biar mulus, biar tidak ditolak. "Oke, aku bisa kok," Moko menyanggupi. "Aku kenal dengan kepala sekolahnya. Bahkan waktu itu bapakku pernah ikut donasi untuk pembangunan sekolah itu." "Duh, saya jadi tidak enak. Sungguh, tidak perlu repot-repot, mas." Lathi melempar pandangannya satu-satu kepada siapa yang lagi berbicara. "Sekaryani tenang saja ya. Lathi akan sekolah. Tanpa ada pertentangan," tambah Manjani. Sekaryani mengangguk saja, mengusap kepala Lathi yang tersenyum lebar mendengar dirinya akan sekolah. Sekaryani masih khawatir. Satu hari sebelum esok, Sekaryani bersama Lathi, Moko dan istrinya, dan Waluyo, pergi ke pasar untuk beli baju sekolah buat Lathi. Oleh Sekaryani, Lathi dipasangi masker. "Banyak debu, nanti bersin," Sekaryani beralasan. Hari esoknya, yang dikhawatirkan Sekaryani terjadi. Kepala sekolahberjengit dan hampir terjengkang dari kursi putarnya yang sangat nyaman setelahmelihat Lathi berbicara menggerakkan lidah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD