JILATAN 12

839 Words
Pak Kepsek bernama Tarjo, benar-benar sampai terjengkang hingga menabrak lemari tempat menyimpan piala-piala prestasi siswa dan sekolah. Moko dan sekretaris kepsek menolong pak Tarjo. Sekaryani menutup mulut Lathi dengan masker, dalam hati merasakan betapa hal-hal seperti ini selalu merisaukannya. Sekaryani pergi dari ruang kepala sekolah, disusul oleh Manjani dan Waluyo. Tak lama kemudian Moko pun ikut keluar. "Kenapa kok keluar, mas?" tanya Manjani. "Orangnya lagi mau menenangkan diri," Moko terlihat menghindari tatapan Sekaryani dan Lathi. Waluyo menyilangkan tangan di d**a, otot tangannya menyembul. Lima menit kemudian sekretaris kepsek mengabarkan mengenai penundaan perbincangan lebih lanjut. "Loh, kenapa?" Manjani protes. "Maaf, bu, tiba-tiba Pak Kepsek Tarjo jadi tidak enak badan." Si sekretaris itu melirik Lathi seolah ingin menyalahkannya. "Kok aneh. Kok bisa tiba-tiba jadi sakit?" Manjani lanjut protes. "Maaf, bu, saya kurang tahu. Namanya sakit, tidak ada yang tahu kapan datangnya. Mohon maaf sekali lagi, mungkin besok bisa dilanjutkan lagi rapatnya, sekarang ini Pak Kepsek Tarjo tidak ingin diganggu." Sekretaris itu tanpa menunggu tanggapan dari tetamu, langsung masuk dan duduk di tempat kerjanya. "Kok begitu ya. Aneh." "Sudah, besok biar mas sendiri saja yang datang." Moko mengajak Manjani berbalik, menuju parkiran mobil. "Ini kesannya seperti Lathi jadi penyebab sakitnya," Manjani langsung menutup mulut, sadar ia keceplosan. Sekaryani menutup telinga Lathi, ia mengirim gelengan kepala kepada Manjani. "Sekolahnya bagus, Ma," Lathi sepertinya memang tidak mendengarkan yang barusan, untunglah. "Lathi mau sekolah di sini." Lathi menunjuk ke arah pohon melinjo di pinggir lapangan upacara. Sekaryani tahu Lathi tahu di sana ada kadalnya. Di mobil, Moko bingung, Manjani kesal, Sekaryani gelisah, Lathi gembira, Waluyo menyetir dalam diam. Sesampai di rumah, Manjani masuk ke kamar bersama Moko, di sana ia menuntut suaminya lagi, "Pokoknya mas harus bisa mengusahakan Lathi bisa sekolah di sana. Tadi mas dengar sendiri kan, Lathi pengin sekolah di sana. Mau bagaimana caranya, yang penting Lathi sekolah. Mau menyogok pun Manjani ijinkan." "Aduh, Manjani," Moko mengusap keningnya sendiri. Sesungguhnya ia masih merasa Lathi bukan siapa-siapanya. Lagipula anak itu membuat bulu kuduk siapa pun akan berdiri, bilamana anak itu berbicara sembari lidahnya menari ke mana-mana. "Kenapa mas?" "Aku kurang sreg kalau harus pakai sogok menyogok." "Lha, bukannya mas sudah biasa? Proyek-proyek mas?" "Hush, jangan begitu, Manjani. Jangan buat mas jadi ngerasa rejeki kita ini dari uang panas." "Lha tapi, itu kan kenyataannya." Moko menahan-nahan amarahnya. Tangannya sudah mengepal dan napasnya tertahan. Embusan napas sebelum membalas ucapan Manjani pun terasa berat dan terdengar kentara. "Sudah sudah. Baik, mas akan usahakan. Ini Manjani yang mau. Demi Manjani." "Bukan, mas." Manjani merangkul suaminya dari belakang. "Ini demi Lathi." "Terserahlah, sekarang layani aku dulu." "Tapi, mas, aku lagi haid." "Kan bisa layani dengan cara lain." "Oh, baiklah." Manjani mengerti, ia memelorotkan celana suaminya, dan mulai bekerja. Selesai menunaikan itu, Manjani pamit ke kamar mandi dengan mulut penuh a******i. Bukan kamar mandi yang dituju Manjani, tentunya. Melainkan kamar belakang khusus. Di sana Sekaryani sudah menanti. "Kok hangat?" Sekaryani merasakan ada yang panas di kulit perutnya. Manjani hanya tertawa saja. Matahari muncul dengan kurang ceria di pagi yang mendung. Mendung itu ternyata merupakan pertanda. Sewaktu Moko dan Waluyo mau pergi ke sekolah untuk negosiasi lanjutan mengenai Lathi yang ingin sekolah di sana, tersiar kabar melalui pengeras suara masjid. "Berita duka, Pak Kepala Sekolah Tarjo, meninggal dunia pukul tiga pagi disebabkan serangan jantung." Sontak Waluyo memutarbalikkan mobil dan kembali, langsung menuju rumah duka, sesuai instruksi Moko. Malam hari sebelumnya, Pak Tarjo yang seharian tadi berkeringat dingin, mengistirahatkan kepalanya dengan meletakkannya di atas meja dengan tangan sebagai bantal, seharian penuh, semenjak ia melihat lidah bercabang seperti kadal seorang anak gadis yang mau sekolah di tempatnya, susah tidur. Padahal istrinya sudah membuatkan s**u jahe untuk membuatnya tenang. Serta diusap kepalanya seperti anak kecil yang lagi merajuk, tetap susah lelap juga. Pak Tarjo gelisah. Ia terbayang lidah bercabang itu sepanjang hari. Sungguh. Dari kecil, ia memang paling takut dengan reptil, terutama ular dan kadal. Namun hal itu berhasil disembunyikannya dari orang lain. Sedari kecil, Pak Tarjo menganggap hewan ular dan kadal bukanlah hewan alami. Ia beranggapan ular dan kadal adalah utusan ratu siluman. Makhluk dari alam lain yang mau menghancurkan alam manusia. Ia akan senang kalau, ada tetangga yang berhasil membunuh ular atau kadal yang menyelinap masuk rumah. Mendengar pembunuhan atas makhluk yang dianggapnya peranakan siluman itu, ia merasa tenang dan dapat tidur nyenyak. Dan pagi tadi, ia melihat, seorang anak manusia, berlidah cabang seperti kadal atau ular! Ketakutan masa kecilnya merasuk kembali. Ia menggigil hebat. Ia merasa ada yang datang ke rumahnya, mungkin ratu siluman yang menuntut nyawa, sebab ia suka menertawai ular dan kadal yang dibunuh. Istri pak Tarjo pun kebingungan. Sudah mengantuk berat, tapi suaminya belum mau tidur, maka ia biarkan saja suaminya itu berkutik dengan entah apa itu. Suaminya, selalu tak mau membagi masalah yang membebani pikiran. Pak Tarjo masuk ke kamar mandi pada pukul tiga pagi. Ia melihatular besar sudah menantinya di kakus. Keburu jantung berhenti berdetak karenasaking kagetnya, Pak Tarjo terlambat menyadari bahwa ular yang dikiranya ialihat adalah ternyata selang yang lepas dari keran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD