JILATAN 41

925 Words
Sekaryani memberi lampu hijau buat Ki Yono untuk meminta Lathi membantunya di balai penyembuhan, selain permintaan agar Lathi tidak dibuat kewalahan, ia juga mensyaratkan agar Ki Yono tidak menyebutkan bahwa darah ajaib penyembuh itu didapatnya dari Lathi. Anak itu harus aman dari orang-orang penasaran. Ki Yono pun sudah mengantisipasi pemikiran itu. Ia menjanjikan kerahasiaan tentang darah Lathi. "Aku tahu, di luar sana, setelah darah ini menyembuhkan banyak orang, para praktisi pengobatan alternatif bakal kebakaran jenggot." "Pastikan anakku aman dan selamat. Kalau tidak, aku pergi dari sini membawa Lathi." "Aku janji." Dan di hari balai pengobatan padepokan Sapujagad dibuka untuk khalayak lebih luas, Lathi diperbolehkan menyaksikan darahnya mengobati orang-orang sakit. Itu dilakukan dengan catatan Lathi tak boleh mengungkapkan dari mana darah itu berasal. Ki Yono meminta Lathi membantu melihat atau mengambilkan barang saja. "Aku mengerti yang Ki Yono dan Mama resahkan. Itu masuk akal, mengingat apa yang sudah kami lalui." Kata Lathi. Hari pertama itu yang datang seratus orang. Bi Seroh yang mengoordinir itu semua dibantu oleh Sekaryani dan beberapa orang padepokan lain. Setiap yang sakit dipisahkan berdasarkan penyakit yang diderita. Parah, menular, ringan, patah tulang dan lain-lain. Yang didahulukan yang patah tulang dan menular, setelah itu yang parah, yang menderita penyakit ringan diminta menunggu lebih lama. Mereka bersedia. Halaman depan balai pengobatan sampai penuh hingga perlu didirikan tenda dadakan yang diangkat bersama-sama oleh murid-murid Ki Yono. Melihat begitu banyaknya yang datang, Ki Yono akhirnya mengajari para tabib bawahannya menggunakan suntikan darah Lathi. Alat suntik disediakan banyak sekali. Ki Yono punya teman di toko alat kesehatan yang bersedia menyuplai. Untuk penyakit ringan dan menular, biar para tabib yang menangani. Itu jadi mempercepat antrian. Lathi kagum dengan khasiat darahnya. Entah dipadukan dengan apa oleh Ki Yono, Lathi tidak tahu. Mungkin tidak dipadukan dengan apa-apa. Benar-benar murni darahnya. Lathi senang melihat darahnya menyambungkan kembali tulang-tulang yang patah dari korban tabrakan. Ki Yono juga telah mengabarkan ke pihak jasa raharja. Kebanyakan pasien patah tulang yang datang hari ini adalah operan dari rumah sakit yang sudah penuh gawat daruratnya. Lathi suka mendengar suara tulang saling menyatu kembali, diiringi rintihan kesakitan si pasien. Sama persis ketika Lathi mencoba menjatuhkan diri dari ketinggian dengan kaki lurus menjejak tanah. Tulang yang patah itu tidak serta merta kembali menyambung dengan sendirinya. Mereka perlu diposisikan dengan benar, baru proses penyambungan kembali akan berjalan baik. Itu yang dilakukan Ki Yono, yang membuat si pasien menjerit kesakitan. Proses penyambungan kembali itu berjalan cukup cepat, jadi jeritan kesakitan itu hanyalah berlangsung selama satu atau dua menit. Tergantung seberapa parah lukanya. Setelah tulang menyambung benar, luka di permukaan akan menutup kembali, menyisakan hanya bercak darah di kulit. Lathi bertepuk tangan dan mengucap syukur setiap kali penyembuhannya berhasil. Kalau penyakit dalam parah seperti stroke, tumor, kanker, mioma dan lain-lain, Lathi hampir tidak bisa melihat bagaimana itu terjadi. Si pasien tampak tenang saja. Tidur seperti biasa. Tahu-tahu Ki Yono bilang sudah selesai. Sudah sembuh. Si pasien dan Lathi sama-sama bengong, "oh sudah?" Ki Yono menyarankan si pasien untuk memeriksakan ulang ke lab rumah sakit. Kata Ki Yono kepada Lathi, penyakit dalam memang tidak kelihatan proses penyembuhannya, kan terjadinya di dalam. "Darah Lathi benar-benar ajaib ya, Ki Yono?" tanya Lathi di sela pemanggilan pasien berikutnya. "Bersyukurlah, nak. Kamu terlahir untuk menyelamatkan banyak orang. Kalau Lathi capek, boleh istirahat kok." Sudah lewat tengah hari, antrian pasien sudah semakin menipis. Darah Lathi berperan besar atas penyembuhan ragam penyakit itu. Antrian di penyakit menular dan ringan paling cepat sekali habisnya. Sehingga sore saja belum datang, seratus pasien itu sudah pulang semua. Lathi makan siang dengan Sekaryani. Ia mengungkapkan rasa senangnya dapat membantu orang yang membutuhkan. Sekaryani senang mendengarnya. "Selalu jaga diri baik-baik ya." "Selalu, Ma." "Jangan bertindak macam-macam." Lathi tahu itu untuk kegiatannya melukai diri sendiri. Ini berarti ia harus menyalurkan rasa ketagihan itu dengan sembunyi-sembunyi. Ia akan ikuti saran Guntho. Setelah makan siang, Lathi mencari bocah laki-laki itu. Lathi ingin tahu jalur rahasia yang digunakan Guntho untuk kabur dari padepokan tanpa sepengathuan Ki Yono. Tapi dicari di tempat biasanya Guntho nongkrong bersama Bubung, yaitu pinggir sungai dengan batu besar untuk semadi, bocah itu tak ada. Lathi memutuskan untuk menunggu, sambil duduk di atas batu. Batu semadi itu, walaupun cuaca sedang panas, permukaannya tetap dingin. Cocok untuk meredakan sakit kepala. Tahun ini Lathi menginjak usia tigabelas tahun. Hampir sepantaran dengan Guntho, hanya beda beberapa bulan saja. Guntho lebih muda. Sepanjang mengenal Guntho, Lathi belum banyak mengetahui latar belakang anak itu. Bagaimana ia bisa kemari, bagaimana ia mendapat peliharaan Bubung, dan bagaimana ia bisa tahu jalur rahasia itu. Nanti akan ia gali. Hampir gelap, barulah Guntho muncul. Didahului dengan Bubung yang merayap di punggung Lathi. Guntho muncul seperti caranya bertemu Lathi pertama kali. Lompat dari pohon. Ia mendarat dengan menggelinding. Katanya untuk meredam goncangan yang diterima kaki. "Dari mana saja?" tanya Lathi. "Memeriksa jalur rahasiaku tetap rahasia." Guntho menyeringai. "Jadi penasaran." "Aku ajak kamu besok ya." "Oke, besok aku akan libur dulu membantu Ki Yono." "Oke, tapi jangan sampai Ki Yono kelihatan curiga." Lathi menceritakan apa yang dilakukannya seharian itu. Guntho menanggapi dengan decak kagum. "Aku jadi pengin lihat juga." "Sama seperti luka-lukaku yang sembuh sendiri. Sama persis. Prosesnya, suaranya. Uh, aku kangen mematahkan tulang, nih." Guntho, meski sudah beberapa waktu lamanya mendampingi Lathi dan memberi ide-ide ekstrim untuk melukai diri, tetap saja keder ketika mendengar Lathi mengucapkan keinginannya itu. Bagaimanapun juga, Guntho masihlah anak laki-laki biasa. "Besok, kita patahkan tulangmu." "Asyik!" Lathi lupa untuk menanyakan kisah masa lalu Guntho yangmenurutnya cukup misterius itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD