JILATAN 42

979 Words
Kesuksesan hari pertama pembukaan balai pengobatan Sapujagad untuk umum, memicu persebaran berita baik itu ke masyarakat lebih banyak. Orang-orang yang sembuh, di rumahnya bersujus syukur dan mengabarkan itu kepada sanak saudara dan tetangga. Tiap-tiap mereka mendatangi rumah warga yang diketahui sedang menderita penyakit parah. Contohnya saja, Suketi, yang kemarin datang ke balai pengobatan Sapujagad dengan penyakit miomanya, perutnya itu sebelum datang ke sana sudah sebesar ibu hamil tujuh bulan. Sepulang dari sana, perutnya sudah kempes. Suketi tak merasakan sakit sama sekali. Tak terbayang olehnya kalau jadi operasi di rumah sakit. Sudah keluar banyak uang, bekas jahitan kan, perlu perawatan yang merepotkan. Suketi termasuk golongan tidak mampu. Ia datang hanya bawa peyek gorengannya sendiri. Ki Yono sangat senang menerimanya, langsung dimakan di depan Suketi. Baginya, kebaikan itu harus dibagikan, seperti saran dari Ki Yono. "Sebarkanlah kebaikan ini ke yang lain. Bu Suketi akan mendapat ganjaran baik dari Gusti Pangeran." Suketi sesampainya di rumah langsung berjalan cepat dengan antusiasme tinggi ke rumah seorang warga di kampungnya yang sangat memprihatinkan. Seorang kakek penjual krupuk plastikan yang harus merawat serta istrinya yang menderita luka di punggung dan sudah dikerubungi belatung. Suketi yang sedang semangat tinggi untuk berbuat kebaikan, rela pinjam sejumlah uang ke bank keliling demi menyewa angkot untuk mengantarkan kakek nenek itu ke padepokan keesokan harinya. "Ini mukjizat!" kakek itu bersujud syukur di depan Ki Yono. Luka bernanah dan berbelatung di punggung istrinya telah tertutup dan benar-benar sembuh. Istri kakek itu awalnya hanya bisa berbaring miring di atas dipan. Setelah sembuh, ia sudah bisa duduk dan berdiri, lalu mencoba berjalan ternyata bisa. Suketi beruraikan air mata melihat kakek itu bersujud syukur lalu memeluk istrinya. Dari mulut kakek itu, kabar baik ini tersebar pula. Orang-orang di kampungnya ikut berbahagia dengan kesembuhan si nenek. Selama ini mereka hanya bisa bantu mengirimi makanan seadanya. Mereka sama-sama kurang mampu. Mereka yang mendapat kabar itu, langsung mencatat di mana lokasi padepokan Sapujagad. Hanya satu jam perjalanan saja dari kampung itu. Di hari kedua praktik penyembuhan darah ajaib, Lathi absen untuk menyaksikan mukjizat berlangsung. Ia sudah bilang ke Ki Yono tanpa menjelaskan alasan apa pun. Ki Yono mengijinkannya, tanpa curiga, kelihatannya. Seperti yang dijanjikannya, Guntho mengajak Lathi menelusuri jalur rahasianya untuk kabur dari padepokan. "Bagaimana kamu bisa menemukan jalur ini?" tanya Lathi dalam upayanya mengorek masa lalu Guntho. "Dari wangsit." "Wangsit? Semacam pangsit begitu?" Guntho tertawa. "Dari mimpi. Waktu pertama aku dibawa ke sini, waktu itu umur tujuh. Aku dapat mimpi itu selama satu bulan berturut-turut. Lokasinya persis seperti yang kita lewati ini. Baru saat aku merasa risih memimpikan itu terus, aku coba saja keliling padepokan ini. Lha kok ketemu yang persis dengan di mimpi. Ya aku ikuti saja. Aku bahkan sudah hapal dengan jalurnya. Ternyata setelah aku telusuri jalur ini, aku tidak kedapatan mimpi itu lagi." "Oh. Itu betulan?" "Betulan dong. Aku kan gak pernah bohong." Jalur yang mereka lalui berakhir ke lahan lapang yang luas. Tidak jauh dari pandangan mata, gedung-gedung pencakar langit berdiri. Tidak jauh ke kiri, ada rel kereta api. Tidak jauh dari situ juga, jalan raya. Guntho menyingkirkan seng yang menjadi tanda batas tanah lapang itu. Ia menyelinap melaluinya diikuti Lathi. "Hiruplah udara bebas!" Lathi berpikir, "bukankah di padepokan hidup kita juga bebas?" "Bagi kamu mungkin. Tapi bagiku, yang bukan berasal dari sana, merasa bosan kalau hanya beredar di dalam padepokan. Yah, walau padepokan luas juga dan banyak sisi yang belum kita datangi." "Kamu, asalnya dari mana memang?" Guntho menunjuk jauh melewati barisan gedung-gedung pencakar langit. "Pemukimanku digusur buat dibangun gedung-gedung itu. Entahlah, mungkin tetangga-tetanggaku masih ada di sekitar sana. Walau sudah dibangun gedung-gedung megah begitu, di pinggirannya masih akan ada orang-orang seperti kami. Yang susah. Bersekat setembok batu saja dengan yang kaya raya." "Orangtuamu?" Lathi turut bersedih. "Aku tak pernah tahu siapa orangtuaku. Aku dibesarkan oleh paman, yang menaruhku di sini. Sekarang, aku tak tahu di mana dia." "Mungkin ada di sana." Lathi menunjuk gedung-gedung. "Cukup ya cerita tentangku, aku malas teringat dan bersedih lagi." "Oke." Lathi merangkulkan tangannya ke bahu Guntho. "Kamu tak perlu bersedih, ada aku di sini ya." "Terima kasih, Lathi. Jadi, kita sudah di sini. Kamu jadi mau mematahkan tangan atau melakukan hal ekstrim lain?" Lathi memandang ke sekitar, ke langit luas, ke tanah lapang yang berpatok, untuk beberapa saat ia tenggelam dalam lamunan. "Kita nikmati saja pemandangan ini. Cuacanya lagi enak." Lathi membersihkan batu untuk tempat duduk, mengajak Guntho mendekat. Guntho duduk di sebelahnya, lalu ia rangkul lagi. Mereka menikmati sajian alam dan modernitas perkotaan cukup lama dalam hening. Tetap saling merangkul. Rangkulan pertemanan. Lathi senang saat ada burung entah apa yang melintas di langit. Mereka pulang sebelum petang gelap datang. Di sungai tempat mereka biasa nongkrong, Guntho mengungkapkan sesuatu, dengan takjub, "Lathi, sebelum ini, aku lagi kena gatal-gatal lho. Tapi setelah kamu rangkul tadi, sekarang gatal-gatalnya hilang." "Heh? Maksudnya?" "Aku pikir, mungkin kamu bisa menyembuhkan orang tanpa perlu mengeluarkan darahmu yang ajaib itu. Kamu tidak terpikirkan kemungkinan itu?" Lathi mengetukkan jari pada dagunya, berpikir, mengingat. "Tadi selama kita nongkrong di sana, aku begitu senang menjadi bagian balai penyembuhan Sapujagad yang dapat menyembuhkan orang-orang sakit secara instan dengan darahku. Aku senang menolong orang. Aku senang menyembuhkan." Guntho menjentikkan jari, seperti mendapat ide. "Nah, mungkin itu. Kamu berpikiran positif. Kamu sedang dalam kondisi hati bahagia. Sehingga anugerah yang kamu miliki, secara alami mempengaruhi tubuhku yang lagi gatal-gatal." "Wah, hebat juga ya aku." "Kok kedengaran lucu kalau kamu yang bilang begitu ya?" mereka tertawa. "Mungkin sebaiknya kamu nanti bilang ke Ki Yono." "Oke, siap. Aku akan beritahu Ki Yono tentang ini. Atau... kita bisa mencobanya dulu?" Guntho sedikit membelalak, merasa tahu apa yang dipikirkan Lathi. Lathi mengangguk, merasa Guntho tahu apa yang ia pikirkan. "Aduh, tidak tidak. Aku masih sayang dengan tubuhku. Enak sajamau ngiris-ngiris tanganku ini." Guntho kabur dari Lathi. Si gadis berlidahcabang itu dengan riang mengejarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD